Share

Pentingnya Kualitas Obat dalam Program BPJS

Marieska Harya Virdhani, Jurnalis · Sabtu 19 April 2014 11:41 WIB
$detail['images_title']
Sukseskan program JKN (Foto: Okezone)

KETERSEDIAAN obat dalam pelaksanaan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus didorong kepada pemerintah. Penggunaan obat berkualitas pada sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga menjadi harapan bersama.
 

Namun, tetap harus ada pengawasan agar tidak berpengaruh pada kualitas pelayanan. Di sisi lain, peran apoteker semestinya menjadi ujung tombak karena hingga kini tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal.

 

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

"Secara normatif obat-obat yang beredar itu harus mengantongi Surat Izin Edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Yang perlu dalam sistem ini didukung peran apoteker yang semestinya menjadi ujung tombak karena hingga kini tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktek swasta," kata Dewan Penasihat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Mohamad Dani Pratomo dalam keterangan perse yang diterima redaksi Okezone.

 

Keluhan pasien yang menerima obat tak berkualitas, menurutnya, tidak terlalu tepat. Menurutnya, keluhan itu muncul hanya karena faktor kebiasaan saja. Jika sebelum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K) beroperasi,  pasien bisa ditawari obat generik atau obat paten.

 

"Sekarang di era JKN, obat yang diberikan obat generik. Tetapi, ini tak masalah karena memiliki kualitas yang sama. Jadi, itu hanya faktor psikologis saja. Dan memang, tidak mungkin pasien akan diberikan obat yang tidak berkualitas. BPJS-K juga harus melakukan efisiensi. Salah satunya dengan memberikan obat berkualitas. Kalau obat yang diberikan tidak berkualitas jelas akan berefek pada lamanya masa penyembuhan, yang berarti tidak efisien dan ini akan berpengaruh pada pelayanan kepada pasien," tuturnya.

 

Namun dia menilai munculnya “keluhan” itu sesuatu yang wajar mengingat BPJS-K baru beroperasi dalam hitungan bulan. Meski begitu, “kewajaran” ini tetap terus dievaluasi. Jika belum ada perubahan, berarti ada sistem yang tidak berjalan, yang akan berpengaruh pada kualitas pelayanan.

 

"Salah satunya mungkin karena peran apoteker yang belum dilibatkan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Apoteker kan berfungsi untuk memastikan obat yang diresepkan dokter rasional dan memastikan pasien memahami penggunaannya secara tepat," ujarnya.

 

Sementara JKN lebih menekankan kepada layanan medis oleh dokter, yaitu memeriksa, menegakkan diagnosa, menuliskan resep, lalu diserahkan ke apoteker. Saat ini, tenaga apoteker belum dilibatkan secara optimal dalam sistem ini, terutama di fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktik swasta.

 

“Jadi, apoteker tidak dihitung dalam sistem biaya JKN, lebih sebagai penjual obat karena kami diberi jasa berdasarkan harga obat,” tegasnya.

 

Maka tak heran jika apoteker banyak yang tidak percaya diri. Kepercayaan dirinya tak terbentuk karena banyak yang tidak mempraktikkan dirinya sebagai apoteker. Banyak yang tidak pernah praktik dan belajar.

 

“Jadi, ketika ada obat tidak bereaksi pada pasien, apoteker harusnya mencari penyebabnya. Lalu mencoba membuat obat yang lebih baik dengan terus mencoba,” ungkapnya.

 

Apoteker juga, lanjutnya, nyaris tak pernah melaksanakan SOP sebagai pemberi informasi. Misalnya, ada pasien yang menderita batuk, lalu membeli obat, apoteker harus menanyakan keluhan sakitnya agar obat yang diberikan tepat.

 

“Jika ada pasien minta obat lain, apoteker harus menjelaskan efek obat itu, khasiatnya bagaimana, dan lain-lain. Misalnya, membeli vitamin C, harus diinformasikan, minum vitamin yang larut dalam air, itu harus dalam keadaan perut kosong. Selama ini kan penyampaian informasi tidak dilakukan,” tandasnya.

 

Menurutnya, hal tersebut jelas merugikan pasien. Kualitas hidup pasien jadi tidak meningkat. Terlebih sebanyak 50% obat dikonsumsi secara irasional. Ini sama saja biaya pengobatan sebesar Rp25 miliar terbuang sia-sia. “Ini sama saja apoteker tidak bertanggung jawab. Tidak sejalan dengan Pasal 24 UU Kefarmasian (PP 51 tahun 2009),” tegasnya.

 

Dia menandaskan, meski apoteker tidak punya kewenangan mendiagnosa penyakit, pelayanan informasi penting dilakukan apoteker untuk memastikan obat tersebut sesuai yang dibutuhkan.

 

Karenanya, ke depan, pihaknya berharap, jika premi peserta sudah keekonomian, agar ada kolaborasi praktek antara tenaga kesehatan, yaitu mulai dari dokter, perawat, apoteker, hingga bidan.

 

“Kolaborasi ini harus dihargai secara proporsional melalui penetapan kapitasi parsial, yaitu dokter menerima kapitasi untuk jasa medis, apoteker untuk obat dan layanan kefarmasian, perawat serta bidan untuk asuhan keperawatan,” katanya.

 

Sementara itu, Executive Director  International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak menyatakan melalui sistim e-katalog, peran harga sangat menentukan bahkan pemerintah mungkin menomorduakan kualitas. "Namun dengan mengikutsertakan peran apoteker sesuai dengan PP 51, maka kualitas obat-obatan yang diberikan melalui program JKN akan lebih terjamin," tegasnya.

(tty)