Share

Sistem Kapitasi & Tarif INA-CBGs Bikin RS Swasta Terbebani

Marieska Harya Virdhani, Jurnalis · Sabtu 19 April 2014 13:33 WIB
$detail['images_title']
Program JKN (Foto: Okezone)

RUMAH sakit swasta mengeluhkan aturan dalam sistem kapitasi dan tarif INA-CBGs dalam pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sebab, sistem kapitasi membuat klinik menangani pasien berdasarkan pagu ataupun kuota yang ditentukan. Sehingga jika pasien sudah terlalu lama dirawat tetapi tarifnya sudah melewati ketentuan BPJS, maka pasien dibebankan biaya cost sharing.  

Pasien pun banyak yang ingin langsung pergi ke rumah sakit di mana semestinya mampu ditangani di Pusat Pemeriksa Kesehatan (PPK) tingkat II. Sebab hal itu sering terjadi, di mana pasien pun lebih lama dirawat.

 

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Kondisi itu membuat rumah sakit terbebani. Karena tarif  INA-CBG's itu menggunakan sistim kapitasi. Misalnya biaya operasi persalinan Rp3 juta.  Pasien dirawat tiga hari atau 10 hari tarifnya tetap Rp3 juta.

 

Ketua Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSI) Kota Depok periode 2014-2017, drg Sjahrul Amri, MHA, mendorong dengan adanya sistem BPJS juga harus ada perbedaan tarif atau fee dokter antara rumah sakit swasta dan negeri. Misalnya, fee dokter di rumah sakit negeri Rp100.000, karena rumah sakit swasta sifatnya mandiri, maka fee dokter Rp150.000.

 

Selain itu, masih banyaknya PPK tingkat satu (puskesmas dan klinik) yang semestinya dapat ditangani mereka, namun langsung dirujuk ke rumah sakit selaku PPK tingkat dua. Ada 155 item penyakit yang ditangani PPK I, karena sistem kapitasi itu, maka mereka langsung merujuk pasien ke rumah sakit.

 

"BPJS juga harus memberikan pelatihan kepada PPK I dan PPK II tentang grouping penyakit. Apalagi tahun depan karyawan BUMN masuk BPJS. Kami juga mengusulkan agar rumah sakit yang memiliki poliklinik dapat masuk PPK tingkat I," imbuh dokter lulusan Universitas Moestopo baru-baru ini.

 

Sebagai Direktur Utama RS Bhakti Yudha, Amri mengaku sudah bekerja sama dengan BPJS, namun hanya sebagian. Pihaknya menerima pasien BPJS darurat dengan sistem cost sharing.

 

"Jadi, ada 155 jenis penyakit yang merupakan kewenangan dan ditangani di PPK I, selama itu didiagnosa masih di dalam 155 itu, kewenangan mereka mengobati. Di luar 155 boleh merujuk. Tetapi keluhan kami sebagai RS swasta, mengapa di PPK masih mampu, lalu main rujuk saja ke PPK II, ini membuat kami makin terbebani, sosialisasi perlu ditingkatkan," tandasnya.

(tty)