Share

Empat Masalah Ini Dikeluhkan RS Swasta dalam Pelaksanaan BPJS

Marieska Harya Virdhani, Jurnalis · Sabtu 19 April 2014 16:51 WIB
$detail['images_title']
drg Sjahrul Amri, MHA (Foto: Marieska/Okezone)

ASOSIASI RS Swasta Indonesia (ARSI) Kota Depok terus berbenah untuk turut berpartisipasi menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). ARSI juga melayangkan surat kepada BPJS Provinsi Jawa Barat untuk ditindaklanjuti secara nasional.  

Ketua ARSI Kota Depok periode 2014-2017, drg Sjahrul Amri, MHA, mengatakan, sedikitnya terdapat empat poin yang masih dikeluhkan oleh RS swasta. Empat poin tersebut juga dituangkan dalam surat tersebut.

 

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Pertama, belum adanya standar clinical pathway atau pedoman SOP dan Standar Pelayanan Medis (SPM) setiap dokter di rumah sakit, membuat terjadinya benturan di lapangan. Antara dokter dan manajemen RS pun berbeda.

 

"Kalau terjadi kegagalan terapi, kalau ada pedoman itu, jadi rujukan apakah dokter lalai, apa RS. Namanya orang sakit, dokter kan bukan malaikat.

Pedoman nasional sifatnya, pemerintah selama ini serahkan semua kepada RS, ini enggak ada titik temu. Usus buntu saja beda antara orangtua dan anak muda, beda penanganannya. Yang ada sekarang ini mestinya ada SPM untuk dipertanggungjawabkan masalah mutunya," jelasnya kepada Okezone, baru-baru ini.

 

Kedua, lanjut Amri, paket tarif INA-CBG's membuat posisi tawar dokter menjadi sulit. Apalagi banyak di RS swasta bukan dokter tetap, meskipun sudah MoU soal BPJS.

 

"INA-CBG disusun bukan berdasarkan clinical pathway seharusnya, tapi pada cost saat ini. Makin banyak orangnya yang mengalami penyakit itu makin murah. Sunat malah lebih mahal daripada pagu untuk sesar, karena sesar sering, sementara sunat jarang dilakukan di RS," ungkapnya.

 

Ketiga, Amri menyebutkan masalah harga obat dan kepastian distribusi obat. Sistem kapitasi membuat pasien yang semestinya harus dirawat lima hari, karena tarif terlalu murah, sehingga dalam waktu tiga hari pasien selesai dirawat atau dibebankan dengan sistem cost sharing

 

"Keempat, tarif RS swasta dan pemerintah sama, kalau lihat SDM-nya, RS pemerintah digaji pemerintah, RS swasta mandiri. Kami kan juga butuh keberlangsungan untuk operasional, kami dukung BPJS, tetapi kalau kami collaps bagaimana," jelasnya.

 

Sebagai Direktur Utama RS Bhakti Yudha Depok, Amri mengungkapkan banyak pasien Askes yang kini berubah menjadi BPJS juga merasa jauh lebih bagus saat masih memakai Askes. RS Bahkti Yudha, lanjutnya, belum seluruhnya mengikuti BPJS tetapi masih parsial. Hanya yang bersifat emergency, itu pun masih dibebankan cost sharing kepada pasien.

 

"Banyak pasien Askes justru berubah jadi pasien umum. Karena lebih bagus mutu waktu Askes. Kami bandingkan waktu RS swasta dengan Jamsostek ada nego, lebih baik dan tinggi. Dibanding tarif BPJS.

RS swasta rata-rata pasien BPJS diminta cost sharing, RS pemerintah pun masih ada yang meminta cost sharing kepada pasien," tutupnya.

(tty)