Share

Balada Presidential Threshold

Senin 21 April 2014 11:09 WIB
https: img.okezone.com content 2014 04 21 95 973194 vniVt0HCNd.jpg Fadel Muhammad. (Foto: dok. pribadi)
A A A

SEBELUM berbicara lebih jauh lagi, izinkan saya menguraikan pengertian dari frasa "politik". Menurut buku Dasar-Dasar Ilmu Politik gubahan Miriam Budiardjo, "Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu."

Kita semua mengetahui bahwa pada dasarnya politik adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Dalam sebuah proses politik, terdapat sebuah mekanisme lanjutan untuk mengejawantahkan suara rakyat menjadi suatu konsensus yang kuat dan mengakar. Mekanisme lanjutan itu dinamakan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam sistem Pemilu di negara ini, terdapat dua proses Pemilu yang dilaksanakan, yang pertama adalah Pemilu Legislatif, dan yang kedua adalah Pemilu Presiden. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk mengajukan calon presiden sendiri dari sebuah partai, maka partai tersebut diharuskan mendapatkan dua puluh lima persen suara nasional, atau dua puluh persen kursi di parlemen.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Hal ini yang akan menjadi bahasan di tulisan saya kali ini.

Presidential Threshold, atau lebih dikenal sebagai ambang batas pencapresan di kancah perpolitikan Indonesia, adalah sebuah mekanisme yang dibuat untuk partai politik yang ingin mengajukan calonnya sendiri, untuk diadu tandingkan di kancah Pemilu Presiden. Dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini menyebabkan tidak semua partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon dari partainya sendiri.

Di satu sisi, peraturan ini memiliki itikad yang sangat baik, yaitu untuk memastikan presiden mendapatkan dukungan dari suara mayoritas di parlemen saat dia menjalankan roda pemerintahan. Perlu kita sadari bahwa memang peran parlemen di era reformasi ini sangatlah penting, karena parlemen sangat berperan dalam pembuatan kebijakan yang bersifat abstrak dan umum, yang kita bersama kenal bernama Undang-Undang. Namun, menurut saya, alasan yang menyebutkan bahwa posisi presiden sudah aman karena mendapatkan dukungan besar dari parlemen justru adalah sebuah pernyataan yang salah.

Definisi "aman" dalam pemerintahan menjadi sangat kabur, karena "aman" itu sendiri yang akan menjadi bumerang bagi sang presiden. Di saat presiden merasa aman dan tanpa kritik dan evaluasi yang berarti, yang akan terjadi berikutnya adalah terhambatnya proses pembangunan sebuah negara. Dengan segala keadaan dan terlepas dari dukungan parlemen yang memang penting, posisi presiden yang kuat dan dapat menjadi simbol negara yang terhormat dan terpandang di wajah internasional adalah suatu hal yang kita harus perhatikan. Hal ini penting, mengingat negara kita menganut sistem pemerintahan presidensial.

Berawal dari pemikiran tersebut, saya menyatakan bahwa dengan sistem pemilihan umum yang seperti ini, tidak akan lahir seorang pemimpin negara dari kalangan negarawan. Sebaliknya, yang ada hanyalah pemimpin negara dari kalangan politisi. Menurut saya, seorang negarawan sangatlah sulit dicari di era reformasi dan di tengah dengung demokrasi yang semakin menguat. Calon presiden dari kalangan independen bisa saja menjadi sebuah oase, namun sistem perpolitikan di negara ini belumlah menghendaki dan siap menghadapi oase tersebut.

Penghapusan ambang batas pencapresan menjadi salah satu solusi konkret yang dapat menghadirkan putra-putri terbaik dari setiap partai politik, dengan tidak mengesampingkan proses berbangsa dan bernegara yang sudah seharusnya kita junjung tinggi. Saya masih termasuk dalam kalangan orang-orang yang percaya bahwa setiap partai politik memiliki cita-cita yang sangat tulus untuk bersama membangun bangsa, namun dengan catatan bahwa pembersihan oknum yang megotori haruslah dilakukan.

Saya sangat menyesali bahwa partai politik telah mendidik warga Indonesia dengan cara yang sangat menjijikkan, apabila pada praktiknya masih ditampilkan maraknya money politics, black campaign, dan berbagai istilah lain yang dirasa sangat akrab di telinga. Alergi dengan politik? Tentu saja tidak. Karena cara itu adalah satu-satunya bisa dilakukan perubahan secara menyeluruh. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu saat.

Penghapusan ambang batas pencapresan adalah salah satu itikad baik apabila kita memang ingin memperbaiki bangsa secara bersama-sama. Marilah kita sama-sama mencari calon pemimpin bangsa yang mampu menyentuh hati dan merangkul nurani tiap-tiap masyarakat Indonesia dan dapat bertindak arif bijaksana menuju Indonesia aman sejahtera.

Fadel Muhammad

Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis

BEM Fakultas Hukum

Universitas Indonesia (UI)

(rfa)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini