Share

Catatan Buruk Pileg 2014

Rabu 23 April 2014 17:12 WIB
https: img.okezone.com content 2014 04 23 95 974639 gJca3aRAYn.jpg Ahmad Halim. (Foto: dok. pribadi)
A A A

PESTA demokrasi memang telah usai minggu-minggu lalu. Hasil hitung cepat (quick count).  pun menyimpulkan  bahwa lima besar partai peraih yang unggul meraih suara adalah PDIP, partai Golkar,partai  Gerindra, partai Demokrat, dan PKB.  Partai di posisi tengah yaitu partai Nasdem, partai Hanura, PPP, PAN, dan PKS. Sedangkan dua partai yang tidak lolos ambang batas parlemen adalah PKPI dan PBB.

 

Kini partai-partai politik yang lolos masuk parlemen mulai menjajaki kerja sama (koalisi) demi memenuhi ambang batas sehingga bisa menyambut kandidat calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) yang diinginkan partai koalisi.  Sebab, pemilihan presiden dan wakil presiden akan diselenggarakan tiga bulan mendatang, tepatnya 9 Juli 2014 (PKPU No. 4/2014). Kesibukan itu mungkin mengakibatkan para petinggi partai politik alpa untuk menilai bagaimana kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif 2014 saat ini.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

Sampai detik ini, sepertinya belum ada satu partai pun yang mengomentari apakah penyelenggaraan pemilu saat ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan tahun-tahun yang lalu.  Sedangkan di sisi lain, media massa melaporkan terjadi banyak kecurangan dalam praktik pemilihan umum di tataran akar rumput. Bentuk kecurangan yang sangat mencolok pada Pileg 2014 lalu yaitu pertama penggunaan fasilitas negara pada saat berkampanye. Kita ketahui bersama bahwa kepergian ketua umum partai demokrat yang juga Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkampanye di Lampung menggunakan pesawat negara.

 

Namun, sepertinya kasus yang telah dilaporkan ke Bawaslu oleh Perludem dan Lingkar Lima sampai saat ini tanpa kabar. Padahal, menggunakan fasilitas negara bisa dijerat hukuman penjara selama dua tahun atau denda sebanyak Rp24 juta (pasal 299 UU. 8/2012).

 

Lalu, yang kedua. Kecurangan yang mencolok pada saat Pileg 2014 lalu adalah membagi-bagikan materi atau barang alias (politik uang). Sudah menjadi rahasia umum jika sang calon anggota legislator (Caleg) pada saat sosialisasi hampir semua akan membagi-bagikan sembako dan uang transpotasi.

 

Alasan sang caleg pun sangat sederhana yaitu menggerakan seseorang harus dengan imbalan (uang atau sembako) andai tidak ada imbalan mustahil akan bisa. Anehnya komisi pemilihan umum (KPU) malah memaklumi alasan para caleg tersebut dengan klasifikasi jarak. Misal, jika tempat sosialisasi dekat dari rumah maka wajar jika sang caleg memberikan uang transportasi sebesar Rp25 ribu, namun jika jaraknya jauh uang transpotasinya pun dua kali lipat. Padahal KPU sendiri sudah tahu hal tersebut melanggar pasal 301 UU No. 8/2012.

 

Kemudian, politik uang tentu akan dampak menambah tingginya ongkos politik di negeri ini, dan bagi anggota DPR/DPRD yang terpilih dengan cara membagi-bagikan sembako atau uang akan sulit menjalankan amanah rakyat dengan baik.

 

Kecurangan yang terakhir yaitu ada beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Sulawesi dilaporkan membiarkan masyarakat dari segala lapisan umur untuk mencoblos kertas suara tanpa ada yang berusaha menghalanginya. Dan, beberapa petugas KPPS disinyalir bertemu caleg di sebuah hotel untuk mengubah hasil penghitungan suara.

 

Dari ketiga fakta-fakta kecurangan tersebut sesungguhnya memberikan alasan kuat bagi warga negara untuk memilih golongan putih (Golput) atau tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik. Pasalnya selama era reformasi publik sudah tiga kali mengikuti pemilu. Toh, hasilnya sama saja, memilih atau tidak memilih akan melahirkan politik perwakilan yang korup.

 

Oleh karena itu, pelajaran yang dapat ditarik dari kejadian tersebut adalah masih lemahnya kesadaran masyarakat dan tata kelola pemilu kita yang melibatkan KPU, Bawaslu, pemerintah, aparat keamanan, para peserta pemilu, dan masyarakat.

 

Upaya meminimalisasi pelanggaran

 

Harus kita sadari bahwa ketiga fakta kecurangan yang sudah saya uraikan di atas bukan hanya terjadi pada pemilu 2014 saja, namun juga pada pemilu sebelum-sebelumnya. Semestinya kecurangan-kecurangan tersebut dapat diatasi atau setidaknya tingkat pelanggarannya dapat diminimalisasikan. 

 

Caranya, pertama, yaitu verifikasi partai politik (Parpol) harus ketat. Parpol yang hanya aktif/hidup pada saat menjelang pemilu tidak boleh menjadi peserta pemilu. Sebab, pada umumnya parpol hanya mencari uang dengan menawarkan kendaraan politiknya untuk ditunggangi. Akibatnya, banyak pengusaha ataupun selebritas yang menunggangi kendaraan tersebut untuk menuju parlemen tentunya dengan bayaran, atau biasa disebut caleg karbitan.

 

Kedua yaitu Bawaslu, Kejaksaan dan Kepolisian atau sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) harus menegakkan hukum pemilu secara tegas tidak pandang bulu. Sebab, selama ini dalam memutuskan sebuah perkara selalu ada perbedaan pandangan sehingga batas maksimal dalam memutuskan sebuah pelanggaran habis dan para pelaku pelanggaran pemilu bebas dan kembali melanggar.

 

Oleh karenanya, harus ada terobosan baru untuk menegakkan hukum pemilu. Misalnya mengganti kepolisian dan kejaksaan dengan komisi pemberantasan korupsi (KPK) untuk pidana pemilu. Hal itu akan lebih efektif mengingat kerja KPK sangat bagus.

 

Oleh karena itu, jika hal tersebut dapat terealisasi, niscaya kecurangan dalam pemilu akan berkurang sedikit-demi-sedikit. Jadi, setiap pemilu publik bisa merasakan bahwa ada semangat dari pelaksana teknis dan pembuat undang-undang dalam memperbaiki demokrasi di negeri ini ke arah yang lebih baik lagi.           

 

Jadi publik tidak lagi mendengar dan melihat kecurangan-kecurangan pada saat pemilihan umum dilaksanakan, sejalan dengan cita-cita ’98 saat menggulingkan orde baru yaitu meninggalkan cara-cara kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan manipulatif dalam meraih serta mempertahankan kekuasaan.

 

Ahmad Halim

Staf Divisi Pengawasan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta

 

(rfa)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini