Share
Cerpen

Menjamu Tanya

Kamis 24 April 2014 21:01 WIB
https: img.okezone.com content 2014 04 24 551 975117 wtA5LjQUD3.jpg Ilustrasi (Dok Okezone)
A A A

Shower itu memuntahkan batu-batu es tepat di ubun-ubunnya; menggelincir, menekuni setiap lekuk. Membuatnya bergidik, gemetar dengan gigi bergemeletuk, hingga hilang rasa begitu benda itu lampau di ujung kakinya. Namun, dinginnya air itu, tetap tidak bisa mengusir gundah yang telanjur menggurat gelisah di wajah. Jejak peninggalan tanya yang sedari beberapa petang menggauli hatinya.

 

“Mengapa sekarang?” pekik suara hatinya, meronta. “Mengapa tidak sedari dulu saja? Tapi …. Ah, sama saja. Ya, sama saja. Itu tidak akan mencegahku untuk menikahinya. Dulu ataupun sekarang!”

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

“Tidak benar. Dulu ataupun sekarang, jawabanmu masih sama. Penuh keraguan. Kau hanya mencoba menyangkal, padahal jelas kau tahu kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang bakal terjadi nantinya,” pekik suara lain, dari dalam kepalanya.

 

“Tidak! Aku yakin aku sudah mengambil langkah yang benar,” sanggah hatinya.

“Alah, apanya yang benar. Kau hanya menggunakan hatimu saja untuk menilainya. Padahal kamu yakin betul, bahwa apa yang dikatakan Ayah-Ibu itu bisa saja terjadi begitu kalian mengucap janji sehidup-semati.”

“Aku tetap yakin pada pilihanku ini. Aku sudah memikirkannya masak-masak. Aku tidak mungkin mundur.”

“Hahaha,” suara dalam kepala itu terbahak nyaring, “memikirkannya? Lucu …. Dengan apa kau berpikir? Dengkul? Hah!?”

“Aku ….”

 

Ketukan di pintu mengakhiri suara-suara itu kembali beradu. Teriakan yang menyusul datang, membawanya kembali dalam ketergesaan rutinitas harian. Begitu pintu kamar mandi dibuka, sesosok perempuan segera menyelinap melewatinya. “Cepat keluar. Sudah di ujung ini,” kata perempuan itu dengan kaki merapat, tumit saling menindih, tanda menahan hajat. Namun, tetap saja, pemandangan itu tidak mampu menghadirkan tawa penghiburan.

***

 

Novi terkejut, mendapati bayangannya sendiri terefleksi pada sebuah cermin di hadapannya. Wajah itu terlalu mirip, terlalu sama persis seperti wajah ibunya, kala usia belum mengizinkan keriput melukis kulitnya. Bagaimanapun juga ia memang anaknya, darah dagingnya. Tidak bisa dipungkiri lagi.

 

Ia ingat benar, bagaimana ayah-ibunya, yang dulu begitu memanjakannya, tiba-tiba bersungut memintanya melupakan keinginan untuk menikahi Rizal. Bahkan, kata-kata yang mereka ucapkan malam itu masih bisa diulangnya dengan pengucapan dan jeda yang serupa, lantaran kata-kata itu terlampau dalam mengguriskan tinggalannya.

 

“Mau jadi apa anak cucumu nanti bila menikahi lelaki macam itu. Lihat keluarganya. Tidak ada satu pun dari mereka yang beres. Malu Ibu berbesan dengan keluarga macam itu. Mau ditaruh di mana muka Ayah dan Ibu ini kalau sampai kau nekat menikahi lelaki itu. Sudah, batalkan. Katakan kau tidak menerima lamarannya. Mumpung belum terlambat. Lupakan keinginanmu untuk menikahi lelaki itu. Lupakan!” Begitu pekik ibunya.

“Tapi Ibu ….”

 

Ah … tidak pernah sepanjang ingatannya, perempuan itu berbicara demikian. Tidak pernah perempuan itu membantah keinginannya. Apalagi memasang wajah sedemikian menjijikkan, seperti malam itu.

 

Malam itu ….

Malam itu, ibunya masih seorang perempuan. Namun, bukan yang halus tutur kata dan pembawaannya. Ia menjelma menjadi gumpalan makian yang sepertinya menyimpan banyak serapahan untuk disemburkan menjadi api kemarahan.

“Jangan membantah. Turuti saja kata-kata Ayah dan Ibu. Jangan kamu berani-berani menikahi lelaki itu.” Begitu pekik ayahnya.

“Tapi Ayah ….”

 

Ah … tidak pernah sepanjang ingatannya, lelaki itu berbicara demikian. Tidak pernah lelaki itu melarang. Apalagi memasang wajah sedemikian garang, seperti malam itu.

Malam itu ….

 

Malam itu, ayahnya masih seorang lelaki. Namun, bukan yang berkepala dingin dan rendah hati. Ia menjelma seorang durjana, yang ringan mengayun tangannya.

“Baik, jika memang Ayah dan Ibu tidak merestui. Aku tidak ambil peduli. Aku akan tetap menikah, dengan Ayah atau bukan, sebagai walinya.”

“Noviiii …!”

 

Ah … tidak pernah sepanjang ingatan, dirinya berkata macam demikian. Tidak pernah ia membantah apa yang orang tuanya katakan. Apalagi memasang wajah sedemikian menantang, seperti malam itu.

 

Malam itu ….

Malam itu, dirinya masih seorang anak mereka. Namun, bukan yang penurut dan bisa dibanggakan orang tua. Ia menjelma seorang durhaka, yang tidak tahu bagaimana membalas budi kepada keduanya.

Sebuah hadiah mahal bagi keinginannya.

***

 

Dulu, Novi tidak tahu apa yang harus diperbuat, lantaran permasalahannya telah berkembang menjadi sedemikian runyam. Baginya, meninggalkan rumah merupakan sebuah penyelesaian. Walaupun merupakan pilihan yang meragukan. Namun, tidak sekarang. Setelah ia menjatuhkan keputusan.

 

“Eh, malah melamun. Sudah jam berapa ini, Non!?” Seorang perempuan meneriakinya dari arah pintu kamar, perempuan yang tadi mengetuk pintu kamar mandi.

Terkejut ia saat menatap jarum-jarum arlojinya. Hampir pukul tujuh, tetapi ia belum bersiap-siap. “Cepat, cepat, cepat,” sorak perempuan tadi, layaknya seorang pelatih memandu latihan lari.

 

“Iya, Lin. Ini sudah cepat,” sahutnya dengan jari meraba jarum pentol. Dan tidak disangkanya setetes cairan merah saga ikut terjatuh saat ia mengibas jarinya.

“Aduh!”

“Kenapa Vi?”

Novi menggeleng, dihisapnya jari itu kuat-kuat. Sebuah pertanda buruk, baru ia dapatkan.

***

 

Seandainya ini bukan ruang ICU, pasti sudah banyak tanya dilayangkan padanya. Pada raut wajahnya yang seolah berkata; aku butuh teman bicara. Namun, di satu sisi, Novi ingin menyimpan masalahnya sendiri. Setidaknya sampai ia membaginya kepada seorang yang menjadi sumber kegelisahannya. Kepada Rizal, calon suaminya.

 

Banyak hal bisa Novi ceritakan mengenai sosok Rizal. Tentang kebaikannya, tentang kesabarannya, tentang kepintarannya dan terutama tentang seberapa gagah dan tampan lelaki pujaannya. Dalam ketampanannya, perempuan itu bisa mendapatkan apa pun keinginannya. Dalam ketampanannya, ia bahkan tidak malu untuk mengucap kata cinta. Dalam ketampanannya, ia bahkan rela meninggalkan kebebasannya dan mengikat diri sebagai seorang istri. Dan karena ketampanannya, tiba-tiba ia merasa buta ….

 

Entah semenjak kapan gambaran lelaki tua itu singgah di dalam kepalanya. Seorang lelaki yang tidak bisa berbicara, apalagi mendengarkan suara. Lelaki tuna wicara itu bernama Trisno. Seorang yang diketahuinya sebagai calon mertua. Dan tiba-tiba saja mereka berjumpa di tempatnya bekerja.

“Lo, Pak. Sedang apa di sini?” tanya Novi sambil meraih tangan lelaki tua itu, menciumnya sesaat sebelum melepasnya.

Lelaki itu hanya menggerakkan tangan dan jemarinya, isyarat yang menjadi bahasanya.

“Ibu sakit? Sakit apa?”

 

Gerakan-gerakan berikutnya menjelaskan secara detail kekhawatiran lelaki itu pada istrinya. Pada keluhan-keluhannya yang sewajarnya muncul bagi tubuhnya yang tua.

“Lo, Nak Novi,” sapa seorang perempuan tua dari arah kamar periksa.

Dan Novi mengulang apa yang tadi dilakukannya pada tangan si lelaki tua, masih dengan hormat yang sama.

 

“Ibu kenapa? Apa kata dokternya?”

“Tidak apa-apa. Hanya sendi-sendi kaki sering sakit. Kemungkinan kena osteoporosis. Ini dirujuk ke spesialis ortopedi. Maklumlah, sudah tua,” katanya masih dengan senyuman khasnya, senyuman yang menjadikan lekuk sudut bibirnya, yang kiri maupun kanan.

 

Novi mengingat jelas lesung pipit itu. Lesung pipit yang juga diwariskannya pada Rizal. Dan wajahnya yang berhias senyum menawan kembali melintas dalam pikiran.

“Kapan-kapan main ke rumah lagi ya Nak. Tapi kasih tahu dulu, jadi Ibu bisa masakan sesuatu yang enak buatmu,” kata perempuan tua itu menggiring Novi kembali ke alam nyata. “Ibu mau pamit dulu, takut mengganggu. Itu, sepertinya Nak Novi dipanggil temannya.”

 

“O, iya, Bu,” jawab perempuan itu kikuk. Namun, masih begitu santun saat menjabat dan mencium tangan mereka.

 

Kedua orang itu menjauh, berjalan beriringan sambil bergandeng tangan. Punggung mereka yang menjauh, menarik kelu keluar dari mata perempuan itu. Perempuan yang membeku dihajar pilu.

 

Apakah benar jika pilihannya untuk menikahi Rizal merupakan sebuah pilihan yang keliru? Apakah lelaki itu berhak diperlakukan seperti itu, lantaran memiliki seorang ayah yang bisu dan tuli? Apakah seorang seperti Rizal harus diperlakukan macam demikian, lantaran ada kemungkinan, bahwa nantinya keturunan yang dihasilkan bisa jadi bisu dan tuli? Apakah hanya karena sebab demikian ia harus dicampakkan, disingkirkan?

Ah, entah ….

***

 

Berdebar, jantung Novi makin berdebar saat jarum-jarum arloji makin mendekati waktu yang disepakati. Duduknya jadi tidak tenang, sekalipun kafe itu lengang. Hanya ada beberapa pasang mata pelanggan yang sibuk dengan hidangan yang disajikan. Bukan lantaran memperhatikan seorang perempuan yang memasang wajah muram saat menunggu kekasih datang.

 

Tidak seharusnya memang ia menunggu Rizal dengan kegundahan. Bahkan setelah keyakinan itu kembali datang dalam wujud dua orang tua yang bergandengan tangan. Apakah ia hendak melanjutkan ini menjadi suatu keraguan?

Entah ….

 

“Sudah lama menunggu,” bisik sebuah suara. Wajahnya yang begitu dekat di sisinya mengusir pergi lamunannya. Sesaat lelaki itu mendekapnya, sebelum berjalan ke kursinya.

 

Lama, Novi menatap lelaki itu. Wajahnya sungguh tampan. Ketampanannya begitu menghanyutkan, membuatnya serasa tenggelam. Dan dari kedalamannya yang memabukkan, kembali sang tanya datang memberikan napas buatan.

Dan ketika ia kembali ke permukaan, sebuah cincin hadir memberi sambutan.

“Rizal, aku ….” (*)

 

Blitar, 08 Agustus 2012 3:41:55 PM

 

Untuk kakakku sayang, Mbak Novi ….

 

Oleh: W. N. Rahman

Penulis aktif di kelompok sastra Writing Revolution Indonesia. Bisa dihubungi di alamat emal: nurrohman.widya@yahoo.co.id

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini