Share

Meneladani Pribadi Mulia Hoegeng

Jum'at 25 April 2014 10:45 WIB
https: img.okezone.com content 2014 04 25 285 975643 kClJiPFAPj.jpg
A A A

Judul : Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan

Penulis : Suhartono

Penerbit : KOMPAS

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Cetakan : IV, Desember 2013

Tebal : xxvi + 142 hlm.; 14 cm x 21 cm

ISBN : 978-979-709-769-1

Saat ngobrol-ngobrol santai dengan para wartawan, di Rumahnya, Ciganjur, Gus Dur melontarkan lelucon soal polisi. Lelucon yang sebenarnya juga kritikan itu dilontarkannya saat menjawab pertanyaan wartawan perihal polisi yang kian banyak dipertanyakan. Beliau berkata: “Polisi yang baik itu Cuma tiga. Pak Hoegeng almarhum bekas Kepolri, patung polisi, dan polisi tidur”. (M. Hamid. 2014. Jejak sang Guru Bangsa. Galang Pustaka: Yogyakara. halaman 113).

Sosok Hoegeng yang menjadi guyonan Gus Dur ternyata menjadi sorotan media dan penulis untuk menemukan jawabannya. Ternyata benar apa yang dianggap guyonan tersebut. Hoegeng merupakan sosok polisi yang baik dengan kepribadian yang sangat sederhana dan sebagaimana mestinya dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang Kapolri.

Kehadiran buku molek ini tak ada lain kecuali untuk menyingkap fakta yang pernah terlontar dari guyonan Gus Dur di hadapan waratawan, yang kini sudah terbukti kenyataan dan kebenarannya. Dengan bahasa ringan dibaca dan mudah dicerna, Suhartono berhasil menyajikan sosok Hoegeng yang penuh teladan dan inspirasi kepemimpinan dengan bahasa yang puitik. Sehingga pembaca merasa terbawa oleh sikap untuk terus menjadi pribadi yang kokoh dalam mempertahankan kebenaran.

Dalam sambutannya, Abrahama Samad, selaku ketua Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) mengatakan bahwa sebuah keteladanan telah dibuktikan oleh Hoegeng. Tak hanya di dalam institusinya di kepolisian, di luar institusinya pun Hoegeng menunjukkan bahwa ia tetap menjada dan mencontohkan integritas diri dan menjauhkan segala sesuatu yang bisa mencemarkan nama baik lembaganya.

Bahkan, Hoegeng juga tidak aji mumpung meski menjadi pejabat negara. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memberikan surat ijin bagi anaknya untuk menjadi taruna TNI Angkatan Udara atau masuk ke Seni Rupa ITB, apalagi mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya untuk warisan keluarganya dengan menerima ini-itu dari siapa pun (hlm. xiv).

Mencegah KKN

Kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dari masa ke masa tak kunjung reda. Termasuk pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba) saat kepemimpinan Soeharto. Pada masa kepemimpinan Orba bukan tidak ada KKN, tapi karena media tidak memiliki kebebasan untuk meliput berbagai fenomena yang terjadi dalam negeri.

Hoegeng sebagai sosok polisi yang baik sebagaimana seloroh Gus Dur, berbagai tindakannya tak lain hanya mencegah korupsi pada dirinya dan memberi contoh yang baik bagi orang lain. Misalkan tentang pembayaran rumah kontrakannya. Hoegeng dibebaskan dari biaya sewa. Tapi dia tetap membayarnya melalui wesel. Hal ini dilakukan untuk melepas ikatan dengan orang lain. Takut suatu saat nanti pemilik rumah sewa tersebut ada masalah dan meminta bantuan Hoegeng sebagai seorang Kapolri. Padahal masalah itu bertentangan dan menyimpang dari tugas pokok Hoegeng sebagai polisi. Hoegeng akan mengalami kesulitan, dan tak bisa menolak (hlm 69).

Bahasa kerennya, rumah sewa yang tak harus dibayar itu akan menjadi gratifikasi saat sang pemilik meminta bantuan Hoegeng ketika dihadapkan dengan hukum. Meski sang pemilik rumah berada di jalan yang salah, dengan gratifikasi bebas bayar rumah itu tadi, Hoegeng tidak boleh tidak sudah dikekang. Dia akan dituntut untuk membela pemilik rumah sewa itu tadi. Dengan begitu, kebenaran akan sulit untuk didukung oleh Hoegeng.

Bahkan, dalam hal pemberantasan korupsi pun, Hoegeng sudah berkiprah. Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Kompas, 2 Juli 1969, di hadapan Kepala Kepolisian Daerah dan Komando Keamanan Pelabuhan se-Indonesia, Hoegeng menginstruksikan mereka untuk mendaftarkan kekayaannya. Tak heran jika sejumlah pejabat – termasuk Presiden Soeharto – pun merasa gerah dengan sikap dan tindakan Hoegeng (hlm. 78).

Ada banyak sikap yang perlu diteladani dalam keseharian Hoegeng. Kepribadiaannya yang terbuka selalu menjadikan rekan kerja dan sekretarisnya merasa nyaman di dekatnya. Tak ada yang ditutup-tutupi mengenai perihal tugas, pertemuan tertutup dengan para tamunya. Hoegeng adalah sosok yang terbuka dan tak mau menyembunyikan sesuatu. Dia juga sosok pejabat yang bekerja sungguh-sungguh dan profesional, tak pernah telat waktu.

Buku ini tak hanya menuturkan keteladanan Hoegeng sebagai polisi dan birokrat. Juga ada kisah hubungan Hoegeng dan Soedharto Martoposepito yang berakhir tragis. Cengkeraman kekuasaan Orba memutuskan hubungan akrab antara keduanya. Setelah Hoegeng bergabung dengan kelompok Petisi 50, sebagai PNS di kantor Menko Polkam, Dharti tak pernah berani lagi berhubungan secara pribadi dengan mantan atasannya itu (Hoegeng).

Peresensi: Junaidi Khab

Peresensi adalah Pecinta Buku dan Tercata Sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

(mbs)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini