Share

Presiden Harus Batalkan Amandemen UU Advokat

Mohammad Saifulloh , Okezone · Rabu 23 Juli 2014 12:36 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 23 339 1016844 85jkTQSADu.jpg Otto Hasibuan dan Boediono (Dok Okezone)
A A A

JAKARTA - Kalangan akademisi dan Peradi meminta presiden terpilih untuk membatalkan amandeman Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, demi kebaikan masyarakat.

 

"Jika pembahasan amandeman terus dilaksanakan, maka bisa menyebabkan semakin sulit mengontrol praktek pengacara di Indonesia karena tidak adanya standarisasi kualitas advokat,” ujar Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan, Rabu (23/7/2014).

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

Amandemen UU Advokat diyakini akan menumbuhkan banyak organisasi profesi di Indonesia yang menyebabkan tidak adanya kontrol yang ketat. Otto khawatir menjamurnya organisasi advokat bakal berdampak negatif.

 

Misal, organisasi pengacara A menentukan standar kelulusan bagi calon pengacara saat test adalah 8. Sedangkan Organisasi pengacara B menentukan standarisasi kelulusan 6, maka calon pengacara untuk bisa praktek dan mendapatkan lisensi jika tidak lulus di Organisasi A akan beralih ke Organisasi B.

 

“Ini kan bagaimana kualitasnya, belum lagi praktek nakal jika dia dihukum di A, maka dia akan pindah ke organisasi B. Jelas ini merugikan masyarakat," tegas Otto Hasibuan.

 

Otto menjelaskan, aturan single bar atau organisasi tunggal untuk menaungi para pengacara di Indonesia akan memudahkan pemberian sanksi bagi advokat yang merugikan masyarakat. "Contoh saat ini banyak anggota Peradi yang telah dicabut ijin prakteknya sebagai pengacara karena telah berbuat merugikan masyarakat alias melakukan pemerasan," tegasnya.

 

Hal lain yang juga ditentang oleh kalangan akademisi dan Peradi adalah keberadaan dewan advocat yang dipilih oleh DPR atas usulan pemerintah sebagaimana dalam pasal 43-44 Revisi UU Advocat. Menurut Otto, keberadaan dewan itu bisa menimbulkan konflik kepentingan dan hilangnya independensi pangacara.

 

"Keberadaan Dewan Advocat ini akan menyeret para pengacara masuk dalam ranah politik. Hal ini menyebabkan anggota dewan advocat akan takut melawan partai politik dan pemerintah jika terjadi perkara yang merugikan masyarakat dan berhadapat dengan parpol dan pemerintah," tegas Otto.

 

Keberadaan dewan advocat juga rentan disalahgunakan oleh partai politik karena keberpihakan mereka kepada parpol yang telah memilihnya. Organisasi Advocat, kata Otto diseluruh dunia merupakan organisasi yang independen dan tidak terpengaruh dengan suasana politik di negara mereka masing-masing.

 

Hal senada juga diungkapkan Pakar Hukum UI Hikmahanto Juwana. Menurutnya, keberadaan organisasi advocat yang banyak akan menimbulkan praktek yang tidak sehat di dunia pengacara di Indonesia.

 

"Single Bar atau wadah tunggal organisasi Advocat akan memudahkan proses audit dan pengawasan yang ketat terhadap praktik pengacara di Indonesia. Hal itu bisa menguntungkan masyarakat dalam mencari keadilan,"tegas Hikmahanto.

 

Menurut Hikmahanto UU Advocat tahun 2003 masih relevan dengan sistem hukum Indonesia hingga saat ini dan tidak perlu adanya pergantian. Namun, dia juga mengingatkan jika ada pertikaian di internal organisasi advocat sebaiknya diselesaikan secara internal sehingga Independensi penegak hukum ini bisa dijaga dari intervensi.

 

"Kita berharap pemerintah yang baru nanti bisa melihat hal ini. Kalaupun ada penyesuaian dalam UU itu cukup pasal-pasal yang telah diputuskan MK saja dan tidak perlu amandemen keseluruhan," pungkasnya.

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini