Share
Cerpen

"Tuan Haji"

Rabu 23 Juli 2014 21:01 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 23 551 1016981
A A A

Hari sudah hampir gelap. Sudah seharian Kang Mo bekerja di ladang milik Tuan Haji. Sudah saatnya untuk berkemas-kemas pulang, namun ia menunggu Tuan Haji datang menghampiri dan menyuruh lekas pulang. Ia tak berani meninggalkan pekerjaan tanpa ada perintah langsung atau izin secara langsung dari Tuan Haji. Maka Kang Mo memberanikan diri di hadapan Tuan Haji lalu berkata pelan penuh hormat.

 

“Aku harus pergi sekarang tuan? Kelapa-kelapa dari kebun Tuan sudah aku ambil semua, tak terkecuali yang ada disebelah sungai pojok itu. Dan sekarang kelapa-kelapa yang berjumlah sekitar 200 buah sudah aku masukkan gudang Tuan. Dan untuk daun-daunnya juga sudah aku rapikan semuanya. Jika berkenan sekarang bisa dilihat sendiri Tuan.” Aku jelaskan kerjaku seharian pada Tuan Haji.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

“Hemm...bagus Mo. Ini upahmu. Besok datang lagi ke sini karena masih ada pekerjaan untukmu yaitu membersihkan ladang yang bersebelahan dengan kebun ini. Itu lihat pohon pisang yang tumbuh seperti tak terurus dan terkesan liar. Aku ingin besok harus rapi, tak ada daun-daun yang banyak berserakan dan tercecer, kumpulkan dan bakar saja daun-daun pisang yang sudah kering itu.” Perintah Tuan Haji.

 

“Baik Tuan, besok aku akan datang pagi-pagi ke ladang Tuan. Sekarang saya mohon permisi.” Seketika tubuh Kang Mo terbungkuk-bungkuk hilang ditelan kelokan jalan. Hanya seorang diri Tuan Haji, juragan tanah itu berdiri diatas ladangnya yang sangat luas. Ladang hasil peninggalan kakek buyutnya yang tak habis dimakan tujuh turunan. Ia melihat ke arah selatan pada hamparan kebun tebu miliknya, kurang lebih 7 hektar yang sebentar lagi akan panen.

 

Tak usah susah-susah  mengurusnya, pihak pabrik akan datang mengurusnya. Tuan Haji  hanya terima bersihnya saja dari uang pelelangan dengan pihak pabrik. Dengar-dengar ada 500 juta uang masuk ke Tuan Haji. Benar-benar juragan yang mujur, punya tanah yang luas, produktif. Anak tak ada, hanya bini yang jumlahnya tiga dalam serumah. Ia pria yang tidak punya anak namun ia telah adopsi anak dari keponakan salah satu dari istrinya yang ketiga, istri yang paling ia senangi.

 

Anak adopsi itu perempuan. Cantik rupanya seperti tantenya. Ia memberi nama Fisa. Tak lebih tak kurang. Singkat. Hanya Fisa, akan tetapi berkat dorongan si istri ketiga untuk menambahkan imbuhan Na, sehingga jadi Nafisa. Tuan  Haji menyetujuinya tanpa banyak omelan. Karena ia penurut didepan istri ketiganya, tak berkutik dan tak berdaya. Istri ketiga ini masih muda, energik, cerdas dan pintar dalam menghadapi seseorang, kolega bang Haji sendiri, tetangga, pekerja dan para pelanggan-pelanggan tebu dan palawija milik bang Haji. Semua urusan intern atau rumah tangga dan perencanaan pembelanjaan dalam kebutuhan sehari-hari istri ketiga inilah jagonya.

 

Dan semua istri Tuan Haji yang hidup dalam serumah itu punya peran masing-masing. Istri pertama mengurusi perusahaan batiknya, istri kedua mengurusi peternakan sapi perah dan produksi susunya. Setiap pagi, mereka sudah berduel dengan kesibukan masing-masing. Tanpa ada rasa iri karena semua sudah berjalan dengan semestinya. Tuan Haji sendiri sudah mengatur semua itu sejak pertama menikahi ketiga perempuan itu. Planning yang bagus dan terorganisir. Semua berjalan seperti apa yang ia harapkan, ia kehendaki, dan ia permainkan dengan sesukanya. Benar-benar seorang lelaki yang jantan, hidup dengan tiga istri yang semuanya cantik tak terperikan.

 

Dilihat dari sejarah nenek moyang Tuan Haji merupakan keturunan dari pedagang China muslim yang kawin dengan gadis pribumi asal Sunda. Wajahnya kecinaan namun kulitnya agak sedikit kecoklatan. Ibunya Fatima anak juragan kelapa namanya Haji Basran. Bisa diambil kesimpulan bahwa Tuan Haji sudah kaya sejak dari lahirnya. Keturunan dari kaum pedagang dan juragan tanah yang sukses.

 

Ada cerita sedikit tentang ayahnya yang pernah menghalau begal-begal yang ingin merampas barang dagangnya ketika di Hutan Jati Peteng, anak buah dari komplotan pembegal yang sangat ditakuti oleh seluruh pedagang yang akan melewati hutan Jati Peteng  yang terkenal angker dan lebat, angker bukan banyak setan atau iblisnya, namun angker karena menjadi arena markas begal Jayaloka yang dipimpin oleh Marsimo.

 

Terpaksa ia menghadapi komplotan itu yang jumlahnya sekitar 15 orang yang langsung dipimpin oleh Marsimo. Sedangkan Khouw Lee Shuo hanya melawan dengan kekuatan 5 orang. Kekuatan yang tak sebanding, 1 dibanding 3. Akan tetapi meskipun kekuatan tak sebanding, Khouw dan anggotanya tak gentar. Terpaksa harus melawannya dengan keberanian yang tinggi serta hati-hati. Khouw dan pengawalnya menyebar membuat jarak masing-masing 3 meter agar bisa membagi musuhnya, 1 lawan 3.

 

Ternyata Khouw adalah jagoan silat dengan jurus-jurus kungfunya yang mematikan. Dengan waktu yang tidak lama 2 lawan Khouw nyungsep dengan mengerang kesakitan dan tak berani melawan lagi. Sedangkan anak buah Khouw tak kalah hebatnya, masing-masing juga telah melumpuhkan musuhnya. Ada yang kakinya terkilir, tangannya tak dapat digerakkan karena tulangnya patah, semua mengerang kesakitan. Tinggal ketuanya Marsimo yang berhadapan dengan Khouw. Keduanya sama-sama mengambil sikap kuda-kuda, lalu keluarlah jurus-jurus mematikan dari keduanya.

 

Saling mengelak dan menyerang mencari titik kelemahan masing-masing. Setelah beberapa menit waktu berjalan, keduanya mulai ngos-ngosan mengatur nafas. Lalu bertarung lagi, hingga pada titik kelemahan Marsimo sembrono dengan memaksakan tendangan serkel atau berputar kearah Khouw yang posisinya lebih menguntungkan lalu tubuh Khouw disodorkan ke depan sedikit dan dengan tinjunya diarahkan ke posisi lambung sebelah kanan Marsimo, Marsimo terjuntai tak bangun lagi karena pingsan.

 

Anak buah Marsimo pada bersujud minta ampun. Komplotan Marsimo yang garang telah dilumpuhkan oleh Khouw. Dan kabar ini langsung terdengar seantero kampung dari pelosok ke pelosok hingga nama Khouw tenar sebagai jagoan yang telah membebaskan seluruh kaum pedagang dari tindakan kekerasan komplotan Marsimo. Jagoan kungfu yang baik hati serta tidak angkuh. Setiap hari banyak orang berdatangan untuk silaturrohmi ke rumah Khouw, terutama kaum pedagang-pedagang kaya. Ada banyak oleh-oleh dan barang yang telah diberikan kepada Khouw sebagai rasa terima kasih yang teramat besar karena terbebas dari pemerasan komplotan Marsimo.

 

Sibuk melayani tamu-tamu akhirnya Khouw mulai enggan berdagang lagi dan semua urusan berdagang diserahkan kepad anak  buahnya yang ikut bertempur membebaskan komplotan Marsimo. Khouw hanya melayani tamu-tamu yang banyak meminta saran dan masukan tentang masalah-masalah yang mereka hadapi, bisa dibilang naik statusnya menjadi  orang pintar. Tak usah repot-repot sibuk ngurusi barang dagangan karena semua kebutuhannya sudah diserahkan pada anak buahnya. Tak lama hidup Khouw makin hari makin jaya diudara, uangnya banyak, dan telah menjadi orang yang sukses dan kaya di kampungnya sampai sekarang, yang saat ini jatuh pada anak lelakinya yang tunggal bernama Mouxani.

 

Namun Mouxani agak sedikit beda dengan ayahnya yang sangat dermawan. Mouxani kurang bisa dikatakan golongan dermawan, ia lebih asyik dengan menumpuk hartanya yang jumlahnya miliaran itu. Kekayaannya ditumpuk di bank yang terpercaya. Bunganya ia nikmati tak kan bakal habis. Ia juga kurang peka terhadap lingkungan sekitarnya.

 

Egois. Tak pernah ia turun tangan untuk tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Acuh tak acuh. Banyak orang yang sudah tak betah untuk melihat mukanya karena pelitnya selangit. Namun, ia orang kaya bisa berbuat sesuka hati. Termasuk memerintahku bekerja diladang ini. Walaupun banyak masyarakat sekitar yang sudah kapok kerja di tempat Mouxani karena sikapnya yang menjengkelkan itu.

 

Dulu sebelum aku kerja di tuan Mouxani, ada kang Sidin yang telah menjadi pekerja tuan Mouxani. Ia dikeluarkan secara paksa oleh tuan karena ia membawa pulang pisang setandan dari kebun Tuan Haji, ia tak mengira akan terjadi pemecatan yang sangat memalukan keluarganya itu. Pisang raja setandan yang telah ia ambil habis dimakan codot dan ia mengira tuan Mouxani tak kan mau membawanya pulang. Maka Sidin berani membawanya. Ternyata bencana memalukan itu terjadi juga. Sidin dilabrak Tuan Mouxani dengan membawa si centeng kampung yang bernama Bang Said, centeng itu telah dibayar dengan  bayaran lebih mahal daripada harga pisang yang telah dimakan codot itu.

 

Sidin dihajar tanpa ampun oleh Bang Said dan anak buahnya. Seminggu Sidin tak keluar rumah karena tubuhnya lebam semua habis kena pukulan dan tendangan Said dan anak buahnya. Setelah tubuhnya sembuh, Sidin dan anak istrinya tiba-tiba pergi entah kemana. Rumahnya kosong tak berpenghuni. Terkunci rapat dari dalam. Sebulan kemudian berita Sidin mulai terdengar bahwa ia dan anak istrinya telah pergi bertransmigrasi ke pulau Kalimantan. Hijrah ke pulau seberang dengan membawa dendam pada tuan Mouxani yang pelit.

 

Cerita kepergian Sidin itu diceritakan secara folklore oleh Dasikem, tetangga rumahnya  yang dipercaya oleh Sidin untuk menitipkan kunci rumahnya, sebelum pergi jauh ke pulau Kalimantan banyak cerita yang keluar dari mulut Sidin dengan kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam, hanya karena pisang busuk yang telah dimakan codot harus membawa luka yang begini pedih. Bahkan Haji Mouxani mengancamnya akan menyetubuhi istrinya si Ineng yang juga tak kalah cantik dengan istri Haji Mouxani itu. Masalah inilah yang sangat memberatkan Sidin sekeluarga dan demi masa depan hidupnya yang lebih aman dan tenteram ia harus memutuskan untuk pergi berhijrah ke pulau Kalimantan dengan program transmigrasi.

 

Kini aku yang telah menggantikan Sidin malang itu untuk bekerja di tuan laknat ini. Aku juga merasa terbebani oleh desas-desus dari orang-orang sekitar bahwa nasibku bakal tak ada bedanya dengan Sidin. Salah sedikit bakal dihajar oleh centengnya Tuan Mouxani yang terkenal raja tega itu. Makanya aku tak mau membawa apapun kecuali tidak dari pemberiannya sendiri, meskipun tuanku ini tak pernah memberiku hasil ladangnya kecuali terkadang diberi upah yang tak seberapa. Selesai upah itu dibayarkan selesai sudah masalahnya. Karena hubunganku dengan tuan Mouxani tak ubahnya hubungan antara budak dan majikan. Masalah kerjaan selesai ya sudah, bayar, selesai, tak dibayar, anggap selesai. Tugas besok biarkan besok.

 

Apa kata tuan, jika besok masih dikehendaki bekerja itu tandanya masih dibutuhkan. Peralatan kerja yang pinjam dari tuan harus dikembalikan pada tempat semula dan dalam keadaan bersih. Jika tidak jangan harap dapat upah. Mengenai konsumsi harus bawa sendiri dari rumah. Kerja di Tuan Haji tak ada konsumsi.

 

Kenapa tuan bisa begitu pelit? Tanyaku dalam hati. Apa sebabnya?, rezeki melimpah, gen keturunan juga bukan, pernah melarat juga tidak. Apa memang sudah begitu ya. Apa Allah menguji imannya bagaimana dia menggunakan hartanya yang melimpah itu. Apa harta itu digunakan untuk menolong atau untuk menyiarkan kebaikan atau malah sebaliknya digunakan menindas dengan semena-mena.

 

Aku utak-atik sendiri pertanyaan itu dalam otakku yang ingin mengerti. Aku hubungkan dengan cerita-cerita sejarah yang biasa dibahas dalam pengajian rutin di masjid kampung oleh pak Yai Abdul, tentang kisah-kisah orang yang kikir dan sombong. Aku ingat-ingat  kisah-kisah itu mulai dari Fir’aun, Tsa’labah, Qorun yang sirna kekayaannya dan kesombongannya. Dizaman sekarang apa Allah masih memberlakukan hukum dan azabnya bagi orang-orang yang menyimpang. Hanya Allah yang tahu dan menentukan, aku hanya merenung saja tentang tuan.

 

Apa sudah sama kasusnya Tuan Mouxani dengan Fir’aun, Tsa’labah maupun Qorun. Tuan Mouxani juga pernah pergi haji ke Baitullah untuk menyempurnakan Islamnya, paling tidak lebih tahu dan paham tentang agama yang ia yakini. Berarti masih ada iman dalam hatinya. Dia tidak musyrik. Hanya tak mau tahu masalah yang ada disekitarnya. Acuh tak acuh dengan tetangga-tetangga yang membutuhkan bantuannya. Egois. Dia tak sadar jika dia juga butuh orang lain untuk membantu pekerjaannya. Membersihkan kebunnya yang luas, mengurusi kebun tebunya, mengurusi ternaknya, dan masih banyak lagi pekerjaan yang dia lakukan. Jika diselesaikan sendiri takkan selesai. Tubuhnya tak kan kuat. Karena kekuatan tubuhnya tak sepadan dengan jumlah pekerjaan yang harus diselesaikannya dengan waktu yang bersamaan. Mana bisa membagi waktunya.

Keterbatasan tenaga manusia yang seharusnya menjadi renungan Haji Mouxani bahwa manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tak bisa berkutik jika Allah mencabut nyawanya. Jika telah mati selesai sudah episode hidupnya kecuali amal ibadahnya yang tak kan ada putusnya, yaitu anak sholeh, shodaqoh jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Pikiranku masih menerawang tak karuan meskipun otakku tak nyambung tetap aku cari penyebab fakta tentang Haji Mouxani ini.

 

Manusia dari planet mana yang telah terdampar dikampung miskin ini. Nasibnya mujur dengan menjadi tokoh hartawan yang hampir tak ada pesaingnya yang serasa tak akan ada kematian esok hari, hidup kekal dengan kebahagiaan yang mutlak. Haji Mouxani orang pada memanggilnya. Aku hanya bisa berharap semoga Allah selalu menjauhkan mara bahaya dari perbuatan Haji Mouxani, aku telah masuk ke sarang macan yang setiap hari bergumul melakukan aumannya berupa perintahnya yang harus aku turuti tanpa pembantahan sedikitpun.

 

Aku adalah orang yang dipilih oleh Haji Mouxani sendiri sejak kang Sidin telah pergi. Banyak orang berdoa semoga tak jadi pilihan Haji Mouxani itu. Mungkin doanya melebihi kapasitas apapun selain hidup sejahtera dan aman dunia-akhirat. Dengan cekatan aku buka buntalan kantong uang dari Haji Mouxani, bukan kepingin tahu berapa jumlah isinya tapi apa benar uang itu asli apa hanya berupa kertas saja. Karena tak hanya sekali uang itu berubah jadi daun.

 

Bukan takhayul tapi memang dari awal dikasihkan berupa daun, terlalu takut memandang wajahnya yang garang aku hanya merasakan bahwa pori-pori telapak tanganku mengatakan bahwa itu bukan uang tapi kasar seperti daun kering. Aku hanya diam tak berani melawan. Dan melawan berarti celaka siap menghampiriku. Apalagi lapor pada pihak keamanan bahkan akan runyam dibuatnya. Karena pihak keamanan telah tunduk oleh sogokan Haji Mouxani yang telah menjadikan mereka anjing-anjing Tuan Haji yang kapitalistis ini.

 

Semua kebutuhannya telah disediakan oleh Haji Mouxani hanya untuk menggonggong dan melolong untuk menakuti rakyat yang telah menjadi budak. Sudah tak ada celah untuk mengadu kepada siapapun, berani mengadu berani menantang maut. Dalam hati kecil membenarkan tindakan nekat Kang Sidin yang pergi tanpa pamit oleh siapapun kecuali pada orang yang telah dipercayainya. Tapi aku tak ada nyali seperti Kang Sidin, biarkan aku tetap di sini menjadi budak oleh Haji Mouxani yang serakah. Walau harus mati sekalipun aku tak kan meninggalkan kampung halamanku, tempat aku berteduh dan menuangkan harapan hidup yang serba tak jelas ini.

 

Jika dibaca secara nalar dengan memakai otak yang waras tanpa ada rasa takut terhadap bayang-bayang centeng murahan Haji Mouxani. Peran dan kerakusan serta keteledoran Haji Mouxani bisa dikalahkan dengan kebersamaan dan persatuan orang kampung yang telah kecewa dengan ini semua. Haji Mouxani bisa disingkirkan dengan segera dari kampung ini jika semua lapisan rakyat bersatu. Tak ada yang mustahil jika semua bersatu, gunung dan lautpun bisa dibikin jika ada rasa kesatuan. Untuk istrinya biarkan tetap bekerja seperti sedia kala untuk mengurus semua usahanya. Istrinya tetap orang baik yang secara diam-diam sering membantu warga yang kekurangan. Namun usahanya itu tak diketahui oleh sang suami jika diketahui bisa celaka seumur hidup. Tak bisa dibayangkan jika suatu saat perbuatan istri-istrinya itu diketahui oleh Haji Mouxani, bisa-bisa digantung, dihukum pices. Karena sudah berkhianat dengan suaminya.

 

Sedangkan untuk menyatukan warga kampung ini aku masih bingung dan harus mulai dari mana, belum mulai saja mungkin sudah diketahui oleh Haji Mouxani karena antek-anteknya tersebar seantero kampung ini bahkan juga kampung-kampung lain yang bertetangga dengan kampung ini. Benar-benar sulit bagiku karena belum pernah mencoba menyatukan aspirasi teman-teman dikampung ini apalagi mengajak bersatu.

 

Tapi mencoba tak ada salahnya yang salah hanya diri kita yang tidak berani mencoba, mencoba perlu dibutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat untuk memulai. Dan memulai selalu dibebani oleh pikiran-pikiran yang buruk dan salah tingkah, pikiran tak bisa tenang karena belum bisa berdamai dengan kebiasaan. Baiklah aku akan mencoba membangun gerakan dari bawah dan sangat rahasia dengan mencoba berunding dengan teman-teman yang pernah di sakiti oleh Haji Mouxani itu. Siasat dan strategi ini harus disusun dengan serapi-rapinya agar jangan sampai bocor ke telinga banyak orang karena melihat banyaknya pembisik-pembisik Haji Mouxani.

*****

Mendekati kawan-kawan seperjuangan

 

1. Kang Sodri

 

Langkah-langkah yang sangat tepat adalah dengan mendekati kawan-kawan lama yang  dapat diajak berjuang bersama karena membentuk gerombolan yang dapat diajak bergerak  haruslah kawan yang loyal terhadap diri kita. Dan siang besok sehabis membersihkan kebun pisang aku akan berkunjung ke ladangnya Kang Sodri yang kabarnya telah membuka hutan Jati milik Perum Perhutani dikawasan hutan Jati Alam I yang letaknya agak jauh dari kampung,  lokasinya berada ditengah hutan dan kemungkinan kecil bocornya rahasia percakapan sangat kecil.

 

Kang Sodri juga salah satu korban dari Haji Mouxani karena pernah disiksa bersama centeng-centengnya dikebun tebu, hanya karena ia lupa tidak membawa bekalnya. Bekal yang telah disiapkan oleh istrinya tertinggal dirumah sedangkan pada waktu makan siang ia merasa lapar setelah merapikan kebun tebu milik Tuan Haji dan ia mengambil satu pohon singkong dipinggir kebun lalu dibakar tanpa sepengetahuan tuan Haji. Asapnya mengepul ke angkasa dibawa oleh angin dan tak lama Tuan Haji bersama centengnya datang dikira kebun tebunya telah terbakar. Dengan tanpa basa-basi Tuan Haji menyuruh para centengnya.

 

‘Hajar itu kunyuk busuk, pencuri dan pembuat onar dikebun tebuku.” Jari telunjuknya diarahkan ke Kang Sodri. Tanpa menunggu lama centeng-centeng itu berlarian menerjang tubuh kang Sodri yang telah bersujud mohon ampun.

 

“Ampun-ampun Tuan Haji aku telah lupa tidak membawa bekal, bekalku ketinggalan di rumah.” Jerit Kang Sodri pada Tuan Haji. Tak lama tubuh yang pasrah bersujud itu pun terpental terkena tendangan oleh para centeng-centeng Tuan Haji. Hanya terdengar pekikan sebentar dari mulutnya lalu tubuh Kang Sodri pingsan terjerambab pada sungai irigasi tebu yang telah ia bersihkan. Tubuhnya penuh lumpur karena tersungkur. Dan tanpa dosa sedikitpun Tuan Haji berlalu sambil meludahi Sodri yang pingsan. “cecunguk gembel.” Katanya dan berlalu. Begitulah nasib Kang Sodri sebagai buruh tani yang mengenger pada seorang tuan kaya yang sedikitpun tak punya rasa kemanusiaan.

 

Orang sebangsaku yang selalu sial oleh nasib sosial yang berada pada level proletar. Level bodoh karena hidup serba kekurangan dan tak punya akal untuk berani berubah untuk mencapai sejahtera. Jangankan bicara sejahtera, bagi mereka kata sejahtera adalah barang mahal dan langka yang hanya bisa dikonsumsi oleh kaum borjuis yang punya kesempatan dan modal besar untuk berperan ganda. Berperan sebagai konsumen dan berperan sebagai produsen. Sampai kiamat pun akan selalu menuai profit. Karena profit hanya ada dikepala mereka setiap menit, profit telah menjadi tuhannya karena telah masuk dalam hatinya sebagai iman.

 

Kang Sodri kaget melihatku telah menghampiri gubuknya yang sederhana yang terbuat dari kayu seadanya, atapnya dari ilalang yang dikeringkan terlebih dahulu. Setelah kering baru ditata secara teratur dan teliti jangan sampai ketika memasangnya keliru karena air hujan akan masuk dan membasahi dalamnya. Rumah sahabatku yang jauh dari pemukiman warga, menyendiri bersama istri dan kedua anaknya. Ia menyambutku dengan ramah tanpa dibuat-buat, tulus dari hatinya karena orang kecil seperti kami hanya tahu untuk dididik bersikap jujur dan teposeliro agar tak punya niat untuk melawan karena tak ada keberanian.

 

“Apa kabar Kang! Sudah hampir 20 tahun kita tidak bertemu.” Sapa kang Sodri padaku sambil menjabat tanganku erat-erat.

“Kabarku baik kang. Ya kang 20 tahun bukanlah waktu yang sebentar, dua dasawarsa kita telah berpisah dan tidak pernah saling bercanda dan aku masih seperti yang dulu yang suka mengobrol ngelantur kesana-kemari tak juntrut akhirnya, he..he.. namun yang berubah dari diriku dan dirimu ternyata kita bertemu sudah bukan pada masa muda lagi yang tenaga masih sangat energik kita bertemu dengan rambut yang mulai beruban, tapi tidak apa-apa kang Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk saling berbagi dan itu harus kita syukuri.”jelasku senang sekali.

 

“Hanya Kang Sidin yang telah pergi jauh ke pulau seberang. Dan entah apakah kita masih bisa bertemu atau tidak.” Timpal kang Sodri dengan nada setengah putus asa.

Matari masih bersinar terang yang sinarnya banyak diuraikan oleh dedaunan hutan jati yang masih lebat sehingga sinarnya tak banyak yang mampu menerobos pohon-pohon yang ada dihutan.

 

Dan hari makin gelap saja seperti mendung yang ada dalam hatiku. Karena belum menemukan titik terang terhadap permasalahan yang aku hadapi yaitu menyingkirkan kebejatan tuan haji. Maka pada kesempatan ini aku beranikan niatku untuk membeberkan kegundahan hatiku pada kang Sodri. Kang Sodri langsung mengernyitkan kedua alisnya, mukanya tegang, antara pucat dan gelisah ia mulai angkat bicara.

 

“Ini pekerjaan berat dan penuh resiko. Taktik dan cara harus disusun dengan matang. Jangan sampai jika niat ini serius akan tetapi terlunta-lunta ditengah jalan hancurlah kita sendiri. Bagaikan menyuguhkan tubuh kita ke dalam kandang macan, akan tercabik-cabik, hancur lalu mati sia-sia karena tujuan tak tercapai.” Katanya agak putus asa.

 

Lalu ia mengambil air putih yang ada di kendi dan dituangkan ke dalam gelas dan mengajakku minum. Tak lama istri kang Sodri yang masih kelihatan muda dan segar keluar dari gubuk sambil membawa dua gelas yang telah terisi kopi hangat dan makanan singkong rebus yang masih mengepul asapnya. Dari jawaban kang Sodri bisa aku tangkap bahwa pada hati kecilnya ia setuju akan tetapi perlu untuk mencari cara yang ampuh untuk mengerjakannya. Aku pun manggut-manggut mengamininya.

 

“Begini saja kang, masalah tuan haji mari kita bahas secara detail dengan melihat perkembangan dan terus mencari titik lemahnya, teman-teman yang pernah menjadi korban kita satukan untuk mencari kekuatan, orang-orang kampung yang tidak terlalu mengurusi juga kita pengaruhi dengan menebar kebencian pada tuan haji yang ulahnya selalu bikin ribut. Aku kira orang kampung akan bisa melihat kenyataan itu. Melihat kekuatan lawan juga sangat besar, centeng-centengnya yang jumlahnya banyak dan mereka dibayar oleh tuan haji sehingga telah menjadi pekerjaan sebagai kaki tangan tuan haji itu. Yang sekali tunjuk perintah tuan haji mereka langsung bergerak.” Jelasku untuk meyakinkan pada kang Sodri.

 

“Sebaiknya memang harus begitu kang. Kita satukan dulu orang-orang yang telah menjadi korban tuan haji, kita buat kelompok terselubung, rahasia, tapi terus bergerak dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Sehingga sangat solid dalam pergerakan nanti.” Pertegas kang Sodri padaku.

 

“Baik kang, biar aku sendiri yang mencoba menghubungi teman-teman yang lain yang bisa diajak kerja sama. Dan nanti kita akan terus mencoba bertemu dan berkomunikasi untuk membangun siasat yang jitu untuk hancurkan tuan haji. Aku akan menghubungi kang Talib, kang yono, kang Kono dan mbah Yon dalam waktu dekat ini kang.” Jelasku pada kang Sodri yang telah melahab ubi rebus yang masih mengepulkan asap itu. Menyeruput kopi lalu menghisap rokok.

 

Tak lama istrinya keluar juga ikut ngobrol namun obrolannya sudah beralih seputar pengalaman membuat ladang ditengah hutan yang tak punya tetangga. Obrolan tentang tuan haji harus dirahasiakan dulu supaya tetap tersimpan dan tidak ada yang tahu meskipun itu orang dekat, istri sendiri.

 

Lalu, Istriya menceritakan kisah yang amat dramatis yaitu ketika pertama kali singgah di hutan jati alam I untuk membuat tempat tinggal sambil membuka ladang untuk tanam jagung dan tanaman-tanaman yang lain yang bisa ditanam untuk diambil hasilnya dalam waktu dekat.

 “Hati ingin menangis, menjerit, dan marah namun pada siapa luapan emosi harus diluapkan. Akhirnya pada kerja tubuhlah rasa marah harus diluapkan yaitu dengan bekerja keras membuka ladang semak yang penuh resiko, resiko dari gigitan ular berbisa, sengatan kelabang dan kalajengking, belum lagi kemarahan dari babi hutan yang mengandalkan serudukannya.

 

Beberapa hari harus hidup dalam ketegangan dan kekhawatiran yang sangat besar tapi setelah beberapa bulan hati kami perlahan-lahan mampu menguasainya. Setelah itu hasil tanam kami seperti singkong, ubi jalar, jagung, pisang, mulai membuahkan hasil yang melimpah sehingga kami merasa bersyukur dan mampu menghilangkan ketakutan akan kelaparan dan kematian.” Ceritanya padaku dengan ekspresi bangga.

 

“Ya, begitulah hidup yang sejati mbok, tak luput dari resiko yang tinggi terhadap kekhawatiran dan tantangan yang harus dilawan dengan keberanian untuk mengambil keputusan yang terbaik. Dan bagiku yang paling sulit adalah mengambil keputusan yang terbaik dengan keberanian.” Jawabku pelan. Dan kulihat mbok hanya senyum mengiyakan.

 

Sedangkan hari terus beranjak semakin sore dan sore. Lalu gelap. Namun, gubuk sederhana ini masih terus memberikan kehangatan dan kedamaian yang memberikan kesimpulan bahwa penghuninya adalah orang-orang yang damai dan bersahabat. Aku putuskan untuk bermalam saja dan esok pagi-pagi buta aku harus segera balik dan harus sampai diladang milik tuan haji untuk membersihkan dan merapikan pohon pisang.

Aku membaur dengan keluarga sederhana ini dengan perasaan senang. Suasana makan malam yang tak pernah kulupakan sepanjang hidup, makan malam dengan keluarga yang tak pernah memikirkan padatnya kota dan hiruk pikuk kehidupan yang serba tak jelas ini.

 

Masa bodoh dengan itu semua. Keluarga ini punya kehidupan sendiri yang tak mau mengganggu urusan orang lain dan sebaliknya keluarga ini juga tak mau diganggu, titik, pada kesimpulanku begitu. Maka berbuatlah sebaik mungkin dan seramah mungkin dengan orang yang hidupnya telah menyingkir dari tengah-tengah masyarakatnya yang telah mencibirkannya. Karena yang ia butuhkan bukan uang atau jabatan tapi ia hanya minta rasa empati atas kekurangannya maupun kelebihannya.

 

Diberanda gubuk obrolan masih berlanjut, sedang anak dan bini kang Sodri berada di dalam gubuk. Angin malam menusuk jantung, dingin sekali. Tak kubiarkan tubuhku kaku kedinginan, kututupi tubuhku dengan sarung. Kang Sodri asyik memainkan asap rokok. Rokok mau habis baru idenya keluar lagi. ia membuka percakapan dengan cerdas. Cerdas karena sesuai dengan perasaan hatiku.

 

“Waktu aku dilabrak tuan haji, dunia seperti berhenti berputar. Tubuhku gemetar dan nyaliku menciut. Yang aku takuti bukan tuan hajinya tapi mulutnya yang salah ucap, untung dia mengucapkan hajar. Jika dia mengucapkan bunuh mungkin aku sudah lama mati. Centeng-centeng itu begitu penurut sama perintah tuan haji. Over penurut seperti simbiosis antara binatang dengan tuannya. Akulah korban yang kesekian kali, bisa juga yang keduapuluh kali atau yang ke berapa. Karena hampir tiap hari selalu ada penyiksaan bagi budak yang membangkang.  Untung masih diberi hidup oleh sang pencipta yang maha kasih. Sehingga aku masih hidup. Berapa budak-budak yang telah dibunuh oleh tuan haji. Yang kematiannya dibuat seperti kecelakaan. Gantung diri, tercebur sungai, tercebur jurang, gak ada yang wajar.” Lalu sambil melirik ke arahku dia bicara lagi.

 

“Tapi kamu tidak usah takut kang Mo. Pasrahkan saja pada yang maha kasih. Hidupmu akan lebih tenang. Biarkan saja tuan haji bicara apa saja asal kamu jangan sampai membantah, mangambil barangnya, dan seakan-akan semua berjalan seperti biasa.” Nasehat kang Sodri padaku seakan-akan ia tahu apa yang kurasakan, karena ia juga pernah menjadi budak tuan haji. Dan semua orang kampung hampir telah menjadi budak tuan haji.

 

“Iya kang. Tapi aku harus tetap melawan dengan cara diam-diam. Bukankah melawan adalah kodrat sikap manusia. Bahkan juga binatang sekalipun. Terjepit dan sakit dia akan melawan dengan sebatas kemampuannya. Entah dengan gigitan, sengatan, lilitan, cakaran, terkaman, cekikan, dan masih banyak lagi cara-cara melawan. Intinya ia terbebas dari sakit atau penderitaan itu. Terkadang orang akan memilih mati saja dari pada dijajah asal jangan bunuh diri karena putus asa.” Aku berikan argumentasi tentang perlawanan kepada kang Sodri.

 

“Boleh manusia itu melawan apa saja tapi ia tak kan mampu melawan dirinya sendiri karena manusia punya nafsu dan biangnya lupa ia akan terlena lalu jatuh dan selesai sudah ceritanya. Aku kira tuan Haji berakhir begitu. Sekuat-kuatnya manusia pasti akan ada lemahnya. Sebesar imperium Romawi jatuh juga, sehebat raja Firaun kalah juga.” balas kang Sodri.

 

Mereka telah jauh diskusi tentang rencana penjatuhan tuan haji yang semena-mena terhadap rakyat tertindas atau miskin, rakyat yang membutuhkan uluran tangan berupa mata pekerjaan untuk menghidupi keluarga dan untuk kesejahteraan dihari depannya. Mereka juga membutuhkan kenyamanan dalam hidup yang sudah serba sulit karena kebutuhan-kebutuhan untuk mereka memang sangat sulit. Mereka sangat sedih dan gusar, kecewa jika harus untuk meraih hak yang telah menuntaskan kewajibannya harus tersekat oleh kelakuan yang curang dari orang yang telah mereka anggap dewa kehidupan karena mempunyai lapangan kerja yang luas dan tak ada habisnya.

 

Mereka bekerja menjadi kuli yang membantu proses pengelolaan kekayaannya namun tak mendapatkan haknya sesuai apa yang telah mereka kerjakan. Mereka jarang dibayar. Sungguh dzolim tuan haji yang pernah menunaikan ibadah Islam yang sempurna yaitu pergi beribadah ditanah suci Makkah. Tapi perilakunya sehari-hari sebagai cerminan watak dan iman tidak juga tampak penuh kebaikan namun sebaliknya hidupnya  serba masygul dan suka menindas orang-orang yang tak berdaya.

 

Memang keadilan harus selalu ditegakkan, keadilan tidak datang dengan mudah tanpa perjuangan. Apa yang benar harus selalu dijunjung yang salah diluruskan. Begitu seharusnya filosofis hidup ini jangan asal menebang tanpa kemanusiaan yang membuat banyak orang menjadi sengsara. Bagaimanapun juga nenyengsarakan banyak orang adalah perbuatan yang tidak dibenarkan ajaran agama apapun. Jika ada agama yang membenarkan itu berarti bukan agama tapi aliran yang sesat. Karena semua agama pada dasarnya mencintai kedamaian dan cinta kasih antar bangsa-bangsa dijagat ini. Bukan saling memusuhi yang hanya dengan permasalahan sepele yaitu untuk mencari kesempurnaan saja. Mengaku bahwa ini adalah agama yang paling sempurna dan bukan agama yang lain. Padahal banyak kelemahan yang hinggap secara tak sadar pada banyak umatnya.

 

Dan malam semakin larut saja meninggalkan jejak-jejak fenomena alam. Kedua manusia yang hatinya tertindas itupun akhirnya tidur juga. Tak ada lagi celoteh-celoteh, asap rokok. Hanya desahan nafas tidur mereka yang nyenyak. Senyenyak jiwanya yang telah sedikit bebas dari tekanan tuan Haji. Dan tak sia-sia usaha kang Mo mendekati kang Sodri untuk diajak bergerak menyingkirkan tuan Haji yang serakah.

*******

 

2. Kang Wito

 

Langkah berikutnya yang harus ditempuh oleh Kang Mo untuk menghubungi Kang Wito. Orang yang pernah juga disiksa oleh tuan Haji dengan cara diseret dengan kudanya dengan diarak keliling desa. Hanya dengan permasalahan yang sangat kecil yaitu dengan masuk ke rumah tuan Haji untuk memberikan beberapa tandan pisang tanpa permisi karena istri dan tuan Haji tak ada di rumah. Istri dan tuan Haji sedang melakukan kunjungan peternakan ayam petelur yang ada di kampung sebelah. Sehingga rumahnya kosong karena istrinya telah sibuk bekerja ditempatnya masing-masing. Tuan Haji yang pelit itu mengira bahwa kang Wito masuk ke rumah tanpa ada izin telah mengambil barang-barang milik tuan Haji. Ketika dicek ternyata tak ada barang satupun telah hilang. Namun hasil dari pengecekan itu tidak cukup memberikan posisi aman pada kang Wito dari tuduhan tuan Haji yang raja tega.

 

Tuan Haji tetap saja marah dan marahnya semakin menghebat saja. Para centengnya dikerahkan untuk mengambil kang Wito dimanapun berada untuk dihadapkan pada tuan Haji. Detik itu juga kang Wito dibawa ke rumah tuan Haji. Dan tak lama tuan Haji memerintahkan kepada para centengnya untuk diseret dengan kuda tuan Haji. Tubuh kang Wito dedel duel atau hancur lebur, tubuhnya lebam dan banyak luka yang mengeluarkan darah. Kang Wito pingsan. Setelah sadar fisik kang Wito semakin lemah dan membutuhkan perawatan yang intensif dari pihak keluarganya. Seharusnya dibawa ke rumah sakit tapi pihak keluarganya tak ada uang akhirnya dirawat dirumah dengan segenap hati yang sangat marah.

 

Marah saja tak cukup tapi apa artinya marah jika tak berani melawan, marah yang terpendam dalam hati hanya akan membuat hidup semakin pendek saja. Mau tak mau marah itu harus dialihkan untuk memikirkan hal yang lain sehingga marah itu akan mengalir seperti air yang dapat menghanyutkan apa saja yang dapat dihanyutkan dan marahpun harus ikut mengalir juga. Kurang lebih setahun Kang Wito tak bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Keluarganya kini harus prihatin, Kang Wito merupakan nahkoda kapal dalam keluarga yang harus lihai membawa kemanapun kapal akan berlabuh, kini ia sakit dan nahkoda harus segera untuk diganti jika tak segera diganti kapal akan menemui mara bahaya, bisa menabrak karang, bisa tertelan badai, dan juga bisa kehabisan bahan bakar ditengah samudera lepas.

 

Dengan cekatan istrinya mengganti peran Kang Wito sebagai nahkoda sementara sambil merawat Kang Wito agar mampu sembuh dan bekerja seperti biasa. Yang sangat memprihatinkan kenapa pihak keamanan tak segera mengambil tindakan atas kejadian penganiayaan terhadap diri Kang Wito. Ada kejanggalan memang. Pihak keamanan selalu cuci tangan atas kejadian itu. Sebagai alasan bahwa tak ada laporan atas kejadian itu dari pihak keluarga korban. Dan pihak keamanan menganggap bahwa permasalahan sudah selesai dengan cara kekeluargaan karena pihak Kang Wito tak berani lapor. Berani melapor besok keluarga Kang Wito dijamin akan mati semua. Ancaman Tuan Haji selalu begitu. Sehingga pihak keluarga Kang Wito diam tak berani berkutik. Dan Tuan Haji segera melancarkan kelicikannya dengan membuat perkara jadi berubah dengan mengkambing hitamkan Kang Wito yaitu telah mengakui mencuri barang milik Tuan Haji. Tuan Haji pun berlagak sebagai orang yang penuh dengan hati  bijak telah mengikhlaskan dan memaafkan atas perkara itu. Benar-benar badut yang licik penuh trik.

 

Dan masalah dengan aparat keamanan pun selesai. Tuan Haji tersenyum puas penuh kemenangan. Hartanya tak sedikitpun berkurang. Kang Wito tetap saja kalah. Tak berkutik sedikitpun. Biaya untuk pemulihan kesehatan dirinya dia sendiri yang tanggung. Tak ada ganti rugi atau pesangon. Semua sudah jelas dan gamblang bahwa masalah ditutup secara kekeluargaan dan tak ada biaya untuk ganti rugi sebagai ganti pengobatan dari Tuan Haji untuk Kang Wito.

 

Dengan hasil begitu Kang Wito menjalani penderitaan yang sangat berat tanpa pengobatan di rumah sakit. Ia mendapat pengobatan dari tabib yang baik hati secara gratis karena kasihan melihat kondisi Kang Wito. Terapi-terapi penyembuhan terus dilakukan dengan kesabaran dan ketelatenan dari diri Kang Wito, perlahan-lahan kondisinya mulai membuahkan hasil, semangat yang besar untuk sembuh mendorong Kang Wito semakin membaik. Dan kurang lebih enam bulan Kang Wito mulai beraktifitas kecil-kecilan untuk melatih naluri kerja dalam tubuhnya.

 

Pelan-pelan tubuhnya dilatih untuk mengenali keadaan sekitar. Kakinya yang patah dilatih lagi terapi berjalan, tangannya ia gerak-gerakkan lagi untuk melatih ketangkasan, otaknya yang trauma dilatih lagi untuk belajar menerima, hatinya yang marah dilatih lagi untuk belajar mengendalikannya. Walau pertama sangat sulit tapi harus bisa untuk bangkit dari keterpurukannya. Pelan-pelan dengan kesabaran, hidup memang selalu harus pandai bersabar jika ingin menang melawan diri sendiri. Tak ada kesabaran dalam hati punahlah harapan untuk bisa menguasai diri sendiri, apa yang terjadi? Perlahan-lahan diri ini akan terkoyak termainkan oleh nafsu dan binasa.

 

Dengan perjuangan yang berat Kang Wito mampu mengalahkan rasa sakit yang ada dalam dirinya. Setelah sekian lama diterapi oleh sang tabib dirinya dinyatakan sembuh dari penderitaan yang dideritanya. Kang Wito tak kuasa menahan haru, sedih, bahagia, semua emosinya tercampur aduk, tak henti-hentinya ia berterima kasih kepada sang tabib. Ia ingin apa saja yang ia punya ditumpahkan kepada sang tabib sebagai rasa berterima kasih. Namun, sang tabib cukup hanya tersenyum dan berkata lirih : “Hidup memang sudah berat kang, jangan kau beratkan lagi dengan beban-beban yang terus membebani tulang punggungmu, berterima kasihlah kepada sang pencipta alam semesta ini yang telah memberikan kesembuhan kepadamu Kang, tak ada kesembuhan yang datang kecuali atas izin-Nya dan manusia hanyalah sebagai perantaranya saja. Maka kita harus membuang sifat sombong.”

 

Setelah berkata dengan hati yang tenang dan mantab sang tabib berlalu meninggalkan Kang Sodri sendirian. Dan bayangan tubuh mulianya hilang ditelan tikungan jalan berkelok.

 

Kang Wito masih saja merenung dan tak bisa berkata-kata, tubuhnya bagaikan patung pahatan sang tabib yang telah disulap menjadi hasil karya seni yang bagus kembali setelah tubuhnya tak mampu berbuat apa-apa bagaikan bahan baku yang hampir menjadi sampah saja dan hilang dibuang ke sungai yang telah penuh dengan sampah-sampah busuk yang beresiko mampat airnya, tak bisa mengalir. Dari sampah busuk yang ada disungai itu sang tabib muncul membawanya sebagai orang penyelamat, ia hadir sebagai pahlawan bagi dirinya, bagi keluarganya. Sehingga ia beserta dengan keluarganya mampu hadir kembali menyapa hari yang penuh harap lagi.

 

Pasca kesembuhan Kang Wito mencari tempat yang aman dengan cara hijrah atau pindah dari kampungnya. Ia menuju ke selatan sejauh mungkin, menuju hutan dikaki gunung. Ia menjadi orang buangan yang telah berani hidup terasing dari kebiasaannya. Apa boleh buat demi keselamatan keluarganya. Hijrah adalah pilihan yang tepat bagi seseorang jika hidupnya semua terancam.

 

Aku ingin menjenguknya sekarang, setelah sekian lama hidupnya tak ada kabar lagi di sekitar kampung laknat ini. Dan Tuan Haji sudah menganggapnya mampus dari muka bumi ini. Bumi manusia yang banyak masalah dari manusia itu sendiri, masalah yang terus berputar membentuk siklus mata rantai masalah terus berputar di bumi ini. Dan manusia tak sadar dengan kesalahan-kesalahan yang terus terulang beberapa kali masih saja terulang lagi. kesalahan-kesalahan itulah yang akan membunuhmu Tuan haji.

 

Maka aku beranikan percakapan yang sangat kaku setelah kerjaan aku selesaikan semuanya. “Maaf Tuan Haji, bolehkah aku minta waktu izin untuk beberapa hari demi keperluan untuk menjenguk sanak saudara yang sedang sekarat?.” Kata-kataku keluar dengan gemetar. “Setengah hari saja tak boleh lebih dari itu.” Jawabnya singkat.

 

Aku mengangguk saja dan tiada sedikitpun membantah sebagai tanda setuju. Aku langsung meninggalkan Tuan Haji sendiri di kebun tebunya yang luas. Dan tak lama tubuhku hilang ditelan tarian pohon tebu yang gemulai oleh angin sepoi-sepoi. Aku masih membatin tentang waktu setengah hari dari Tuan Haji. Betapa sedikitnya waktu izin itu. Tak apalah aku harus terus melangkah saja dengan tekad baja bahwa rencanaku harus terwujud. Meski sebentar bertemu dengan Kang Wito aku harus menceritakan dengan cepat dan tepat langsung pada topiknya yaitu tentang konspirasi penyingkiran Tuan Haji dari muka bumi. Lebih kasarnya membunuh dengan halus, dengan cara dan terencana. Karena harus dengan cara itulah aku bisa lega dan dendamku bisa terwujud.

 

Aku tetap putuskan untuk pergi berkunjung ke rumah Kang Wito hari ini juga. Kapan lagi jika bukan sekarang, aku tak punya banyak waktu. Waktuku berkunjung hanya setengah hari sampai besok, dan aku sudah harus bekerja kembali seperti biasa di kebun Tuan Haji. Bekal hari ini yang ku pakai tak banyak paling sebungkus nasi dan sekantong tembakau yang telah aku keringkan, Istriku yang setia dirumah akan menyiapkan semuanya. Dan hari menjelang petang aku harus berjalan ke hutan menuju ke arah selatan di kaki gunung. Aku sadar betapa resikonya menempuh perjalanan ke hutan ke arah selatan dalam keadaan malam dan sendirian. Penerangan pun mulai aku atur, dengan cara yang sederhana mengambil sebatang daun pepaya/kates (jawa) lalu batang yang bolong aku isi dengan minyak tanah dan aku sumbat dengan kain yang sudah tak terpakai atau kain gombal.

 

Malam itu pun aku berangkat. Rasa takut harus aku buang jauh, rasa lelah biarkan menjadi bagian dari diriku yang telah terobsesi besar, rasa lelah akan sirna dengan sendirinya terhapus oleh semangat yang menyala-nyala, rasa ragu harus aku enyahkan dari pikiranku, pikiranku harus terfokus pada satu harapan menjatuhkan ketiranian Tuan Haji. Dan salah satu cara itu adalah berkonspirasi dengan orang-orang yang disakiti. Tak terasa jalanku telah menempuh hampir masuk separuh hutan yang gelap, melewati jalan tikus yang agak sedikit licin sedangkan lampu minyak dari pelepah pepaya masih sangat membantu untuk menerangi, remang-remang jalan masih bisa aku lihat, dan mudah-mudahan tak terjadi gangguan di jalan yang sangat sepi ini.

 

Udara dingin mulai kurasakan, lapar juga mulai mengganggu, namun belum ada tempat beristirahat yang nyaman sesuai hati, masih sangat ingin terus melanjutkan perjalanan ingin cepat sampai karena waktu yang sangat sempit. Dan malam ini aku harus segera bertemu dan berbincang dengan Kang Wito. Esok harinya aku sudah harus berada di kebun Tuan Haji lagi untuk melanjutkan pekerjaanku.

 

Baru sampai pada kelokan jalan tikus yang rumit tubuhku terasa semakin ringan, melayang, seperti tak punya massa. Mungkin ini pertanda energi dalam tubuhku sudah sangat menipis. Dan jika aku paksa terus berjalan kemungkinan besar tubuhku tak kan pernah sampai ke rumah kang Wito, tubuhku bisa terkulai lemas dan pingsan, bahkan tak kan bisa bangun selamanya alias mati akibat dehidrasi, atau juga dimangsa sekawanan anjing liar. Mampus lah aku!. Maka aku putuskan segera untuk mencari tempat yang nyaman dibawah pohon sekalian istirahat sejenak.

 

Sampailah aku di bawah pohon Kluwek (Pangium edule Reinw ex Blume dari suku Achariaceae), pohon setengah liar yang menjulang tinggi yang khasiat bijinya dapat diolah untuk menjadi bumbu masakan rawon. Pohon ini mempunyai ukuran besar dan menjulang tinggi. Sangat cocok aku beristirahat dibawahnya yang sinar rembulan dapat menerangi sekitarku. Aku keluarkan perbekalan sederhana yang telah disiapkan istriku di rumah. Ada nasi dengan sambel terasi dan tempe bacem sebagai laukku, air putih satu botol dan kopi dalam bungkusan plastik, tembakau juga aku bawa. Tanpa basa-basi aku mulai makan dengan lahapnya tak perduli dengan kepala yang masih agak pening akibat terlalu lapar. Perut kenyang rasa pusing akan hilang dan tubuh akan kembali kuat.

 

Sekejap nasi yang dibungkus didaun pisang itu habis ku makan. Air putih yang dibotol juga tinggal separo, aku duduk sebentar mengambil nafas, aku luruskan kaki ini supaya tak terlalu tegang, kopi aku teguk, rokokpun aku nyalakan. Asapnya mengepul mengitari udara disekitarku yang dingin. Nyamuk mulai beterbangan terusik dengan asap rokok, kulihat banyak biji kluwek yang berserakan dan tak ada yang mengambilnya, maklum tempatnya di hutan dan orang enggan mengambilnya. Aku ambil beberapa biji yang kelihatannya masih segar, segar karena kulihat baru saja jatuh dan bijinya berserakan. Ku masukkan ke dalam kantong perbekalan yang telah kosong. Akupun segera untuk melanjutkan perjalanan.

 

Setelah terkatung-katung oleh pekatnya malam di tengah hutan aku mulai agak sedikit lega, pandangan mataku agak sedikit tenang dan konsentrasiku mulai sedikit mengendor oleh kepuasan hati yang telah melewati mara bahaya. Aku melewati pematang kebun yang penuh tanaman jagung (Zea mays L.), ketela pohon (Manihot utilissima), dan pisang (Musa paradisiaca). Hatiku mengatakan bahwa perjalananku akan segera sampai ditujuan karena kulihat ada tanaman-tanaman yang telah sengaja ditanam oleh tangan manusia yang terampil, siapa lagi kalau bukan Kang Wito.

 

Alhamdulillah benar juga firasatku. Ditengah kebun disekitar pohon mangga (Mangivera indica) terlihat rumah sederhana yang dalamnya masih memancarkan cahaya yang redup. Seakan cahaya itu dari lampu teplok  menandakan ada kehidupan didalamnya. Hatiku berseri-seri menyaksikan pemandangan itu, langkahku semakin aku percepat bertanda tak sabar untuk segera bertemu dengan penghuninya. Walau hati sedikit penasaran namun aku sungguh yakin jika itu tempat kang Wito mengasingkan diri dari kebejatan Tuan Haji. Ia mencari tempat yang nyaman dan damai meskipun ia harus hidup sendiri, membentuk komunitas sendiri dengan istri, anak, hewan piaraan dan tumbuh-tumbuhan.

 

Ia bisa menghirup udara dengan bebasnya, ia bisa bercocok tanam dengan tenangnya, ia bisa memandikan hewan piaraannya dengan senyuman, ia bisa bercengkeraman hangat dengan keluarganya. Walau harus terasing dari masyarakatnya. Kang Wito salah satu dari orang yang dianiaya oleh Tuan Haji. Simbol perlawanan pada kesewenang-wenangan.

 

Aku sudah sampai persis didepan rumahnya. Rumah sederhana yang beratap rumput ilalang (Imperata cylindrica), dan daun kelapa (Cocos nucifera), meski sangat sederhana namun terkesan damai dan harmonis. Aku tiba hari sudah larut malam, maka aku beranikan untuk tetap mengetuk pintu dan mengucapkan salam.

 

“Assalamualaikum, Assalamualaikum, Assalamualaikum.” Baru yang ke tiga kali aku mendengar ucapan dari dalam rumah. Dan benar dugaanku suara itu tak asing ditelingaku, suara itu suara Kang Wito.

“Waalaikum salam.”

 

Pintu dibuka perlahan-lahan, dan sosok yang telah ku kenal telah membukakan pintu.

“Kang Wito”

“Kang Mo”

 

Mereka langsung berpelukan erat sekali seakan tek terlepas kembali. Dua sahabat yang telah lama tak jumpa. Mereka dipisahkan oleh keadaan yang menyakitkan. Tuan Haji yang telah merubah persahabatan mereka jadi terpisah. Namun sekarang mereka dapat bertemu kembali, menyatukan misi kekuatan yang akan dibangun kembali untuk menjungkal Tuan Haji. Bahkan akan menghabisinya dengan alasan telah berbuat semena-mena terhadap orang yang lemah.

 

“Baik Kang Wito mungkin waktuku tak bisa lama-lama untuk bernostalgia. Aku punya misi akan menghabisi Tuan Haji, mohon dukungannya dan kalau bisa memikirkan cara yang tebaik.”

 

“Ah Kang Mo, besar sekali nyalimu hingga berani mau membunuh Tuan Haji, apa tak salah dengar aku Kang Mo?, iya kang aku akan membantumu secara langsung dengan cara yang halus. Halus bukan dengan cara santet atau teluh tapi aku bisa meracik racun yang mematikan dari warisan sang tabib yang telah menolongku berbulan-bulan dari penyiksaan Tuan Haji yang akan membuatku mati.”

 

Tak lama, istri Kang Wito keluar sambil membawa dua cangkir kopi dengan jagung rebus yang masih mengepulkan asapnya.

“Silahkan Kang Mo dinikmati kopi dan jagung rebusnya. Mumpung masih hangat.” Sambut Mbok Wito ramah.

“Iya mbok, pasti akan kuhabiskan semuanya. Lagian aku ke sini sangat jauh dan malam-malam begini perutku ini juga lapar tentunya.” Jawabku pelan sambil senyum.

 

“Aku ada usul Kang Mo.” Kang Wito tiba-tiba membisikkan kata-kata ke telingaku dengan bisikan,”lebih baik Tuan Haji kita racun saja Kang!” lalu ia mengernyitkan alisnya padaku seakan ia menunggu jawabku untuk mengiyakan usulnya.

“Bisa juga Kang tapi aku tak bisa meracik racunnya. Mungkin kau bisa sediakan racunnya?”

 

“Tenang Kang Mo! Aku mengusulkan begitu karena aku telah lama merenungi untuk menyingkirkan Tuan Haji. Kebetulan kau ke sini Kang Mo dan memberitakan untuk membunuh Tuan Haji. Rasa-rasanya kita ada ikatan perasaan Kang. Sampai-sampai kau rela datang berkunjung di gubukku ini. Aku Kang Mo yang sediakan semua racunnya. Dijamin ces pleng, tak ada bekas seperti kena racun Kang. Sehingga tak ada bekas tanda-tanda diracun.” Kang Wito menyakinkanku.

 

“Baik Kang. Kita langsung saja tentukan caranya. Waktuku tak banyak karena esok aku sudah harus bekerja lagi di ladang Tuan Haji.” Desakku tak sabar.

“Aku punya ramuan racun yang telah kupelajari dari tabib yang telah menyembuhkanku itu. Ramuan itu aku buat dari racun ular anang atau ular Cobra (Ophiophagus hannah), Kalajengking (Leiurus quinquestriatus), Kelabang seribu atau Lipan (Enhydrina Schistosa) dan racun katak emas (Phyllobates terribilis). Dan semua racun itu telah aku ubah menjadi serbuk dengan cara pengeringan yang proses pembuatannya tidaklah sembarangan, membutuhkan keahlian khusus dan ekstra hati-hati. Racun itu pernah aku pakai untuk seekor tikus, hasilnya tikus itu mati dalam 15 detik, pingsan langsung mati tak sampai tikus itu berlari kesana-kemari.

 

Jika itu di pakai untuk membunuh manusia mungkin tak sampai mengeluarkan busa dari mulutnya ia sudah langusng mati karena yang diserang adalah sistem syarafnya. Tapi melalui proses kejang-kejang sebentar karena syarafnya terasa kaku dan langsung tak berfungsi seketika.” Terang Kang Wito.

 

Kang Mo merasa takjub dan hanya menggelengkan kepala dan merasa panasaran seperti apa racun yang mematikan itu. Lalu ia bertanya lagi, “dicampur dimakanan apa di minuman Kang?”

 

“Bisa kedua-duanya, namun perlu diingat bahwa kita harus berspekulasi, jika dicampur di air minum ini kurang pintar karena pada airnya mudah di tebak bahwa ia mati telah diracun melalui air minum. Jika melalui makanan perkiraan sama, tapi ini melalui rokok, dan orang akan berasumsi bahwa Tuan Haji mati karena serangan jantung yang bersifat mendadak, karena racun itu akan menyebar diparu-paru yang membuatnya kesulitan bernafas, otak sebagai pusat syaraf akan tidak berfungsi, dan jantungnya akan berhenti seketika. Kita sudah tahu kan Kang Mo bahwa kebiasaan Tuan Haji adalah merokok.” Terang Kang Wito seperti profesor dibidang obat-obatan.

 

Kang Mo terkesima dengan penjelasan Kang Wito yang diluar dugaan. Kang Wito telah berubah dengan kemajuan karena telah pandai meracik obat. Ilmu meracik obat yang ia dapat dari seorang tabib yang telah menyelamatkan hidupnya. Benar-benar ada hikmah dari kejadian kala itu, ketika Kang Wito disiksa oleh Tuan Haji yang tamak itu.

 

“Racun itu cukup dioleskan pada batang rokok, racun ini berupa serbuk halus, hati-hati jika mau mengoleskannya jangan sampai kena tanganmu atau terhirup oleh hidungmu, bisa-bisa kau mati duluan. Untuk lebih mudahnya kau lihat dulu kebiasaan memakai rokok apa, apakah masih memakai rokok buatan Kudus atau Kediri. Tinggal kau sesuaikan rokoknya. Lalu Kang Mo beli ditoko-toko ambil satu batang kau olesi dengan ramuan racun yang telah dicampur air dulu, racun itu akan meresap ke dalam batang rokok. Kang Mo lihat terus gerak-gerik Tuan Haji kemanapun pergi, ketika Tuan Haji lengah dengan menaruh rokok itu di meja atau dimanapun, rokoknya kamu ambil lalu kau ganti dengan rokok racunmu itu. Kita dari awal memang harus berspekulasi jika ia belum memakai rokok itu ia akan tetap menghirup udara bebas, jika ia langsung memakainya ia akan bebas, bebas menuju kematian.” Terangnya kepada Kang Mo dengan nada paling serius.

 

“Baiklah Kang! Aku sanggup melakukannya.” Tanpa basa-basi Kang Mo mengiyakan ucapan Kang Wito.

 

Malam itu juga Kang Mo mohon diri untuk kembali ke kampungnya. Ia pulang seperti orang yang merdeka. Puas dengan solusi Kang Wito yang sangat cerdik. Ia yakin bahwa rencana ini pasti berhasil. Bahkan tim penyidik takkan mampu menelusuri kejadian dibalik ini semua kecuali Tuhan yang maha tahu. “Maafkan aku Tuhan! Aku melakukan ini pada umatmu karena terpaksa. Aku sudah tak kuat lagi atas kelakuannya dengan semena-mena terhadap kehidupan kami. Dia telah mengganggu kedamaian kami.

 

Dia telah merusak kebahagiaan kami. Maka aku harus membuat hukum sendiri untuk selesaikan ini. Karena hukum-hukum yang telah dibuat hanya hukum yang tunduk dengan uang dan harta. Hukum yang tidak memihak kaum kecil seperti kami ini. Izinkan aku untuk menyingkirkan umat-Mu atas nama Tuan Haji yang bangsat.” Doa Kang Mo dalam hati.

 

Jarak yang begitu jauh telah ia tempuh bagaikan satu meter saja, karena ia telah menemukan jawaban yang telah lama ia cari. Jalannya begitu ringan dan enteng tanpa kelihatan lelah. Hutan yang masih lebat ia lalui dengan tenang dan tanpa sedikitpun gentar. Tubuhnya kang Mo masuk hutan hilang ditelan kegelapan malam. Bayangannya pun tak tampak direbut lebatnya pepohonan. Suara binatang nokturnal berkecamuk sampai bising ditelinga. Hantupun tak berani nampak untuk mengganggu jalannya kang Mo. Karena kang Mo tak takut dengan hantu, ia hanya takut dengan bayangan pikirannya sendiri. Bukankah ketakutan adalah perasaan itu sendiri. Ketakutan selalu ada dalam diri manusia dan wajar tapi jika ketakuatn itu berlebihan dan mengganggu stabilitas mental kita berarti jiwa itu perlu untuk konsultasi dan harus diobati.

 

Waktu fajar akan segera habis namun Kang Mo sudah keluar dari rimba raya. Sebentar lagi akan menginjak pelataran rumahnya yang sederhana. Tak jarang ia mulai sering menguap, walau ngantuk itu ia lawan dengan berat tetap saja rasa kantuk akan selalu tampak. Dalam benaknya ia hanya akan mampir ke rumah sebentar untuk berpamitan istrinya yang setia menunggunya di rumah. Sekalian mengambil bekal untuk sarapan dan makan siangnya di kebun Tuan Haji waktu bekerja. Agar ia tak megambil sejumput pun barang milik Tuan Haji meskipun hanya rumput liar sekalipun agar tak menimbulkan perkara yang menyusahkan.

 

Sekarang ini keadaanku sudah semakin parah. Keadaan ekonomiku yang serasa mau ambruk. Aku bekerja di Tuan Haji ibarat kerja ikut bangsa penjajah yang suka semena-mena. Jarang mendapatkan upah yang semestinya sesuai dengan tarif yang berlaku. Aku mulai harus segera menyingkirkannya dalam waktu dekat ini. Rencana ini tidak ada yang tahu kecuali Kang Wito dan Kang Sodri.

 

Kang Mo pun langsung masuk ke dalam rumahnya, ia dapati istrinya yang sedang memasak di dapur. Pelan-pelan ia duduk dikursi lalu mengambil air putih yang tersedia di meja. Ia mulai tersenyum kepada istrinya, senyum paling manis yang selalu ia berikan kepada orang yang paling ia cintai.

“maaf baru nyampek rumah. Padahal aku tidak lama berbincang dengan Wito.” Ucap pada istrinya.

“Bagaimana kabar Kang Wito pak?” tanya istrinya

“Kang Wito sekarang tambah semakin sehat, semangat dan semakin pandai meracik obat. Tubuhnya yang dulu hancur lebur bisa sehat kembali bahkan sekarang Kang Wito dah bisa bertanam lagi. Sebentar lagi ia akan panen jagung, singkong. Ku rasa ia telah menemukan kehidupannya kembali.” Jawab Kang Mo.

 

“Syukurlah pak. Aku kasihan waktu dulu ia berada dalam masalah yang gawat dan mau sekarat akibat ulah kaum priyayi itu, si Tuan Haji yang tak tahu berterima kasih sedikitpun. Kenapa Tuhan masih saja memelihara umatnya yang bangsat begitu, panjang umur lagi, kenapa tidak dicabut saja nyawanya dari pada hidup di dunia ini sudah tak kenal batas manusiawi.” Ucap istrinya yang tak kalah kerasnya.

 

“Hush! Ketahuan centengnya baru rasa kamu.” Kang Mo menggertak

“biarin pak. Biar kita mati sama-sama demi kebenaran yang kita bela. Dari pada kita hidup hanya merasakan ketakutan semata. Untuk apa kita hidup kalau hanya untuk takut pak.” Jawab istrinya tak mau kalah.

“takut itu beralasan bu, orang takut itu tak ada yang tanpa sebab. Semua pasti ada sebabnya kenapa orang merasa takut?”

“maksudnya apa toh pak?” tanya istrinya

 

“maksudnya kita punya rasa takut itu memang lumrah dan manusiawi bu. Kalau manusia itu tak punya rasa takut ia bukan manusia tapi robot. Makhluk tak berhati bikinan manusia. Seperti kita takut pada Tuan Haji itu juga ada alasannya, yaitu kenapa? Karena dia itu makhluk super jahat. Tapi dibalik ketakutan itu kita punya kesempatan untuk belajar, belajar dengan mengenalinya dan mencari titik lemahnya supaya kita tidak takut.” Terang Kang Mo.

“benar juga pak.”

 

“ya sudah,  sekarang mana bekalku? Aku mau jadi robot di kebun Tuan Haji. Robot yang punya hati namun kelu. Kelu hatinya musti harus diobati. Dengan cara memberi pelajaran padanya.” Sambut Kang Mo lagi.

 

“iya pak. Bekal sudah aku siapkan di meja, aku bungkus dengan daun pisang pak. Untuk air dan kopinya juga sudah. Jika nanti sudah selesai semua urusan di Tuan Haji lekas pulang pak, aku melihatmu begitu lelah dan capek.” Pinta istrinya.

 

“Baiklah bu, nanti aku akan cepat pulang dan langsung istirahat. Apalagi akhir-akhir ini aku sering pergi dan jarang tidur. Aku berangkat dulu bu, selagi waktu masih sangat pagi.” Pamit Kang Mo pada istrinya.

 

Matahari baru saja muncul perlahan-lahan, embun masih basah di setiap daun-daun dan rerumputan. Orang-orang masih saja asyik bermalas-malasan di rumahnya sambil menikmati teh dan kopi. Namun tidak bagi Kang Mo, ia sudah berada di kebun tebu milik Tuan Haji. Ia merapikan daun-daun tebu yang luas itu. Tubuhnya sudah berperang melawan peluh, sambil terkantuk-kantuk ia terus menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sebelum Tuan Haji datang untuk melihat kebun tebunya. Ia selalu membuktikan pada Tuan Haji bahwa ia adalah pekerja yang baik dan layak dihormati sebagaimana hubungan para pekerja dengan sang bos. Hubungan simbiosis – mutualisme (saling menguntungkan) yang harus selalu dijaga sepanjang waktu.

Sedangkan di rumah Tuan Haji masih terlihat santai sambil minum kopi, rokok dan baca koran pagi. Sesekali ia menghembuskan asapnya ke atas sambil menyeringai “gila”, lalu ia akan mendumel dengan genit dan sok tahu “zaman sekarang masih ada orang yang mau susah dan kasihan seperti berita ini, malas”, lalu ia menutup koran dan menyeruput kopinya dan menyalakan rokoknya. Sambil berteriak keras.

 

“Said! sini cepat!” teriaknya memanggil centengnya.

“Siap Tuan! Ada yang bisa saya kerjakan.” Jawab Said cepat dihadapan Tuan Haji.

“kamu pergi ke kebun tebu sekarang, kamu lihat si Mo. Apa sudah beres pekerjaannya membersihkan daun tebu. Jika sudah selesai suruh datang ke sini, cepat kerjakan!” Perintah Tuan Haji.

 

Dengan langkah setengah berlari Said berlalu meninggalkan Tuan Haji yang masih menikmati rokoknya dengan santai. Di ruang teras rumahnya yang super luas, gaya rumahnya yang perpaduan antara gaya Tiongkok dan Jawa. Jika dilihat mirip bangunan kuil. Warna catnya merah menyala dan pintu masuk rumah dengan gapura yang dilengkapi patung dua singa yang terkesan seperti akan menerkam mangsa.

 

Pelataran rumahnya seluas lapangan sepak bola, rumahnya seperti istana raja. Kesan angker menyelimuti rumahnya yang semua serba merah dan hitam. Bergidik dan ciut nyali ketika akan masuk. Rumah seluas 2.500 meter persegi rumah paling besar di kawasan kampung yang sangat melarat itu. Disekitarnya rumah-rumah gubuk reot yang hanya beratapkan ilalang. Benar-benar merupakan pemandangan yang sangat senjang.

 

Tak lama datanglah Kang Mo dengan ditemani Said. Kang Mo menghadap dengan menunduk-nunduk. Lalu,

“Ada apa Tuan Haji, saya menghadap. Apa lagi yang bisa aku kerjakan. Untuk daun-daun tebu sudah aku bereskan dengan rapi.” Bicara Kang Mo.

“Baik, sekarang tolong bersihkan halaman rumah ini baik halaman depan dan halaman belakang, rumput-rumput liar sudah banyak yang tumbuh tak teratur, daun-daun pepohonan tolong dirapikan dan bakar di tempat sampah pojok belakang dekat bambu itu.” Perintah Tuan Haji.

 

Kang Mo masih saja menunduk tak berani menatap mata Tuan Haji. Ingin ia memberanikan diri untuk memandang wajah Tuan Haji, namun sangat susah seakan-akan dirinya tersekat oleh rasa kaku yang berlebihan yang membuat syarafnya tak bisa digerakkan sedikitpun, apalagi memandang wajah Tuan Haji. Mendengar suaranya saja seperti petir yang menggelegar. Tak kuat nyali untuk menatap wajahnya Tuan Haji.

 

Padahal ia ingin melihat meja Tuan Haji yang ada didepannya, ia ingin melihat kesukaan Tuan Haji, mulai dari kue, jajan, koran, once, arloji, kopi, teh, air minum, buku, majalah, asbak, dan yang menjadi bidikan dalam hatinya adalah rokok. Tuan Haji memakai rokok apa? Tapi tak berani menatap sekelilingnya. Hanya diam menunduk seperti patung. Namun dalam hati Kang Mo berkata “inilah saatnya kesempatan yang aku tunggu-tunggu, saatnya lalat kecil masuk dan menebar virus kematian. Awas kau Tuan Haji! Hidupmu tak kan lama lagi.” Kang Mo tersenyum dalam hati.

 

Kemudian ia mengambil topi lusuhnya.

“Baik Tuan Haji segera hamba laksanakan.” Pamit Kang Mo. Namun diluar dugaan dengan cepat topi itu ia gunakan untuk mengambil buntung rokok di bawah dekat meja Tuan Haji tanpa sepengetahuan Tuan Haji dan si centeng Said.

 

Inilah kelemahan Tuan Haji, ibaratnya seekor macan telah berani mengundang seekor kobra untuk masuk ke dalam istananya demi ambisi semata. Dengan langkah cepat Kang Mo keluar teras rumah Tuan Haji yang besar dan megah itu. Seakan-akan langkahnya adalah langkah yang berpengharapan. Langkah kemenangan.

 

Sesampai halaman belakang rumah ia melihat puntung rokok Tuan Haji yang dari tadi telah ia genggam dengan topi lusuhnya. Ternyata Tuan Haji memakai rokok produk Kudus. Puntung rokok itupun ia masukkan ke saku bajunya. Dengan segera ia pun memulai membersihkan halaman belakang rumah Tuan Haji. Dengan penuh selidik ia pun mengawasi rumah besar dan megah ini.

 

Dalam hatinya “untuk siapa rumah besar ini jika Tuan Haji binasa, tentu untuk istri-istrinya. Benar-benar sungguh merepotkan punya harta banyak sedang mati tak dibawa pula. Lebih baik di gunakan untuk yang lebih membutuhkan sehingga tidak repot mengurusnya kelak. Semua harta ini hanya titipan Tuhan akan kembali juga ke Tuhan. Tapi sulit jika orang sudah memuja harta seakan-akan hidupnya hanya untuk mengabdi pada harta.”

 

Hari beranjak semakin sore. Kang Mo sengaja belum segera mengakhiri pekerjaannya. Dia masih sibuk membersihkan dan menata halaman belakang rumah mewah milik Tuan Haji. Sambil melihat-lihat tata letak rumah super megah itu. Sesekali ia melirik istri-istrinya yang sedang berkumpul di ruang santai belakang rumah yang langsung menghadap ke pohon-pohon yang rindang dan sejuk.

 

Istri-istri itu seakan-akan sibuk berdiskusi tentang masalah apa yang mereka hadapi seharian tadi. Istri-istri yang semuanya bisa dikategorikan super cantik dan cerdas. Semuanya memegang bisnis masing-masing. Mereka duduk santai sambil makan dan minum, terkadang juga tertawa dan tersenyum. Benar-benar surga buat Tuan Haji, rumah yang super mewah, istri tiga semua cantik, kekayaan yang melimpah, fasilitas lengkap, namun sayang surga itu hanya ingin ia miliki sendirian tanpa orang lain yang boleh ikut merasakan. Orang lain hanya buruh, budak, jika ada yang berani membantahnya penyiksaan yang akan diterimanya. “Baiklah! Mungkin surga atau istana Tuan Haji yang masih berbau dunia ini sebentar lagi akan hancur, berantakan.” Gumam Kang Mo dalam hati.

 

Ia pun mengakhiri pekerjaannya dan berkemas-kemas mau menghadap Tuan Haji untuk izin pulang karena hari sudah menjelang sore. Kang Mo berjalan menghampiri para istri-istri Tuan haji yang sedang bersantai di beranda belakang rumah.

 

“Permisi Tuan Putri! Aku ingin bertemu Tuan Haji. Karena hari sudah sore aku ingin pamit pulang. Untuk pekerjaannya yang belum selesai akan aku selesaikan besok.” Pinta Kang Mo sambil sesekali melirik meja Tuan Putri.

 

“Said!” serentak mereka memanggil centeng Tuan Haji.

Tak lama si Said keluar tergopoh-gopoh menghadap Tuan Putri.

“Iya  Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Said.

“Tanyakan pada Abah, apa sudah boleh pulang?” jawab Nyonya kepada Said.

“Baik Nyonya.” Said langsung menghadap Tuan Haji ke dalam rumah.

 

Sedangkan Kang Mo duduk agak menjauh dari ruang beranda tempat para istri Tuan Haji berkumpul. Ia duduk di bawah pohon Akasia dengan mengipas-kipaskan topinya yang sudah usang. Dengan berfikir bahwa besok sangatlah cocok untuk beraksi. Angin sore menerpa pelan yang sempat menghentikan gerak kipas Kang Mo, rasa tegang kecapekan Kang Mo sedikit menghilang walau agak sedikit riasu untuk memikirkan cara aksi besok hari. Dalam otaknya ia terbayang nasehat Kang Wito  “ingat Kang Mo harus dengan cara yang halus dan tepat”, jika ingin menyingkirkan Tuan Haji. Otaknya terus bergelayutan mencari sinyal aksi yang paling tepat dan cepat buat besok. Terus otaknya berfikir keras tentang resikonya juga hingga bayangan yang ada diotaknya buyar ketika mendengar teriakan dari rumah megah itu.

 

“Mo, besok kamu kembali kesini jam tujuh pagi dan sekarang kamu boleh pulang. Ingat jam tujuh tepat.” Bentak Said.

“Baik Bang Said.”  Jawab Kang Mo bergegas pulang.

Dengan santai Kang Mo berjalan menyusuri rumah megah Tuan Haji untuk berbegas pulang.

 

Pagi Yang Menggemparkan

 

Pagi sekali Kang Mo sudah berada di rumah Tuan haji untuk bekerja. Rumah megah masih sunyi, masih banyak yang terlelap. Termasuk diruang pos penjagaan paling depan, para pengawal-pengawal itu masih saja tertidur pulas. Kang Mo berhenti didepan pos penjagaan. Untuk meminta izin bekerja. Kang Mo mengetuk pintu ruang pos penjagaan itu. Bang Said dengan mata yang masih setengah melek menemui Kang Mo.

 

“Ada apa Kang? Pagi begini ke sini mau apa kamu?” Tanya Bang Said pada Kang Mo.

“Aku mau bekerja Bang, mumpung masih pagi sehingga cepat selesai pekerjaanku.” Jawab Kang Mo. “Ya sudah sana lekas bekerja. Tapi awas jika kamu berani mencuri, atau mau bikin masalah di sini, kamu berhadapan dengan aku.” Gertak Bang Said dengan nada keras.

 

“Maaf Bang Said tak secuilpun aku punya niat jahat seperti itu. Tugasku adalah bekerja saja dan hanya bekerja saja yang aku tahu. Lebih dari itu aku tak tahu. Yang aku tahu hanya ladang, sawah, pisang, kelapa, tebu, cangkul, arit, sungai dan Tuan Haji.” Jawab Kang Mo untuk menghindari kecurigaan dari Bang Said

“Kenapa dengan Tuan Haji? Kenapa kau memasukkan Tuan haji dalam hal yang kau tahu?” tanya Bang Said penasaran.

“Karena Tuan Haji majikanku Bang.” Jawab Kang Mo.

“Ya sudah sana kerja, keburu siang nanti.” Perintah Bang Said yang mulai malas karena satu alasan kuat dirinya masih kena wabah ngantuk berat.

 

Memang sengaja Kang Mo berangkat pagi sekali karena untuk melihat situasi lokasi di rumah Tuan Haji. Untuk mencari kelengahan Tuan Haji. Target dari rumah sudah ia persiapkan dengan matang. Rokok produk kota Kudus juga sudah ia persiapkan dengan hati-hati dan dibungkus dengan plastik tipis namun kuat untuk menghilangkan jejak melalui sidik jari sehingga pihak kepolisian tak mampu mengenali barang bukti dengan melacak melalui sidik jari.

 

Rokok itu sudah diolesi racun buatan Kang Wito. Tinggal melakukan aksi yang tepat dan halus nyaris tanpa jejak. Bungkus rokok itu sudah ia buka yang merknya sama punya Tuan Haji. Ia ambil rokok satu bungkus, seakan-akan rokok itu punya Tuan Haji yang telah ia pakai, sehingga Tuan Haji tidak curiga dengan rokok yang masih belum terbuka. Kang Mo sendiri bingung pastinya membuat rokok seperti masih baru dari toko karena sistem pressnya yang sangat rapi. Satu-satunya cara dengan melihat rokok Tuan Haji secara langsung dan melihat isinya masih berapa batang yang tersisa. Lantas menggantinya dengan rokok yang sudah aku persiapkan dari rumah. Pekerjaan yang sungguh berat dan butuh keberanian juga kehati-hatian.

 

Kang Mo berjalan dengan cekatan, matanya selalu siap membaca kemungkinan-kemungkinan yang akan ia lakukan. Pandangannya selalu tertuju rumah megah itu, dipandangnya meja beranda, kursi beranda, lantai beranda, bahkan kusen-kusen pintu, cendela yang apik dengan penuh ukiran-ukiran yang terkesan angkuh dan mewah itu. Tak luput juga pot-pot bunga yang tertata rapi bak istana penguasa juga dipandangnya dengan cekatan.

 

Kang Mo tidak seperti Kang Mo yang kemarin, seorang buruh harian yang apes oleh kebejatan Tuan Haji. Karena harus bekerja dengan bayaran yang tak tentu, terkadang juga dibayar meski tak sesuai dengan ukuran, jika tak dibayar jangan mengharapkan untuk menagih upah, bisa-bisa upah nyawa yang akan melayang.  Ketika semakin dekat dengan beranda mewah itu, kata hati Kang Mo tak mau beraksi karena tak ada bungkus rokok yang masih tersisa di situ. Kang Mo terus berjalan tenang meninggalkan beranda mewah itu, untuk menuju halaman belakang. Dan masih ada satu bidikan dalam otaknya, yaitu beranda belakang rumah.

 

Yang kemarin Kang Mo tahu para istrinya sedang berbincang-bincang santai diruang belakang rumah itu. Dan sempat ia meminta izin pada para istri itu untuk minta pamit pulang hingga Bang Said keluar dari rumah dan memintakan izin pada Tuan Haji. Di ruang itulah mata Kang Mo sempat melirik bungkus rokok yang tergeletak bersama dengan koreknya, rokok produk kota Kudus yang terkenal dengan kualitas tembakau pilihan dan rasanya memang sungguh nikmat, Kang Mo sendiri pernah mencicipi rokok yang tergolong mahal itu dari saudara istrinya yang berasal dari Kudus yang kebetulan main ke rumah. Namun hanya sekali itu, selanjutnya masih tetap setia dengan rokok buatan sendiri, dengan mengeringkan daun tembakau sendiri setelah diirisnya kecil-kecil secara memanjang. Kurang beberapa langkah lagi ia akan sampai diberanda belakang rumah itu, hatinya mulai tak tenang, jantungnya berdetak cepat, darahnya mulai mendesir, menandakan kegugupan dan tak sabar segera sampai dan beraksi.

 

“Huh! Tubuh ini mulai tegang, aku harus tenang, tenang dan tenang. Ayolah tubuh! Jangan buat aku tersiksa begini. Kamu harus bisa ku ajak kerja sama dalam hal ini. Sekali ini saja. Bukankah aku baru pertama kali ini mengajakmu berbuat jahat?” Canda Kang Mo dalam hati untuk mengurangi ketegangan.

 

Benar apa yang diduga Kang Mo. Sebungkus rokok produk Kudus dan korek api itu masih tergeletak aman di atas meja belakang rumah. Tak ada yang berani mengusiknya. Bang Said pun yang telah setia menemani Tuan Haji puluhan tahun tidak berani sedikitpun sembarangan mengambil barang milik Tuan Haji tanpa seizin Tuan Haji. Jika itu dilanggar tidak bakal aman dalam hidupnya kecuali langsung kabur jauh dengan radius 250 kilometer dari muka Tuan Haji. Itupun harus mencari tempat yang aman jauh dari pemukiman warga.

 

Kang Mo mulai mendekati sebungkus rokok yang ada di atas meja itu, meski tubuhnya sedikit tegang dan gemetar ia paksakan untuk melawan takut. Ia mulai mengeluarkan 2 kantong plastik seukuran 1 kg yang masih baru lalu ia masukkan kedua tangannya ke dalam plastik, lebih tepatnya sebagai sarung tangan, ia mengambil sebungkus rokok dan membukanya, kedua matanya sibuk menghitung jumlah isinya. Setelah dengan cepat ia menghitung jumlah isinya, secepat siswa yang telah menguasai ilmu sempoa dengan handal ia masukkan rokok milik Tuan Haji ke dalam tas khusus yang sudah ia siapkan dari rumah. Ia menggantinya dengan rokok nya yang telah ia olesi racun super hebat buatan Kang Wito. Lantas ia taruh persis dengan posisi semula.

 

Dengan cepat ia pun meninggalkan tempat itu. Tubuhnya masih saja gemetaran bahkan lebih hebat dari semula. Nafasnya ia atur lagi dengan baik, tarik nafas, hembuskan, tarik nafas, hembuskan sampai tak terhitung. Dalam hatinya merasakan  kekhawatiran yang sangat kuat, dengan alasan yang terlintas dalam benak, “sebentar lagi aku akan menjadi pembunuh. Pembunuh berdarah dingin dengan terencana.” Pikirnya.

 

Kang Mo mulai bisa mengendalikan emosinya dengan baik, dan hari mulai menampakkan pagi dengan sinar matahari yang mulai muncul. Ia sudah sibuk bekerja di belakang rumah mewah Tuan Haji. Walaupun sesekali matanya melirik beranda belakang rumah Tuan Haji yang masih saja sepi.

 

Selang beberapa menit kehidupan dirumah mewah itu mulai tampak, pintu belakang rumah mewah itu mulai dibuka oleh salah satu istrinya yang sudah dalam keadaan segar. Jika dilihat cara berpakaian ia mau berangkat bekerja. Karena semua istrinya Tuan Haji adalah sibuk bekerja. Kang Mo dengan diam-diam memperhatikan aktivitas dalam rumah mewah itu sambil bekerja mencabuti rumput liar. Dengan tenang setenang-tenangnya untuk tidak membuat kecurigaan. Sedangkan dari dalam rumah itu ternyata Tuan Haji masih tidur. Hanya ketiga istrinya yang terlihat sibuk menyiapkan keperluan aktivitas pekerjaannya, termasuk menyiapkan sarapan dan membuat kopi kesukaan Tuan Haji. Waktu semakin berjalan. Lambat laun mulai ramai, angin dingin tak lagi terasa, berganti hangat karena radiasi matahari membuat tubuh juga terasa gerah, begitupun juga Tuan Haji harus segera bangun tidur karena sudah tidak nikmat lagi dalam tidur. Ia menguap sebentar, berdiri, berjalan menuju kamar mandi.

 

Tak berapa lama ia pun keluar untuk bersisir pada cerminnya yang antik, rambut uban yang mulai keluar ia usap-usap dengan tangannya. Namun ia seakan-akan acuh tak acuh pada ubannya, dalam hatinya “ini masalah mudah semir beres”, setelah dirasa rapi, ia pun berjalan mencari kopinya yang telah disiapkan istrinya yang ketiga yang tetap tinggal menemaninya di rumah, istri ketiga tak ikut kerja keluar rumah hanya tetap tinggal dirumah sebagai penasehat Tuan Haji dalam masalah apapun.

 

Kopi itu tersaji di meja beranda belakang rumah, ada rokok dan koreknya disebelahnya. Roti tawar, mentega, keju, susu cream, mesis, selai, makanan ringan dan buah-buahan tersaji juga. Tuan Haji duduk dengan tenang dan siap mengambil roti, ia memakannya sedikit lalu menyeruput kopinya dengan damai. Matanya memperhatikan Kang Mo yang terlihat giat bekerja. Ia merasa puas melihat Kang Mo yang sudah bekerja dengan giat. Tanpa membantah sedikitpun, tak berani melawan, benar-benar manusia yang bisa diperbudak. Manusia yang bisa jadi robot sedangkan robot tak bisa jadi manusia. Tuan Haji berdiri lagi mencari koran baru, ia memanggil istrinya ketiga, terjadilah percakapan yang mungkin terakhir baginya.

 

“Sayang, mana koranku?” Tanyanya manja.

“Ya sebentar Bang, aku ambilkan.” Jawab istri ketiga

“Sama sekalian kaca mataku yang ada di meja kamar. Bawa kesini.” Teriak Tuan Haji.

“Baik bang.” Timpal istri ketiga dari dalam rumah.

Sebentar istri ketiga keluar membawa koran dan kaca mata.

 

“Ini Bang koran dan kaca matanya. Silahkan dimakan rotinya lebih dulu bang, baru baca koran. Keburu tak enak rotinya. Apalagi kalau perut sudah kenyang kan lebih enak membacanya.” Seruan istri ketiga.

“Baiklah sayang, aku makan rotinya. Ambilkan sayang!” Pinta Tuan Haji pada istri ketiga dengan ramah dan manja.

 

Istri ketiga yang selalu pintar mengambil hati Tuan Haji ini, ia dibuat teler oleh rayuan istri ketiga yang sangat jelita. Tak berkutik ia menghadapi rayuannya. Istri ketiga yang selalu berada dalam rumah setiap harinya dan tak banyak tahu akan dunia luar seperti apa. Kabar-kabar miring tentang suaminya tak banyak ia ketahui. Istri ketiga yang cantik namun lingkungan yang mengukungnya tak banyak memberi pengalaman dalam mengetahui hal-hal yang penting dan perlu ia ketahui. Ia memang cerdas, pintar, namun apa daya jika kecerdasan itu hanya dalam hal kepentingan Tuan Haji dan demi kekayaan Tuan Haji yang terus menumpuk.

 

Istri ketiga itu tak bisa menangkap gelagat tentang betapa menderita rakyat kecil disekitarnya akibat ulah suaminya. Karena ia tak pernah pergi untuk melihat dunia sekitar yang sangat tidak mengenakkan. Hidup dalam kesenjangan akibat miskin yang berkepanjangan sedangkan ia dan suaminya hidup dalam kemewahan. “Wah kenyang sayang, boleh sekarang aku baca koran?” Canda Tuan Haji mesra. Istri ketiga itu hanya mengangguk dan tersenyum cantik sekali. “Silahkan Bang. Aku mau meneruskan pekerjaan di ruang kerjaku.” Jawab istri ketiga.

 

Tuan Haji hanya mengangguk pelan mengiyakan. Tuan Haji mulai membuka koran perlahan-lahan. Kopi diseruput lagi. pelan-pelan ia mulai membuka koran halaman demi halaman. Serius sekali ia ketika membaca koran. Seakan-akan berita yang ada dikoran itu dicerna dengan seksama. Tuan Haji memang getol membaca koran. Selang beberapa menit ia mengambil rokok dimeja, dengan santai ia menyulut rokok dan menghembuskan asapnya ke atas. Asap rokok itu masih mengepul berputar-putar seakan tak mau pergi dari terpaan angin. Seperti awan tipis bermain dengan angin, kesana-kemari, mondar-mandir lalu hilang menyatu dengan gas disekitarnya.

 

Dari kejauhan Kang Mo sibuk mengawasi aktivitas Tuan Haji. “Mampus kau bangsat! Rasakan pembalasanku dan teman-teman yang pernah kau sakiti.” Gumamnya dalam hati. Senyumpun mengambang dari bibirnya yang hitam. Ia tersenyum penuh kemenangan, penuh kepuasan, tak perduli watak pembunuh telah bersemayam dalam hatinya. Dan yang terpenting hari ini terbalas sudah dendam Kang Mo pada Tuan Haji Mouxani.

 

Lama Kang Mo masih terus mengawasi Tuan Haji. Setengah Jam berlalu. Namun tak ada tanda-tanda Tuan Haji mampus, tubuhnya masih tetap duduk dan membaca koran, rokok juga masih terlihat mengepul, tapi Tuan Haji masih saja kuat terus membaca. Apa yang terjadi? Penasaran Kang Mo semakin memacu kuat. Namun ia harus sadar dan tetap tenang bahwa sesuatu telah terjadi seperti tidak terjadi apa-apa pada diri Kang Mo. Pesan itu telah disarankan oleh Kang Wito kepada dirinya setelah beraksi membunuh Tuan Haji. Sehingga penegak hukum kesulitan untuk mencari bukti kuat pelaku tersangka.

 

Tiba-tiba Bang Said datang menghampiri Tuan Haji yang masih dalam posisi sibuk membaca. Asap semakin mengepul, kali ini tidak hanya dari mulut Tuan Haji tapi juga dari baju Tuan Haji. Sayup-sayup aku dengar panggilan Bang Said, “Tuan, Tuan, Tuan Haji. Apa yang sedang terjadi? Tolong-tolong, Nyai cepat kemari, Tuan Haji sekarat, Tuan Haji tidak bisa bicara, Tuan Haji terbakar oleh rokoknya, Tuan Haji stroke, Tuan Haji, Tuan Haji kenapa kau?” Teriak Bang Said panik.

 

Dengan cepat tempat itu telah menjadi tempat yang super ramai. Istri ketiganya tampak bingung setengah mati, berteriak histeris, para centeng-centengnya sibuk mengamankan Tuan Haji, digotongnya tubuh yang sudah tak berdaya itu, posisinya seperti orang duduk dalam keadaan membaca, tubuhnya kaku, matanya masih membuka dan mendelik, nafasnya masih tersengal-sengal, seakan-akan ia akan meronta untuk melawan dan bangkit, namun racun yang telah bersemayam dalam jantung, paru, ginjal, empedu, otak, syaraf terlalu kuat untuk di lawan.

Hingga saat itu juga Tuan Haji harus berani menghadapi kematian yang ada di depan mata. Ya kematian, hak asasi bagi setiap makhluk Tuhan yang bernyawa. Tak peduli manusia yang kaya, miskin, bayi, muda, tua, cantik, tampan, jelek, presiden, menteri, guru, tentara, centeng, petani, janda duda, perawan, jejaka, pasti akan berhadapan dengan kematian. Entah, kapan waktu itu akan datang?. Kita tunggu saja dengan sabar. Kita siapkan bekal amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Pasti kita semua akan sampai jua.

 

Bangilan, 29 April 2014.

 

Oleh: Rohmat S.

 

Penulis saat ini tinggal di Bangilan-Tuban-Jawa Timur. Dapat dihubungi di email: rohmat.sholihin@yahoo.com

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news.okezone@mncgroup.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini