Share
Cerpen

Kau Hanya Perlu Menulis

Kamis 24 Juli 2014 21:01 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 24 551 1017636 54vzetKr6f.jpg Ilustrasi (Dok Okezone)
A A A

TULISAN itu sudah rampung sejak jam dinding berdenting pada kali kesebelas. Saat itu, bila kubuka jendela, aku jadi tahu kegelapan di luar kian mencekam. Sinar-sinar lampu di tepi-tepi jalan tak mampu menjangkau luasnya kegelapan malam. Lalu lalang kendaraan sudah tak terlihat kecuali satu dua di antara jeda panjang. Sisa-sisa keramaian semakin lama semakin hilang dilahap malam.

Di sela denting itu, aku merasa seluruh badanku terasa ditusuk ribuan busur. Ada terasa nyeri, pegal dan lelah yang teramat sangat. Sudah berkali-kali aku berusaha melepas penat dengan mencoba berganti posisi duduk. Kadang aku diam sejenak untuk membiarkan kelelahan sirna. Kadang aku coba menggerak-gerakkan seluruh badan. Pada saat tertentu aku juga mengalihkan pandanganku pada sisi lain untuk menghindari cahaya monitor lama menembus mataku.  

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Entah sudah kali keberapa pula aku ke dapur untuk menghangatkan badanku dengan teh hangat. Sekali mengguyur kerongkongan dan mengalir ke tubuh, terasalah kehangatan tubuhku. Cesss!! Satu energi baru siap bertarung dengan malam.

 

Jam kembali berdenting. Kali ini berdenting sekali. Penasaran, aku mengalihkan pandangku pada jam dinding yang baru saja berdenting untuk memastikan apa yang aku dengar tak salah. 01.00 WIB. Tak salah. Kembali aku menggeliat penat. Tapi aku sadar, keletihan tidak boleh mengalahkan keinginan untuk merampungkan tulisanku malam ini. Keinginan itu memberi energi positif. Kantuk dan letihku berhasil aku redam.

 

Penulis besar saja tidak lupa untuk mengoreksi tulisannya, pikirku meyakinkan diri sendiri. Dia akan mengoreksi kembali hanya untuk memastikan bahwa tulisan yang bakal dibaca publik sudah cukup sempurna. Aku harus belajar dari kegigihan penulis besar. Aku harus mengoreksi tulisan ini sekali lagi. Setidaknya untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan yang mungkin luput dari perhatianku.

 

Setelah benar-benar yakin untuk mencermati lagi tulisan yang sudah rampung, aku duduk kembali pada posisi semula. Setelah satu seruputan teh panas yang lalu mengalir menghangatkan tubuhku, aku mula-mula mencermati kata demi kata untuk memastikan seluruhnya sesuai dengan pedoman EYD, kemudian aku mencermati kalimat demi kalimat untuk memastikan struktur tulisan yang aku pakai tidak aneh-aneh. Dan pada akhirnya aku harus mencermati pragraf demi pragraf untuk mengetahui kepaduan pragraf demi pragraf di tulisan itu.

 

Selain itu, aku juga menimbang-nimbang apakah lead (kalimat pembuka) dalam tulisanku cukup menarik untuk dipertahankan.

 

“Tulisan pembuka (lead) dipandang penting karena dia yang paling menentukan apakah pembaca akan terus membaca atau berhenti di situ”. Kata-kata itu masih kuingat meskipun aku lupa dari buku mana aku pernah membacanya.

 

Dan setelah proses yang memakan waktu kurang lebih setengah jam untuk mengoreksi, kekuatan kantuk dan keletihanku tiba-tiba menjadi sangat kuat hingga aku tak mampu lagi melawannya. Sisa amunisi dan energi positifku dilibas begitu saja. Sebelum aku benar-benar lenyap dalam lelap, samar-samar aku dapat menangkap sebuah kalimat Pramoedya Ananta Toer “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

 

***

 

Perbendaharaan semangatku rasanya makin hari makin menyusut. Entah sudah berapa kali aku kirim tulisan ke berbagai koran. Satu pun tak kudapati dimuat. Setiap kali aku memeriksa, yang ada hanya tiada. Aku seperti menunggu asa yang tak mungkin nyata. Tinggal utopia.

 

Sejak tulisan yang terakhir, aku belum lagi berniat menulis lagi. Istirahat, kata yang lebih lunak untuk mendefinisikan hilangnya aktifitas menulisku. Sudah dua minggu berlalu. Aku benar-benar kehilangan motivasi untuk kembali meracik diksi dan imaji.

 

“Kamu kenapa?” lembut suara itu penuh kasih, muncul di balik pintu ke kamar. Dia lalu masuk dan duduk di dekatku.

 

“Aku sementara berhenti menulis, ma,” sebentar aku lirik wajahnya, ia menatapku tersenyum.

 

“Mungkin wawasanku masih kurang, mungkin muatan dalam tulisan-tulisanku belum bisa bersaing. Aku perlu banyak baca lagi”. Dia mendengarkan dan hanya tersenyum.

 

“Sayang, kamu itu berbakat untuk menjadi penulis besar,” ucapnya lembut. Aku tahu ini cara seorang ibu menyemangati anaknya. Aku pandangi wajahnya sekali lagi.

“Iya, penulis besar,” ulangnya memantapkan seolah mengerti isyarat pandangku.

 

“Diam-diam mama sudah membaca beberapa tulisan kamu. Dan menurut mama, semua tulisan kamu cukup bagus”. Aku hanya diam dan terus menyimak kata demi kata yang lahir dari tutur, pikiran, dan perasaan lembut seorang ibu. Dalam keadaan letih pikiran maupun perasaan, kata-kata mama mengalir sejuk dan pelan-pelan menebar semangat.

 

“Kamu hanya perlu bersabar dan tekun menggali potensimu. Teruslah menulis, hanyalah itu cara untuk menggali potensimu sebagai penulis berbakat”.

“Tapi aku sudah coba berkali-kali...”

 

“Mama tahu, dan mama memperhatikan itu. Sebagaimana mimpi yang lain, mimpi menjadi penulis juga butuh usaha, butuh perjuangan, sayang. Kamu tak perlu hanya belajar teknik menulis dari para penulis besar, tapi kamu juga perlu meneladani kerja keras mereka. Ambisi mereka. Kau harus belajar tentang kegagalan mereka dan bagaimana mereka tetap kuat dan bersemangat menghadapi kegagalan demi kegagalan mereka. Ingat orang yang bermental juara adalah orang yang ketika mengalami kegagalan dia selalu bisa bangkit, jatuh dan bangkit lagi. Begitulah cerita orang-orang hebat, anakku sayangku”.

 

Kali ini di hadapan mama, aku diam saja. Kata-kata yang lahir dari ketulusan dan kasih sayangnya terdengar wibawa. Aku hanya perlu menyimak dan meresapi.

 

“Kau tak perlu merasa gagal hanya karena tulisanmu belum dibaca publik. Kau hanya perlu memikirkan bagaimana kau bisa terus-menerus menulis, menggali dan mengungkapkan gagasan-gagasanmu melalui tulisan. Kau tak kan pernah rugi dengan menulis. Justru dengan menulis, pikiranmu yang tertuang dalam tulisan akan mengabadi”.

 

Sampai di situ dia berhenti, tersenyum dan pergi. Aku dapat mengerti, mama membiarkan aku menimbang-nimbang dan menentukan sendiri keputusanku. Di kamar ini, jejak senyum dan kebijaksanaan pikirannya menemani hari-hariku. Dan tak perlu waktu lama, kuputuskan untuk menulis lagi.

 

“Kau hanya perlu untuk menulis,” aku tersenyum dan langit pagi itu kembali cerah.

 

Ciputat, 26 Mei 2014

 

Oleh Sulaiman

 

Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news.okezone@mncgroup.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini