Share
Cerpen

Lebaran Haji Bowo

Minggu 27 Juli 2014 20:11 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 25 551 1018028 qMgYzy1Aol.jpg Ilustrasi (Dok Okezone)
A A A

KETUPAT dan opor ayam tersaji di meja makan lengkap dengan sambal tomat sejak subuh tadi, sebelum berangkat ke lapangan di ujung perumahan. Seperti tahun-tahun yang lalu ketika cuaca memungkinkan, shalat Id selalu di laksanakan di lapangan dan diikuti oleh jamaah masjid di komplek perumahan.

 

Haji Bowo membiarkan istrinya menyiapkan itu semua dan berbagai macam kue kering bahkan sejak pertengahan bulan puasa. Tidak tega rasanya melarang atau sekedar mengingatkan bahwa lebaran kali ini atau beberapa tahun terakhir sudah berbeda dengan lebaran lima atau sepuluh tahun yang lalu.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

Apalagi ketika anak-anak masih kecil, bunyi petasan beradu kuat dengan teriakan mereka, sampai kadang ada perasaan tidak enak dengan tetangga. Tapi beruntung semua orang memaklumi bahwa malam-malam menjelang lebaran identik dengan kemeriahaan kembang api dan bunyi petasan.

 

Haji Bowo bisa mengerti jika kadang sang istri menyalahkannya.  “Ini semua karena sikap Bapak yang terlalu memanjakan anak-anak.  Bapak yang mengkondisikan mereka menjadi seperti ini, menganggap apapun tindakan mereka pasti akan kita maklumi”, kata Sulastri istri Haji Bowo, menggugat suaminya. 

 

Sejak anak-anak masih kecil Haji Bowo selalu mendambakan anak-anaknya kelak bisa menjadi “warga dunia” dan masuk dalam pergaulan internasional. Begitu istilah yang digunakan lelaki berumur 65 tahun ini. Setiap menjelang anaknya wisuda sarjana, Haji Bowo selalu getol mencari informasi beasiswa S2 dari berbagai universitas di luar negeri, bahkan anak terakhirnya sudah dicarikan beasiswa sejak lulus SMU.

 

Itu semua sangat membuat Haji Bowo bangga, sampai suatu ketika saat anak lelaki pertamanya mengirimi e-mail sehari sebelum melangsungkan pernikahan.  Menyunting seorang gadis Canada peranakan Jepang teman kuliah pasca sarjananya. 

 

“Itu Pak anakmu. Apa pantas mau nikah hanya kasih kabar lewat e-mail ? Jangankan e-mail Pak, lewat telpon saja nggak boleh. Dia harus pulang, sungkem sama orang tua, memperkenalkan calon istrinya. Setelah itu baru yang lain-lain, kita kenalan sama calon besan, lamaran dan seterusnya, baru membicarakan masalah pernikahan.  Begitu Pak !”, istri Haji Bowo mengeluarkan semua unek-unek yang mengganjal hatinya ketika mengetahui e-mail yang dikirim anak lelakinya. 

 

Haji Bowo hanya diam membiarkan istrinya mengeluarkan segala apa yang di rasakan.  Sadar bahwa memberi komentar apapun tidak akan membuat perasaan istrinya menjadi lebih baik.

 

“Anakmu bahkan tidak menganggap penting kehadiran kita.  Coba kalau kasih kabar jauh-jauh hari sebelumnya, setidaknya kita bisa datang di acara pernikahan mereka.  Apa dia pikir kita tidak mampu beli tiket pesawat ke Canada ?”, Sulastri terus saja berbicara meski tidak ditanggapi suaminya.

 

Haji Bowo membawa sendiri cangkir kopinya lantas duduk di kursi teras depan.  Menyedot dalam-dalam rokok kretek yang nyebarkan aroma khas tembakau pilihan, begitu kata iklan. Membolak-balik halaman majalah mingguan seolah mencari berita, entah sadar atau tidak bahwa dia sendirilah pemimpin redaksi majalah yang ada di tangannya yang tentu saja semua tulisan yang ada di sana sudah dibacanya bahkan sebelum masuk percetakan. 

 

Majalah di tangan hanya sekedar kamuflase untuk menutupi perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Sebagai orang Jawa, yang lahir, besar dan hidup serta menginjakan kakinya di tanah Jawa, bergaul dalam masyarakat yang sebagian masih memegang teguh tradisi dan budaya leluhurnya, Haji Bowo mulai tersiksa perasaannya. 

                                                      ***

Usai shalat Id, pintu depan dan gerbang sengaja tidak ditutup. Pasangan suami istri Haji Bowo menikmati ketupat dan opor ayam nyaris tanpa perbincangan. Haji Bowo tahu persis apa yang sedang mengganggu hati dan pikiran istrinya. Sekedar membuka pembicaraan dengan maksud untuk menghiburnya bukanlah pilihan yang bijak. 

 

Sepatah kata bisa memicu emosi yang sedang labil, ibarat sepercik bunga api yang bisa berkobar jika mengenai luapan elpiji.  Suasana rumah yang sepi tanpa greget di hari lebaran beberapa tahun terakhir ini menjadi sebuah “kesalahan” yang ditimpakan pada diri Haji Bowo.  

 

Sebuah “kesalahan” yang terlampau besar untuk ditanggungnya.  Puluhan tahun berumah tangga dengan pasang surutnya, lengkap beserta bumbu perselisihan kecil dan bahkan perselingkuhan yang nyaris meluluhlantakan fondasi rumah tangga yang dibangunnya, semua bisa diatasi dan termaafkan.  Namun suasana rumah yang sepi tanpa greget di hari lebaran beberapa tahun terakhir ini menjadi “kesalahan” yang belum bisa terlupakan.

 

Sulastri mulai menyiapkan berbagai kue kering di meja ruang tamu.  Puding dalam cup dan air minum kemasan disusun bertumpuk di atas meja kecil.  Permen dan aneka coklat dalam toples kaca yang dihias renda tertata rapi dalam keranjang rotan yang menyerupai kereta kuda. Sesekali menggeser toples memperbaiki susunan letaknya, menukar yang satu dengan yang lainnya. 

 

Haji Bowo memperhatikan tingkah istrinya dari ruang keluarga sambil menonton TV dan sesekali menjawab SMS atau telpon dari koleganya.  “Sama-sama Pak, selamat lebaran, mohon maaf lahir batin, ya, terimakasih, wa’allaikum salam”, sejak selesai shalat Id mungkin sudah puluhan kali Haji Bowo menjawab telpon seperti itu.  Namun tidak berani berharap akan mendapat telpon yang sama dari keempat anaknya.  Mungkin dua atau tiga hari mendatang salah satu dari mereka ada yang menelpon dan kemudian saling mengingatkan, jika ada yang ingat orang tua mereka sedang merayakan lebaran.

 

Sulastri mulai cemas, sebentar-bentar melihat jam dinding, berjalan ke luar teras, menengok jalan, melihat kiri kanan. Kembali duduk di ruang tamu.  Demikian terus berulang. 

 

Dalam situasi seperti itu, bagi Sulastri, sekedar berharap ada kerabat yang datang pun terlalu berlebihan. “Siapa sudi datang kemari, sementara di rumah ada banyak orang yang sudah lama dirindukan?”, batin Sulastri. Seperti yang terlihat di rumah sebelah, Pak Rahmat, terlihat sibuk mengejar-ngejar cucu pertamanya. 

 

Oleh: Djoko S Haryanto

 

Penulis dapat dihubungi di alamat email: jokocheharyanto@yahoo.com

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news.okezone@mncgroup.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini