Share

Perempuan Itu

Senin 28 Juli 2014 21:31 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 28 551 1018862 wEZ4452ZMw.jpg Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone)
A A A

DIA memandang handphone di atas meja itu dengan seksama, tidak dipedulikannya materi diskusi yang telah berhasil membuat suasana hangat. Sesekali asap sigaret itu menghantarkannya pada ketenangan. Ingin sekali dia berteriak, mengatakan pada semua orang kalau dia merindukan perempuan itu. Perempuan yang membuatnya harus tertatih menahan sakitnya kerinduan,  yang membuatnya insomnia, perempuan yang seharusnya tidak dia cintai.

Padanya dia menggantungkan harapan akan masa depan, bukan masa depan yang seperti orang lain lakukan tapi masa depan yang akan menghantam bahtera yang telah dia bangun.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

"Tambah kopinya mbak um…," pintanya pada pemilik warung kopi

"Ini sudah cangkir ketiga pak," seorang mengingatkannya di balik hiruk pikuknya warung kopi

Dia bangkit dan keluar menuju bangku di bawah pohon cerry. Lelaki yang menegurnya mengikutinya dan duduk di sampingnya, "Perempuan itu lagi pak..?" tanyanya pelan.

"Iya Lex, kutelepon berkali-kali, kukirimkan pesan singkat, tidak juga ada balasan. Masih marah rupanya dia."

Hanya pada Lexi dia berani mengungkapkan semua keluh kesahnya tentang perempuan itu. Dia tidak ingin semua orang tahu tentang perempuan itu, baginya mencintai perempuan itu sudah hal yang tabu baginya apalagi sampai semua orang di sekelilingnya mengetahui hal tersebut.

"Sudahlah pak, apa gunanya kau masih mengingat dia, masih berusaha menghubunginya, dia saja tidak pernah peduli padamu. Kalau kau mau, kau bisa menemukan perempuan lain yang lebih daripada dia, apa menariknya perempuan itu pak? Wajahnya biasa saja, pintar juga standar, terus apa yang membuatmu jatuh cinta setengah mati pak?" Lexi bertubi-tubi mengingatkanku pada realita hidupku

"Aku mencintainya Lex…" hanya itu jawabannya.

Semakin lama dia berusaha menafikan kehadiran perempuan itu, semakin kuat pula perasaan yang ada pada dirinya. Dia tahu perasaan itu tidak boleh dia pupuk hingga tumbuh subur, tapi dia juga tidak ingin menguburnya begitu saja. Dirinya selalu bimbang, impiannya terlalu tinggi. Tak ada daratan yang menerima kita, kalimat itu masih terngiang di kepalanya. Perempuan itu sepenuhnya benar, mereka hanya berlayar tak tentu arah tak ada daratan yang akan menerima mereka. Perempuan itu kadang jauh lebih realistis daripada dirinya. Kadang.

"Katakan padaku wahai perempuanku, Apa yang bisa membuatku berpaling walau sedetik Tuk khianati perasaanku"

***

Perempuan itu memandang smartphone yang berdering sedari tadi. Setelah kedua kalinya dia mengangkat telepon itu.

"Hallo, kenapa Lex?" dia memulai percakapan.

"Hanya ingin berdiskusi denganmu bu, jangan berprasangka pak Nan yang menyuruhku."

Perempuan itu hanya menghela nafas panjang. Sekiranya dia memiliki obat untuk mengatasi insomnianya malam itu, sebuah obrolan panjang lebar yang tak berkesudahan. Dengan begitu dia bisa mengetahui keadaan Nanta walaupun dia tak pernah ingin mengetahuinya. Dia telah memutuskan untuk mengakhiri semuanya, walaupun dia tahu tidak ada permulaan antara dia dan Nanta.

"Bu, pak Nan memberikan suatu kado untukmu yang dititipkannya padaku"

"Aku tidak berhak menerimanya Lex, apapun itu ambillah"

"Tapi bu…"

"Sudahlah, ambil saja. Kalau kau tidak mau serahkan pada orang lain atau jual saja," perempuan itu memotong ucapan Lexi cepat.

"Bu, pak Nan mencintaimu…"

"Aku juga Lex, tapi inilah jalan terbaik untuk kita…tidurlah, sudah malam" perempuan itu mengakhiri pembicaraannya dengan Lexi.

Perempuan itu tidak pernah memiliki satu alasan untuk tetap mempertahankan hubungan yang sama sekali tidak berujung dengan Nanta. Mereka ditakdirkan bertemu, mencintai, tapi bukan untuk memiliki dan bersama. Arti kebersamaan tidak harus dituangkan dalam sebuah ikatan perjanjian suci dengan Tuhan. Perempuan itu tidak ingin melukai wanita lain yang telah berjanji pada Tuhan untuk selalu ada di sisi Nanta. Dan perempuan itu juga terlalu angkuh untuk mengkhianati sebuah kepercayaan lelaki yang telah memintanya dari Tuhan. Mereka berada pada posisi yang sama, mereka dua bahtera dengan layar dan nahkoda.

Aku ingin mempercayai apa yang kuyakini sebagai sebuah kepercayaan, ketika wujud tak mampu lagi berkata

Aku pun ingin meyakini dirimu dalam sebuah kesempurnaan, tapi aku takut untuk berlari karena kutahu aku tak pernah sanggup untuk berjalan dalam lingkaran

Sesaat impian dan harapan yang pernah terucap ingin kita wujudkan, namun sayang jalan kita tak pernah berada dalam satu garis

Aku hanya ingin kau tahu bagaimana merindu dalam diam tanpa wujud

Kita, bukan lagi milik dunia ini, bukan lagi hakekat Tuhan yang kita yakini

Dan kita mungkin selamanya hanya akan menjadi bias-bias rindu

Ingin sekali perempuan itu menyalahkan waktu yang mempertemukan mereka, tapi waktu bukanlah sesuatu yang selalu bergerak dalam kecepatan yang sama. Kitalah yang menentukan seberapa cepat waktu kita berjalan.

***

Teruntuk lelaki di peraduan, tunggulah sampai senja selesai dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah itu

Oleh : Nuraini

Mahasiswa pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

Email : dd_kurnia@yahoo.com

(Bagi Anda yang bersedia cerpennya dipublikasikan, silakan kirim ke news.okezone@mncgroup.com)

(ugo)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini