Share

Ini Kain Tenun Indonesia yang Tembus Pasar International

Rizkie Fauzian , Okezone · Jum'at 01 Agustus 2014 12:24 WIB
https: img.okezone.com content 2014 07 31 320 1019239 TAfzEE0vyY.jpg Kain tenun. (Foto: Okezone)
A A A

JAKARTA - Mungkin namanya tak setenar batik atau kain khas lainnya, warna dan corak kain juga memiliki artian khusus terutama, sama seperti kainnya. Namun kain ini memiliki kekhasan lainnya, yaitu pada warna.

Kerajinan tenun asal Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara ini dinamakan sama dengan daerahnya, yaitu tenun Buton. Ciri khas tenun ini terletak di warna, berbeda dengan kain seperti batik yang lebih berwarna lebih lembut, tenun Buton ini memiliki warna yang lebih berani.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Mengenai corak, sama dengan kain batik yang memiliki makna, corak dari tenun ini juga memiliki arti tersendiri, namun biasanya menggambarkan obyek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Contohnya motif betano walona koncuapa yang terinspirasi dari abu halus yang melayang-layang hasil pembakaran semak saat membuka ladang, motif colo makbahu atau korek basah, motif delima bongko (delima busuk), motif delima Papua, dan lain sebagainya.

Julfan Sifadi, warga asli Buton yang berkeinginan terus melestarikan tradisi tenun di kampung halamannya. Menurutnya, para penenun rata-rata telah berusia lanjut, hal itu juga membuatnya semakin ingin mempertahankan tenun Buton.

Hal lainnya yang membuatnya ingin melestarikan adalah, karena selama ini masyarakat Indonesia sendiri dianggap masih kurang mencintai produk dalam negeri. Masyarakat lebih bangga menggunakan produk yang justru berasal dari luar negeri.

"Mereka masih kurang mencintai produk sendiri bahkan kurang menghargai. Contohnya satu kain misalnya berharga Rp500 ribu, mereka akan bilang itu mahal, sedangkan untuk barang luar negeri hingga jutaan mereka masih sanggup," katanya kepada Okezone.

Menurutnya, bila masyarakat mengetahui bagaimana perjuangan para penenun tersebut untuk dapat menjual produknya, maka harga yang ditawarkan akan setimpal. "Untuk menjual kain, mereka membutuhkan waktu sekira 7 jam dengan menggunakan jalur darat ke Baubau, setelah itu enam jam kembali menggunakan kapal laut, setelah itu ke Kendari baru ke Jakarta, itu jalurnya," jelasnya.

Julfan bercerita, berawal dari kebiasaannya menggunakan tenun Buton di leher, dalam perjalanan banyak orang-orang yang bertanya apakah itu, dan dari mana asal kain tenun tersebut. Dari situ akhirnya Julfan dengan modal Rp1 juta berniat untuk terus melestarikan kebudayaan daerah Buton.

"Saat itu modal saya hanya Rp1 juta, saya membeli 3 kain tenun Buton, namun saat itu saya tidak terlibat produksi,saya hanya mendorong penenun yang sudah berusia lanjut agar tetap melestarikan tenun Buton," ujar dia.

Namun, pria kelahiran Buton tersebut merasa belum puas dengan caranya selama ini, hingga akhirnya dirinya berniat untuk menambah nilai jual kain tenun Buton tersebut dengan membuatnya menjadi produk yang dikenal di seluruh Indonesia bahkan hingga seluruh dunia.

"Saya akhirnya buat varian dari tenun Buton, seperti membuat baju, tas, sepatu, sandal, hingga gelang. Di Bali bisa habis terjual barang-barang saya, mereka rata-rata mengambil barang dari saya,biasanya untuk keuntungan dibagi dua, 70 persen untuk saya, karena untuk branding dan mengejar brand awarness serta pengembangan produk," tuturnya.

Namun produksi kain sendiri sangat terbatas, karena pekerjaan menenun sendiri memang membutuhkan waktu. Lama pengerjaan kain tenun Buton bisa menghabiskan waktu 4-6 hari untuk satu kain, dengan lebar 60x4 meter.

"Harga untuk satu kain sendiri Rp325 ribu, tergantung corak, tapi itu hanya di Indonesia saha, kalau di luar negeri bisa mencapai Rp600 ribu hingga Rp700 ribu," ungkap Julfan.

Sementara itu, satu kain tenun Buton dapat menghasilkan satu pakaian, atau bila digunakan untuk sepatu dapat menghasilkan 8 hingga 15 tergantung dari model. Sedangkan untuk produk tas wanita bisa hingga 5.

Berkat kerja kerasnya, kini karyanya bisa dipasarkan hingga luar negeri. Negara Jerman, Prancis, Brunei adalah negara yang paling banyak permintaan.

"Kita juga pernah bekerja sama dengan KBRI di Venezuela. Di luar negeri mereka sangat menyukai sekali kain ini, untuk itu lebih besar pasar di sana dibandingkan dengan dalam negeri sendiri," ungkap dia.

Dari hasil keteguhannya dalam melestarikan kebudayaan tenun di Buton, Julfan memperoleh omzet sebesar Rp100 juta per bulannya. Hingga saat ini dirinya juga masih melakukan promosi agar produknya semakin terkenal.

"Omzetnya sebulan bisa Rp30 Juta hingga Rp40 juta untuk kainnya saja, tetapi sandal dan sepatu, dan lain-lain bisa mencapai Rp70 jutaan. Demi memperkenalkan produknya saya masih mengikuti pameran-pameran, ke mall, dan bekerja sama dengan butik-butik," jelasnya.

Demi mengikuti perkembangan saat ini, maka sejak tiga tahun lalu dirinya melakukan pemasaran melalui media online. Facebook dipilihnya menjadi sarana perkenalan tanun Buton hingga ke luar negeri.

(mrt)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini