Share

Yadnya Kasada di Mata Wong Tengger

Hari Istiawan , Okezone · Rabu 20 Agustus 2014 10:26 WIB
https: img.okezone.com content 2014 08 20 345 1027089 xWQ43Y2AcH.jpg Warga Tengger melarung sesaji di bibir kawah Bromo (Foto: Hari Istiawan/Okezone)
A A A

MALANG - Arif sibuk membantu ibunya menyiapkan beberapa hasil pertanian berupa palawija. Hasil bumi tersebut ditata sedemikian rupa di atas meja di depan tungku pembakaran yang biasa digunakan memasak.

 

Arif sendiri masih duduk di bangku SMA di Kota Kepanjen, Malang. Saat itu, Senin 11 Agustus 2014, bukan hari libur, namun ia meliburkan diri.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Mrei, (meliburkan diri dari sekolah, Red), mau larung sesaji ke kawah,” kata Ibu Arif.

Larung sesaji ke kawah Gunung Bromo mempunyai makna sangat penting bagi orang Tengger. Meski tidak bertepatan dengan hari libur, Arif rela tidak sekolah.

Kakaknya, seorang sopir antar jemput wisatawan, juga menunda menjemput tamu yang akan berwisata di Bromo. Ia dan keluarganya memilih mendahulukan melarung sesaji ke kawah.

Mereka percaya, dengan melarung sesaji ke kawah dapat memberikan keselamatan dan ketentraman. Tak hanya itu, hasil pertanian dan pernghasilan mereka bisa meningkat.

Dengan kata lain, melempar sesaji ke kawah Bromo merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia-Nya.

Seorang sesepuh yang terpilih menjadi kepala dukun di wilayah Tengger (Malang, Lumajang, Pasuruan, Probolinggo), Sutomo, percaya Gunung Bromo tidak akan meletus saat warga melakukan ritual Yadnya Kasada. Upacara tersebut rutin diselenggarakan setiap setahun.

Pria yang besar di lingkungan yang kental Hindu itu berpandangan, Yadnya Kasada merupakan ritual untuk Sang Hyang Batara.

Selain itu, juga untuk melaksanakan amanat Jaka Seger dan Lara Anteng sebagaiamana legenda yang dipercaya masyarakat Tengger hingga sekarang. “Ini merupakan rasa syukur kepada Tuhan,” katanya.

Salah satu dosen Universitas Widyagama Malang, Purnawan D Negara, yang kerap meneliti kehidupan Suku Tengger menjelaskan, ada perbedaan dalam upacara larung sesaji yang dilakukan orang Tengger penganut Hindu dengan upacara sejenis yang dilakukan orang Hindu di Bali.

Menurut dia, sesaji yang dilarung di Bali tidak dimakan dan dibiarkan begitu saja. Namun, berbeda dengan larung sesaji di kawah Gunung Bromo. Sesaji yang dilempar diambil oleh mereka yang membutuhkan.

Orang Tengger rela menunggu hingga sesaji, berupa hasil pertanian, ternak, dan uang, dilempar. “Ini menjadi salah satu ciri khas Hindu Tengger,” ungkapnya.

Sementara itu, seorang wisatawan yang menyaksikan Upacara Yadnya Kasada, Susanti, mengatakan, ada nilai-nilai kebersamaan dan saling berbagi di antara sesama warga Tengger.

Warga rela melemparkan uang puluhan hingga ratusan ribu dan mereka yang berada di lereng kawah menerimanya tanpa berebut.

Prosesi melempar sesaji ke bibir kawah yang sangat rawan terpeleset juga berlangsung tertib dan bergantian antara yang naik dan turun. Mereka saling menghargai satu sama lain untuk memberikan sesajinya. Orang yang mengambilnya di lereng kawah, juga tidak berebut.

“Kebersamaan, saling berbagi, dan juga pengorbanan, juga ada dalam upacara ini,” ujarnya.

(ton)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini