Share

69 Tahun Merdeka, Berikut Kondisi Properti RI Sekarang

Meutia Febrina Anugrah , Okezone · Jum'at 22 Agustus 2014 08:59 WIB
https: img.okezone.com content 2014 08 22 471 1028242 KbHF8BfxKX.jpg 69 Tahun Merdeka, Berikut Kondisi Properti RI Sekarang (Foto : Okezone)
A A A

JAKARTA - Industri properti Indonesia saat ini memang tengah berkembang. Gedung perkantoran dimana-mana, apartemen kian menjamur dan perumahan pun kian banyak.

Namun, jika kita menengok ke belakang sekitar tujuh dekade lalu, dengan biaya Rp 120 ribu, Anda bisa mendirikan bangunan di Indonesia. Sekarang, untuk membangun gedung yang sama, Anda perlu merogoh uang miliaran hingga triliunan rupiah.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Tahun ini, tepatnya pada tanggal 17 Agustus lalu, Indonesia memperingati 69 tahun kemerdekaannya. Sejak tahun 1945, semua aspek masyarakat telah mengalami perubahan besar. Salah satu portal properti terbesar di Indonesia, Lamudi.com, menyusun lima perubahan penting dalam pasar properti lokal dari sebelum hingga sesudah melewati momen kemerdekaan. Berikut penjelasannya yang dikutip dari keterangan tertulis perusahaan, Jumat (22/8/2014).

 

1. Sulitnya Hak Milik Properti

Pada periode pra-kemerdekaan, setidaknya terdapat 60 juta jiwa tinggal di Indonesia. Pada saat itu, hampir tidak mungkin bagi pribumi lokal untuk memperoleh hak milik atas properti karena kurangnya akses ke mata uang yang berlaku, Gulden.

Penelitian Lamudi menunjukkan, pada tahun 1930, biaya untuk membeli 100 meter persegi tanah mencapai 1.8 kali pendapatan rata-rata seseorang. Sekarang, dengan luas tanah yang sama, biayanya lebih dari 65 kali upah rata-rata di Jakarta.

 

2. Pemicu Perkembangan Properti

Besarnya dominasi Jakarta dalam dunia perpolitikan dan perdagangan memicu peningkatan dramatis dalam kepadatan penduduk. Dan peningkatan jumlah penduduk inilah, yang pada akhirnya, membuat properti kian diminati di ibukota.

Sebagai contoh, pada tahun pertama proklamasi, penduduk Jakarta berkisar 600 ribu jiwa, dengan kepadatan (sekitar) 900 jiwa per kilometer persegi. Lima tahun setelahnya, tercatat tambahan 400 ribu orang dari jumlah sebelumnya. Kepadatannya menjadi lebih dari 1.000 jiwa per kilometer persegi.

Kini, kepadatan penduduk telah mencapai 10 kali lipat, yakni lebih dari 10 ribu orang per kilometer persegi. Data ini tak lagi mengejutkan, mengingat secara keseluruhan, populasi Jabodetabek sudah di atas 28 juta penduduk. Lebih dari 64 persen di antaranya adalah masyarakat kelas menengah dan atas.

Menurut Boston Consulting Group, pada tahun 2020, populasi kelas menengah di Jakarta akan berkembang menjadi 30 juta orang. Hal ini, pastinya, akan meningkatkan permintaan untuk perumahan di masa mendatang.

 

3. Hutan Pohon Jadi Hutan Beton

Dalam bukunya yang berjudul “Jakarta 1950-an: Kenangan Masa Remaja,” Dr Firman Lubis menyatakan bahwa, dulu, Kampung Pedurenan adalah sebuah desa yang sepi. Sangat indah dan hijau karena banyaknya pepohonan. Namun, pada pertengahan 1950, desa itu berubah drastis. Penduduk mulai berdatangan, bangunan-bangunan didirikan untuk tempat tinggal dan beragam keperluan.

Pada periode 2009-2012, konstruksi bangunan gedung pencakar langit di Jakarta (di atas 150 meter) meningkat 87,5 persen dari periode yang sama sebelum tahun 2009. Pada tahun 2020, jumlah gedung pencakar langit diperkirakan bertambah lagi, hingga mencapai 250 unit. Hal ini membuat Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

 

4. Meroketnya Harga Properti

Sebelum proklamasi, berapa biaya yang dibutuhkan untuk membangun rumah atau kantor di Jakarta? Pada tahun 1950, untuk membangun kantor pemerintahan, biayanya sekitar Rp120 ribu - Rp200 ribu saja.

Sekarang, untuk membangun gedung dengan ukuran yang sama, Anda harus menyediakan uang hingga puluhan miliar rupiah. Untuk harga properti premium, bahkan Jakarta menjadi yang tertinggi di dunia, naik 38,1 persen. dibandingkan tahun lalu. Salah satu alasan kenapa ini terjadi adalah inflasi hiper sebesar 650 persen pada masa pemerintahan Sukarno, 1965. Alhasil, harga-harga melesat tinggi, yaitu 1.000 persen, utamanya untuk tanah dan bangunan.

 

5. Masih Terjangkau di Sejumlah Lokasi

Tingginya harga tanah dan bangunan, serta kelangkaan lokasi, mungkin membuat Anda pesimis untuk menemukan sebuah rumah di Jakarta dan kota-kota lainnya. Namun sebenarnya, peluang memiliki properti masih terjangkau di beberapa tempat.

Dengan perkembangan teknologi yang pesat, Anda bias melakukan penelusuran informasi dan lokasi yang Anda butuhkan di internet. Contohnya, dengan mengakses portal berplatform online seperti Lamudi Indonesia ciptakan, Anda bisa mendapatkan informasi pasar properti terbaru di Indonesia, sebelum akhirnya membuat keputusan pembelian.

(wdi)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini