Share

Agar Tak Tertipu, Perlukah Hitam di Atas Putih dengan Suami?

Evi Elfira, Okezone · Minggu 24 Agustus 2014 01:22 WIB
https: img.okezone.com content 2014 08 23 196 1028810 8GyDMwM2ur.jpg Hitam di atas putih dengan suami,perlukah? (Foto:Cruiseryacht)
A A A

KETIKA pasangan pria dan wanita memutuskan untuk menikah, segala sesuatunya mengenai diri masing-masing harus diutarakan secara terbuka. Namun sekarang ini, banyak pasangan yang melakukan perjanjian pranikah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

 

Banyak orang menganggap bahwa perjanjian sebelum menikah di antara pasangan merupakan suatu hal yang tidak wajar. Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan antar pasangan.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

Namun baru-baru ini merebak kasus kebangkrutan suami yang akhirnya membebani sang istri. Dari kerugian besar yang ditimpa suami, hingga hutang dalam jumlah besar. Kalau sudah begini, istri adalah pihak yang memiliki peran besar dalam membantu suami.

 

Ketika istri mengetahui bahwa suami memiliki hutang atau memilki perekoniman yang buruk setelah menikah, hal tersebut perlu dibicarakan dengan suami. Psikolog Lukman Sarosa Sriamin pun menegaskan hal ini.

 

“Segala sesuatunya dibicarakan. Butuh waktu sehingga hal tersebut bisa dibicarakan. Lebih bagus lagi hitam di atas putih sebagai antisipasi bila ada yang terlupa. Namun di sini (Indonesia) budaya hitam di atas putih masih bertentangan. Kalau tidak mau itu terjadi ya harus dibicarakan dari awal,” jelas psikolog Drs. Lukman S. Sriamin, M.PSi. kepada Okezone melalui sambungan telefon, belum lama ini.

 

Dosen Universitas Pancasila ini menjelaskan bahwa masalah tersebut jika tidak segera dibicarakan akan menjadi runyam. Jika pasangan tidak dapat menyelesaikan masalah perekonomian tersebut dengan baik, perlu ada intervensi dari pihak ketiga yang profesional.

 

“Masalah lama-lama bisa semakin rumit. Jika tidak sanggup, perlu dibicarakan dengan orang ketiga yang profesional seperti psikolog atau konsultan keuangan,” simpul Lukman.

(ren)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini