Share
Advertisement

Baik & Buruk Penerapan Pajak untuk Produk Belanja Online

Ahmad Luthfi , Jurnalis-Kamis 28 Agustus 2014 15:39 WIB
Baik & Buruk Penerapan Pajak untuk Produk Belanja Online (Foto: Shutterstock)
Baik & Buruk Penerapan Pajak untuk Produk Belanja Online (Foto: Shutterstock)
A
A
A
JAKARTA - Ada wacana yang saat ini sedang digodok oleh pemerintah melalui Dirjen Pajak untuk menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen khusus produk atau barang yang dijual secara online. Isu PPN 10 persen untuk produk online shopping ini menuai tanggapan dari berbagai pihak.

"Ini pertama di dunia, ada PPN untuk barang online. Kedua, kemungkinan yang online-online itu buka akun di luar negeri," kata Teguh Prasetya, pengamat sekaligus Ketua Dewan Pakar Indonesia ICT Forum kepada Okezone, Kamis (28/8/2014).

Menurut Teguh, walaupun e-commerce dikatakan sedang pesat di Indonesia, tetapi e-commerce dinilai belum begitu besar atau tidak seluruh masyarakat Indonesia senang berbelanja online.

Menurut Teguh, ada trik yang bisa dilakukan apabila benar-benar PPN 10 persen diterapkan untuk produk online. Penjual bisa menjadikan portal online miliknya hanya sebagai katalog untuk memamerkan barang-barang yang akan dijual.

Guna menghindari PPN 10 persen itu, maka pembeli dan penjual bisa bertemu secara tatap muka langsung. "Kalau ada pajak (PPN itu), transaksi offline, bukan online. Misalkan saya pakai portal online, transaksi langsung sama orangnya. Toko offline akan tumbuh, blackmarket (juga) akan tumbuh," tambahnya.

Bukan tidak mungkin bila pemerintah menerapkan pajak tersebut, maka harga barang-barang yang dijual online menjadi lebih mahal. "Kalau mereka naikkan harga 100 persen (bisa-bisa) enggak laku. Untuk meng-cover cost, keuntungan mereka (penjual) berkurang," tuturnya.

Teguh melanjutkan, bisa saja dampak dari PPN 10 persen juga membuat merchant lokal lebih memilih untuk menjual barang dagangannya di luar negeri. Meskipun demikian, menurut Teguh, dampak kenaikan harga lebih mahal 10 persen oleh karena PPN itu dirasa tidak terlalu memberatkan bagi pembeli.

"Penjualan smartphone di-offline jadi naik. Harga naik, pajaknya berapa persen? kalau 50 persen (mungkin memberatkan), tetapi kalau 10 persen?," tutur Teguh.

Ia lebih lanjut mengungkapkan, ada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan smartphone di Indonesia. Faktor tersebut antara lain 'trend-minded', di mana maraknya penggunaan smartphone seperti Android atau BlackBerry bisa mempengaruhi orang lain untuk membeli perangkat tersebut serta daya beli masyarakat.

(ahl)

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita techno lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement