Share

Tuhan Membusuk? Tanggapan atas Sebuah Pertanyaan

Selasa 02 September 2014 10:01 WIB
https: img.okezone.com content 2014 09 02 95 1032994 PIfd9jV7eE.jpg Libasut Taqwa. (Foto: dok. pribadi)
A A A

TELEPON genggam saya bergetar beberapa saat di tengah seriusnya saya menyerap pelajaran bahasa Inggris di kelas. Karena penasaran, saya pun mengeceknya sembari mendengar tutor melanjutkan penjelasan. Setelah saya cek, ternyata pesan singkat (short message service) dari salah seorang teman lama yang cukup membuat saya terkejut. Pesan singkat itu terbaca, “Waduh, bagaimana maksudnya ospek ‘Tuhan Membusuk’  ini?’’ Saya tersenyum kecut. Karena tak ingin terlibat debat elektronik yang pastinya membosankan, saya jawab saja seadanya, “Tuhan tidak bisa membusuk walaupun kita berkata Tuhan busuk.”

 

Baca: Ospek UIN Sunan Ampel Menuai Kontroversi

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Seusai kelas saya bergegas menuju warnet yang tak jauh dari tempat saya belajar. Pikiran saya, saya harus menulis sesuatu tentang ini; bukan untuk membenarkan, menjustifikasi, apalagi untuk mengakui bahwa sayalah pelakunya. Tapi setidaknya sebagai tanggung jawab almamater UIN Sunan Ampel yang dirasa berat memenuhi pundak saya. Tak ada juga niat saya untuk menantang umat muslim yang setelah “heboh” membaca tema ospek fakultas di kampus saya ini, merasa terganggu atau risih atau geram atau mungkin dengan berbagai ekspresi penyangkalan tak suka lainnya.

 

“Tuhan Membusuk”, seperti para pencinta elektronik “gaungkan” beberapa waktu kini, adalah tema ospek Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang kini bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel, Surabaya. Kami biasa menyebutnya Orientasi Studi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR). Kegiatan ini dihelat teman-teman Fakultas Ushuluddin untuk ‘adik-adik’ mahasiswa baru selama 28-30 Agustus beberapa hari silam. Entah siapa yang iseng memulainya, secepat kilat beberapa foto spanduk yang secara khusus menyorot “Tuhan Membusuk”-nya saja tersebar di dunia maya. Dan dengan segera diikuti oleh (ada yang bilang ratusan) persentase komentator yang tak sedikit.

Baca: Ospek "Tuhan Membusuk", Rektor UIN Surabaya Minta Maaf

Memulai tanggapan, saya ingin memaparkan ke sidang pembaca sekalian sedikit tentang tipologi sebagian mahasiswa Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya sebelum saya memberi tanggapan mengenai “Tuhan Membusuk” di atas. Tentunya sesuai dengan ragam kekurangan yang saya miliki. Dapat saya katakan, hampir semua mahasiswa Ushuluddin akrab dengan mata kuliah kalam dan filsafat. Bahkan ada beberapa kawan yang saya kenal takkan mau jauh dengan karya-karya para filosof besar yang bertanya tentang eksistensi diri, hakikat ketuhanan, atau metafisika. Saya sendiri pernah terlibat diskusi menarik mengenai buku filsafat terkenalnya Sir Muhammad Iqbal yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam dengan salah seorang bibliofilia (pencinta buku) Ushuluddin. Dari sana saya tahu, mereka takkan membiarkan dirinya dalam kepuasan ilmu; mereka akan selalu haus, senantiasa mempertanyakan sesuatu seperti halnya ciri utama filsafat. Mereka seorang pencari! Jadi, kalau dikorelasi, “Tuhan Membusuk” bukanlah frase final, saya yakin punya lanjutan. Setidaknya itu menurut saya.

Baca: Tema Ospek Kontroversial, Sudah Biasa Tuh

Fenomena kontroversi – kalau kita anggap kontroversi— tema ospek di lingkungan IAIN atau UIN sebenarnya telah lama saling berkelindan. Dan biasanya secara khusus menyentuh hal-hal sensitif dalam hal teologis atau mempertanyakan kembali kebiasaan ajeg yang telah lama bersemayam di masyarakat.

Pada pertengahan 2004, Farid Yusuf, mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Forum Ulama pimpinan KH. Athian Ali karena pernyataannya di depan mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat saat ospek mahasiswa baru, Jumat 27 Agustus. Setelah saya telusuri beberapa sumber, ternyata laporan itu berawal dari kata-kata Farid Yusuf dan kawan-kawan saat memperkenalkan himpunan jurusannya dengan kalimat sensitif “Mari berzikir anjing-hu akbar, anjing-hu akbar.” Entah sensasi, atau murni ekspresi keagamaan, tapi setelah itu umat islam pun geram, Farid Yusuf mati kutu.

Secara kalimat, kalau benar kalimat ini berbentuk ajakan, tentu saya juga tak mau mengikutinya. Di sini saya setuju dengan Kyai Athian bahwa, “Seharusnya kalimat zikir dalam takbir adalah ‘Allahu akbar, Allahu akbar.’” Hal yang akhirnya jadi masalah adalah kata “Akbar” yang dalam Asma’ al-Husna “al-kabir” dinisbatkan kepada mahluk bukan kepada Allah. Tapi Mohammad Najib - Pembantu Rektor IAIN Bandung saat itu - punya jawaban lain, "Ketika wacana dipresentasikan dalam konteks akademik, itu tidak jadi masalah," Di sini saya juga setuju. Dalam dunia akademik, ilmu pengetahuan diletakkan pada posisi tak tetap, selalu berubah. Bahkan Rrektor pun, tak bisa menggenggam kebenaran tunggal saat berbicara ilmu pengetahuan. Jadi, jika di dunia kampus sekali waktu melihat dosen kalah debat dengan mahasiswa, atau pertanyaan mahasiswa tak bisa dijawab, itu menunjukan bahwa ilmu pengetahuan selalu berubah, dan meminta diberikan wadah baru yang lebih relevan. Dari aspek wacana, kalau memang akhirnya diklarifikasi kejelasannya, saya rasa kita bisa mafhum. Hal yang disayangkan, dari kasus Bandung “ajakan” disuguhkan pada pribadi-pribadi transisi yang belum matang betul secara nalar dan pengetahuan ilmiah dan tentu setelahnya akan ada dikotomi penafsiran beragam. Kalau sudah begitu, siapa yang bertanggung jawab?

Sekarang Sunan Ampel, masih fakultas yang sama “Ushuluddin”. Bagi yang tahu proses pembentukan Tema OSCAAR lingkungan IAIN, mereka sadar bahwa tema tidak serta-merta dibentuk semau gue oleh teman-teman panitia. Berdasar pengalaman saya, beberapa panitia mengalokasikan paling tidak dua atau tiga bulan sebagai waktu pembahasan tema. Di sini tema tentunya sudah mendapat koreksi terlebih dahulu, hingga akhirnya muncullah satu tema final yang lengkap: “Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan.”

Saya murni tak akan setuju jika judulnya hanya “Tuhan Membusuk”, karena pasti akan menimbulkan banyak tanggapan negatif dari pembaca. Dan memang sulit membaca utuh jika mereka benar-benar tak tahu, termasuk teman lama saya tadi. Tapi jika judulnya lengkap, setidaknya saya secara personal berusaha meraba ke mana arah tema yang dimaksud teman-teman di atas.

Baca: Ospek untuk Perkenalan Kampus, Bukan Tebar Ideologi

Menurut Dr. Haidar Ibrahim, Istilah fundamentalisme acap kali terdengar dan dipakai, namun makna yang sesungguhnya masih belum jelas, terlalu umum dan rentan akan perubahan. Meski tersirat dalam hati fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan dan kekakuan. James Barr, yang merupakan rujukan utama dalam bidang fundamentalisme mengatakan, kata ini bermula dari judul esai yang berjudul "Fundamentals" yang muncul di Amerika sekira 1910-1915. Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan teologi ekslusif; yaitu kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang. Pengertian Fundamentalisme berkembang menjadi lebih sempit. Walaupun dari aspek kesejarahan meninggalkan ragam pertanyaan, namun kini ia selalu akrab bahkan tak jarang dinisbatkan pada agama. Montgomery Watt, dalam bukunya Fundamentalisme Islam dan Modernitas (terjemahan Taufik Adnan Amal) menyatakan Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika Serikat. Ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Fundamentalisme agama, walaupun bukan fenomena baru, menawarkan bentuk dan corak yang selalu relevan. Setelah zaman kian berkembang, istilah fundamentalisme digeneralisasi menghinggapi tidak hanya agama Kristen, tapi islam dan lainnya. Semakin beragam sumber yang kita baca, semakin beragam pula sikap kita dalam memahami fundamentalisme.

Fundamentalisme – kita sambung istilah ini dengan Islam— akan selalu berakhir pada definisi positif atau negatif. Bagi yang menganggapnya negatif (termasuk mungkin panitia Ushuluddin di atas), fundamentalisme Islam hanya akan menyebabkan kekakuan dalam beragama karena sulitnya memahami kontekstualitas teks. Seorang fundamentalis (negatif) adalah seorang yang akan sangat sulit menerima kebenaran dan penafsiran di luar keyakinannya sehingga merekonstruksi atau membangunnya kembali pada definisi positif adalah sebuah keharusan. Dan goals dari rekonstruksi tersebut harus berbentuk kosmopolitanisme. Yaitu, mereka yang mampu memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas yang menurut Kwame Anthony Appiah akan terwujud ketika orang-orang dari berbagai bidang (fisika, ekonomi, dll.) membina hubungan inklusif yang saling menghargai meski memiliki kepercayaan yang berbeda (agama, politik, dll.). Dan kita ingin alumni Ushuluddin seperti itu.

Sebagai penutup, saya akan memulainya dengan pertanyaan, “Apakah saat kita tidak menjalankan ibadah kepada Tuhan, Tuhan akan merugi?” “Apakah jika seluruh alam semesta menghina Tuhan juga, Tuhan serta-merta cengeng dan menangis?” Tentu tidak. Tuhan melampaui itu semua, melampaui kata, melampaui kalimat, melampaui segala-galanya. Hanya ada kita (sebagai makhluk) yang selalu menghilangkan Tuhan dalam jiwa dan raga kita; yang ada, hanya kita yang selalu mencampakkan diri kenaifan kita dan seolah congkak di hadapan-Nya. Tanpa sadar, setiap pribadi yang naif ini membuat kebusukannya masing-masing dan berusaha menyembunyikan Tuhan dalam tiap nafas hidupnya.

Jika sudah begitu, apakah Tuhan yang membusuk ataukah raga dan jiwa kita yang busuk? Apakah saat agama

hanya dijadikan sandaran ideologis keburukan kelompok tertentu agama itu yang busuk atau kelompok itu yang busuk? “Tuhan Membusuk” adalah tema dari ekspresi para makhluk Tuhan yang jengah melihat agama-Nya hanya dijadikan sandaran pribadi yang merusak, yang hanya mau benar sendiri. Saran saya, setelah masuk nanti mahasiswa baru harus terus diberikan fasilitas pengetahuan mumpuni oleh seniornya, agar mereka benar-benar tahu, dan memberi tahu pada yang belum tahu maksud tema di atas.

Segalanya tetap berakhir pada pemahaman kita masing-masing.  Untuk teman-teman Ushuluddin, saya angkat topi!

Wallahu a’lam..

Libasut Taqwa

Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya

(rfa)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini