JAKARTA - Pemerintah dan DPR sepakat untuk memangkas kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dari 48 juta kiloliter (kl) menjadi 46 kl. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil sikap untuk menjaga kuota ini agar tidak melampaui batas.
Salah satu yang dilakukan pemerintah, adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ekonom Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, melihat kenaikan harga BBM tidak akan membuat konsumsi BBM turun.
Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
"Seharusnya pola penggunaan BBM dari masyarakat sendiri yang harus dipaksa efisien," tukas Tri kala dihubungi Okezone di Jakarta, Kamis (18/9/2014).
Sementara itu Ketua Hiswana Migas, Eri Purnomo Hadi, mengatakan jika memang harga BBM naik, maka perilaku konsumen tentu akan berubah. Menurutnya, masyarakat untuk menjadi lebih hemat.
“Biasanya berdasarkan perilaku, bila BBM dinaikkan harganya maka masyarakat akan menjadi lebih hemat dalam pembeliannya. Kalau tidak dinaikkan harganya, tidak akan cukup kuota BBM,” jelas Eri.
Menurutnya jika BBM bersubsidi masih dipatok 48 juta kl, maka dapat berdampak buruk seiring pertumbuhan volume kendaraan di Indonesia yang semakin tinggi. Karenanya, dia melihat harus ada pendataan, sehingga penggunaan BBM bersubsidi tidak salah sasaran.
“Harus ada penataan dalam distribusi dan konsumen dari masyarakat. Karena kalau sekarang kan masyarakat siapa saja gampang untuk membeli BBM tanpa ada proses persyaratan pendataan (kartu pengguna),” tambah Eri.
(mrt)