YOGYAKARTA - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta menilai tidak ada yang salah dari “sekolah” SK anggota dewan. Namun, ada hal lain yang perlu diwaspadai oleh para wakil rakyat itu.
"Saya merasa yakin kemungkinan besar itu untuk menutup biaya politik yang tinggi," kata Peneliti Senior Pukat FH UGM Yogyakarta, Hifdzil Alim, kepada Okezone, Kamis (18/9/2014).
Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
Celakanya, lanjut Boy, jika biaya politik yang dikeluarkan itu cukup besar sehingga tak mampu menutup biaya yang sudah dikeluarkan dari mengadaikan SK. Jika itu terjadi maka anggota dewan akan mencari sumber pendapatan lain.
"Tidak perlu heran kalau ada anggota dewan terlibat proyek-proyek pembangunan," kata dosen Fakultas Hukum UGM itu.
Sementara itu, dampak lainnya yakni pengawasan terhadap eksekutif (pemerintah daerah) melempem. Padahal, anggota dewan harus jeli dalam mengkritisi kinerja kepala daerah atau bupati,” kata
“Indikasi yang patut dicurigai adalah ada transaksi. Kalau sudah begitu, dewan tidak sering memanggil kepala daerah. Setiap usulan dari eksekutif kok selalu lolos dan cepat, itu patut dicurigai kinerja dewan," lanjutnya.
Dilihat dari sisi etika? Mengadaikan SK bagi anggota dewan dianggap bagus selama pengawasan terhadap eksekutif tetap kritis. "Ya bagus, tidak apa-apa, itu wilayah pribadi," katanya.
Hanya saja, kata Boy, jika ditemukan 'meminta' uang ke pemerintah, konsekuensi hukum bisa berjalan sesuai jalurnya. "Kalau nodong ke pemerintah, konsekuensinya hukum berjalan. Kalau hanya ngadain SK, tidak masalah," tutupnya.
(kem)