Share

Pelemahan Rupiah Merupakan Gejala Global

Rizkie Fauzian , Okezone · Senin 22 September 2014 08:50 WIB
https: img.okezone.com content 2014 09 22 278 1042408 gOQCASBdIq.JPG Pelemahan Rupiah Merupakan Gejala Global (Ilustrasi: Reuters)
A A A

JAKARTA - Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menembus batas psikologis sebesar Rp12.030 per USD, namun Rupiah kembali menguat menjadi Rp 11.985 per USD merupakan imbas dari kebijakan Sentral AS, The Fed untuk meneruskan penghentian stimulus moneter, dan respons Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China dalam mempertahanan perekonomian di negara masing-masing.

"Pelemahan nilai tukar mata uang ini merupakan gejala global sebagai imbas keputusan Bank Sentral Amerika Serikat The Fed mengurangi likuiditas global melalui pengurangan sampai pada akhirnya tercapainya program penghentian stimulus moneter atau yang disebut sebagai Quantitative Easing (QE) III,"kata Pakar Ekonomi Firmanzah seperti dilansir Setkab, Senin (22/9/2014).

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Disampaikan Firmanzah, selain aspek-aspek dalam negeri, dua tekanan yang berlawanan arah dipastikan akan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan baik dalam jangka pendek dan menengah terhadap nilai tukar rupiah.

Kedua tekanan itu adalah keputusan The Fed meneruskan quantitative easing (QE) III, dan upaya Bank Sentral Eropa (European Central Bank-ECB) bersama Bank Sentral Jepang dan Bank Sentral China untuk mempertahankan dan bahkan menambah likuiditas untuk menggairahkan perekonomian di kawasan tersebut.

"Inilah faktor utama yang menyebabkan pelemahan nilai tukar mata uang di hampir mayoritas emerging-market," papar Firmanzah.

Ia menjelaskan, keputusan The Federal Open Market Committee (FOMC) terkait dengan tahapan pengakhiran QE-III dan pengakhiran suku bunga murah, dengan melakukan pemangkasan pembelian obligasi yang menyisakan USD25 miliar (bulan ini USD10 miliar, dan pada bulan Oktober sebesar Rp15 miliar) ditambah dengan optimisme perkembangan ekonomi AS, telah mendorong sentimen penguatan mata uang dolar terhadap mata uang negara-negara lain termasuk dengan Rupiah.

Di sisi lain, lanjut Firmanzah, ekonomi-ekonomi besar seperti Eropa, Tiongkok dan Jepang justru mengalami persoalan likuiditas yang mendorong kebijakan menempuh Quantititve Easing. Bank Sentral Eropa meluncurkan Targeted Long Term Refinancing Operations (TLTROs) dengan memberikan pinjaman murah kepada industri perbankan di kawasan Euro dengan nilai sebesar 400 miliar euro atau USD518 miliar).

Karena itu pula, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu, tidak mengherankan jika setidaknya hampir seluruh mata uang di Asia melemah terhadap dolar pada sesi perdagangan Minggu ketiga September 2014. Negara-negara yang mengalami pelemahan nilai tukar itu di antaranya  Malaysia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Thailand, Singapura, Taiwan dan juga Indonesia.

(rzk)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini