Share
Cerpen

Operasi Elang Laut

Rabu 01 Oktober 2014 00:03 WIB
https: img.okezone.com content 2014 09 30 551 1046263 Ysr8a8SiGp.jpg Ilustrasi (Dok Okezone)
A A A

Delapan kapal perang marinir Belanda merapat di Pantai Glondong, Jenu, Tuban, Jawa Timur. Kapten Marinir Giesberts sibuk mengawasi sekeliling kapal dengan menggunakan teropong. Jarak 300 meter lagi ia akan sibuk memimpin pendaratan Kolone “Kievit” di Pantai Glondong, Tuban.

 

Ia memastikan sendiri keadaan aman. Ia perintahkan moncong-moncong senapan mesin dan meriam kapal ke daratan. Untuk melindungi pasukan sewaktu pendaratan jika ada serangan mendadak dari pasukan gerilya.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

 

“Arahkan ke pantai!” Teriak Kapten kepada regu pengebom.

“Pasukan Kievet siap!” Teriak Kapten lagi dengan lantang.

“Siap Kapten!” Serentak jawaban Koloni Kievet.

 

Lalu Koloni “Kievit” dengan senjata lengkap siap ke pantai Glondong yang masih sepi. Tak ada orang, hanya air hujan yang terus menerus membasahi bumi Tuban. Malam ini pukul 23.30 WIB tepatnya 18 Desember 1948, koloni “Kievit” telah menduduki pantai Glondong, Tuban. Koloni Kievit ini mendapatkan misi Operasi Zeemeeuw atau Operasi Elang Laut dibawah Komando Kapten Mar Giesberts.

 

Koloni ini akan menguasai daerah strategis yang banyak mengandung minyak yaitu daerah Cepu. Koloni “Kievit” ini mempunyai kekuatan 1.000 pasukan dan disertai dengan kendaraan taktis sejumlah 145 Panser, 50 Tank, dan 100 truk yang harus berjalan menyusuri pantai utara (Tambak Boyo, Bulu Jowo) lalu menuju daerah Cepu. Kemudian dilanjutkan lagi menuju Mojokerto, Jombang, dan Madiun. Pendaratan berjalan mulus tanpa ada gangguan dari Pasukan Gerilya.

 

Setelah beristirahat sebentar, pukul telah menunjukkan 00.30 dinihari tanggal 19 Desember 1948. Koloni “Kievit” itu harus segera berangkat melanjutkan target Operasi Zeemeeuw, mereka beriring-iringan, berbaris-baris, seperti koloni semut yang akan menyerang musuh. Kendaraan taktis juga mengiringi mereka dengan persenjataan yang selalu siap dicetuskan.

 

Bumi Tuban yang telah memasuki musim penghujan mungkin nanti akan menjadi penghalang pasukan besar ini, tanahnya yang gembur dan becek merupakan hal yang tidak mudah dilalui oleh iring-iringan mobil tempur milik NICA itu. Mereka tak kan bisa bergerak lincah dengan iring-iringan besar itu. Karena pusat kekuatan hanya ada di kendaraan taktis itu, sedangkan pasukan yang bersenjata lengkap tak kan bisa diandalkan dalam waktu singkat, mereka buta medan pertempuran, hanya mengandalkan peta.

 

Situasi seperti itu telah dibaca oleh pimpinan pasukan Gerilya dari Divisi I Brawijaya atau Laskar Ronggolawe yaitu Letkol Soedirman untuk menugaskan kelompok-kelompok Gerilya menjadi banyak satuan. Dan kebetulan yang bertugas menghalau jalan dan rintangan dalam operasi Zeemeeuw adalah Laskar Gendruwo, Laskar Hisbulloh, Laskar Kebo Ireng, Laskar Banaspati, dan Laskar Sikatan. Laskar-laskar itu dalam naungan Divisi I Brawijaya.

 

Rombongan koloni itu masih terus berjalan perlahan melewati jalur Pantura. Mereka belum menggunakan jalur-jalur sekunder karena dirasa mereka belum menemukan halangan dan rintangan yang telah dibuat oleh pasukan musuh. Mereka mempunyai jalur-jalur sekunder yang telah dipelajari dari intelijen Marinir Belanda dan KNIL semenjak perang 1942 melawan tentara Dai Nippon dan jalur-jalur itu belum juga sempat ditutup lagi oleh Belanda.

 

Karena harus pergi meninggalkan Indonesia atas perintah sang pemenang yaitu Jepang. Sehingga jalur-jalur itu sudah lama tidak diketahui lagi keadaannya oleh Belanda. Kemungkinan jalan sekunder telah banyak ditumbuhi rumput dan semak-semak.

 

Rombongan itu berjalan sangat lambat, kendaraan taktis banyak mengalami gangguan medan yang sangat sulit karena tanah dalam keadaan basah dan gembur. Terutama kendaraan taktis berupa tank, truk dan panser. Sehingga berjalan pelan seperti semut. Kapten Giesberts mulai sedikit panik, yang ia takutkan operasi tak berjalan sesuai dengan rencana. Sesuai jadwal Koloni “Kievit” ini harus sudah menduduki Banyurip dan Cepu besok siang. Namun jika berjalan melambat seperti ini bisa dipastikan Koloni akan sampai dengan terlambat. Belum lagi ada banyak serangan mendadak dari Laskar-Laskar Bajingan itu. Mereka mengatakan Laskar-Laskar Gerilya dengan Laskar Bajingan karena dengan sistem perang Gerilya yang sangat merepotkan dan membuat frustasi pasukan Belanda.

 

Laskar Gerilya itu menghindari perang terbuka karena kalah jauh dari segi persenjataan. Serangan dari Laskar-Laskar itu juga memakan waktu, menguras tenaga, menyulitkan perjalanan bahkan menjadi ancaman yang fatal. Setelah berjalan hampir 45 menit mereka mulai memasuki pemukiman nelayan yang kumuh, bau ikan tersebar, menyengat. Rumah penduduk nelayan yang masih sepi, gelap dan tak ada yang berani keluar. mereka telah mengungsi masuk hutan. Karena takut ditangkap oleh tentara Belanda yang akan kembali menyerang bumi Indonesia yang baru 3 tahun merdeka.

 

Rombongan “Kievit” tak tertarik dengan permukiman nelayan. Tak tertarik menyerang. Karena mengejar waktu yang harus segera sampai di Cepu. Mereka hanya mau berhadapan dengan Laskar Gerilya jika ada rintangan dalam bentuk penyerangan. Koloni “Kievit” juga mau bertempur untuk mengambil alih daerah-daerah strategis yang telah dikuasai pasukan Gerilya Indonesia. Jika daerah-daerah strategis telah dikuasai tinggal menaklukan dalam perang-perang kecil. Memilih perang-perang kecil adalah untuk menghemat tenaga dan daya tempur.

 

Koloni Kievit terus berlalu dengan diiringi mesin-mesin kendaraan tempur yang terus menderu-deru. Melintasi jalan-jalan yang gembur akibat guyuran hujan. Perjalanan aman dan tak ada gangguan dari Laskar-Laskar gerilya tentara Indonesia. Tak ada juga ranjau-ranjau darat yang terpasang untuk mengganggu iring-iringan Pasukan Kievit dalam melakukan Operasi Zeemeeuw. Mulus tanpa ada rintangan, bahkan salah satu pasukan bercanda dengan temannya, “Kita masuk planet yang tak ada peperangan. Damai dan nyaman. Hanya setan-setan yang tak berani gentayangan melihat pasukan kita yang lengkap dengan Tank dan Panser.”

 

Senyum mengembang dari mulutnya yang tersumbat rokok merk Compania Arrendataria De Tobacos. Temannya juga tersenyum kecut lalu bicara, “Inggris saja kalang kabut, pertempuran yang gagal untuk menguasai Surabaya. Inggris bisa dikatakan keteter dengan kehilangan Jenderalnya yaitu Mallabay.” Mereka berdua masih terus mengobrol sepanjang jalan dengan asyik dan tiada lelah. Sekarang rombongan telah melewati Tambak Boyo dan akan memasuki Bancar lalu Bulu Jowo. Dan hujan masih saja terus turun meski tak sederas yang tadi. Jam telah menunjukkan pukul 02.30 dan koloni itu semakin berjalan cepat dan pukul 03.00 koloni itu telah sampai di Bulu Jowo. Sang Kapten memerintahkan belok ke selatan di pertigaan Bulu. Rencana operasi berjalan sesuai dengan target karena sebentar lagi Koloni akan sampai di Ngepon pukul 03.20.

 

Tepat perkiraan sang Kapten Mar Giesberts pukul 03.20 Koloni Kieviet telah memasuki jalan Ngepon. Namun, rencana terkadang juga meleset dari target. Baru saja koloni itu berjalan beberapa meter memasuki jalan Ngepon, terdengar berondongan senapan mesin dari semak-semak belukar yang berjarak 20 meter ke arah Koloni itu. Ternyata Pasukan Gerilya menunggu penyerangan pada jam menjelang fajar karena kekuatan fisik Koloni yang telah melalui jalur Pantura akan semakin lemah dan butuh istirahat.

 

Saat itulah Laskar Gerilya yang beroperasi didaerah Ngepon yaitu Laskar Banaspati siap menghadang Koloni Kievit yang berjumlah sangat besar dengan persenjataan yang lengkap. Laskar Banaspati pimpinan Kolonel Ngadi yang berjumlah kurang lebih 150 pasukan yang hanya bersenjata senapan mesin dan bayonet dengan sengit mengobarkan pertempuran. Namun tugas pasukan ini hanya menahan tak kurang dari 1 jam. Laskar Banaspati hanya bersifat meneror dan menghambat perjalanan.

 

Serentak Koloni Kievit tiarap dan membalas dengan berondongan senapan. Meski pertempuran tak berimbang itu namun cukup memberikan kesan bahwa Laskar Gerilya perlu diwaspadai karena bisa membikin operasi ini tambah berat. Selama perjalanan melintasi daerah Jawa Timur yang menjadi ajang pertempuran dalam Agresi Belanda II ini. Pertempuran masih saja terus berkecamuk, suara bising mesiu dan roket berdentuman keras membahana. Pasukan Banaspati terus memukul pasukan Kievit walau bersenjata kurang modern, jika dibanding dengan senapan Pasukan Kievit.

 

Semangat tempur yang tetap tinggilah yang membuat Pasukan Banaspati menjadi beringas dan tiada takut. Satu-dua ada juga yang meregang nyawa namun tidak membuat Laskar Banaspati gentar. Setelah dirasa banyak juga korban kubu Laskar Banaspati sekitar 10 orang mati tertembak, Kolonel Ngadi memerintahkan mundur.

 

“Mundur dan tetap membalas. Pancing pasukan musuh tetap mengejar kita sehingga bisa mengurangi serangan meriam dan senapan mesinnya. Dan membuat mereka terpencar.” Perintah Kolonel Ngadi pada yang lain.

“Siap Kolonel!” Jawab anak buah.

“Jika mereka tetap mengejar. Ini kesempatan kita untuk menyergap dari arah bukit itu. Mereka belum tahu daerah kita ini. Kita pakai siasat tikus hutan berlari.” Kolonel Ngadi bicara lagi.

“Siap Kolonel!” Teriak anak buah lagi.

 

Laskar Banaspati terus lari mundur dengan tetap membalas serangan hingga sampai pada gundukan bukit. Tak kalah juga Koloni Kievit terus menembaki dengan Tank dan Pansernya  yang ampuh. Mereka melakukan taktik pengejaran dengan strategi “Pukul Tikus”, strategi ini bertujuan jangan sampai tikus-tikus itu masuk ke dalam labirin persembunyiannya dan membangun kekuatan lagi. Semakin cepat Koloni Kievit melakukan pengejaran, sekitar 50 pasukan berlari masuk hutan mengejar laskar gerilya hingga sampai bukit. Namun sesampai di bukit, suasana menjadi berubah.

 

Tak ada suara senapan Laskar Gerilya yang berbunyi, hening, hanya suara angin fajar yang dingin, dan desahan daun jati yang kemresek membuat Pasukan Kievit itu menjadi ekstra waspada dan sedikit panik. Tanpa diduga dari lubang-lubang tanah yang ditutup oleh daun-daun jati terbuka dengan cepat, lalu suara letusan senapan memberondong Pasukan Kievit yang terjepit oleh medan yang tak mereka kuasai, karena mereka telah masuk lubang jebakan musuh.

 

Koloni Kievit yang terpisah dari pasukan induk itu harus rela menerima nasib naas, mereka bergelimpangan kena peluru senapan-senapan peninggalan Jepang yang telah digunakan oleh Laskar Banaspati. Senapan-senapan itu tak berhasil dilucuti oleh sekutu. Sehingga ada juga pimpinan petinggi Jepang yang berhaluan “kiri” dan “Pro Indonesia Merdeka” memberikan senapan-senapan itu kepada pemuda rakyat Indonesia.

 

Dalam waktu 10 menit, 10 Pasukan Kievit itu terbantai seketika. Dengan cepat pasukan Kapten Mar Giesberts membombardir bukit itu dari jalan, letusan demi letusan terdengar ngeri sekali laksana kilat menyambar-nyambar. Kapten Belanda itu marah melihat anak buahnya tertembak.

 

“Serang terus! Jangan kasih kesempatan pada mereka untuk membalas.” Perintah Giesberts. “Siap Kapten!” Jawab anak buah. Dan panser terus memuntahkan rudal-rudalnya seperti kilat. Dengan selang waktu 10 menit. “Hentikan!” Perintah Giesberts lagi. Sekejab waktu menjadi lengang seketika. “Periksa dan evakuasi daerah penyerangan!” Perintah Kapten.

 

Beberapa pasukan langsung berhamburan menuju daerah bukit itu. Keadaan sudah menjadi lengang, Laskar Gerilya sudah pergi entah kemana, masuk hutan merupakan langkah yang tepat untuk mengamankan diri. Pasukan yang lengkap sekelas Koloni Kievit pun pasti akan merasa kesulitan karena medan tempur yang sangat menyulitkan. Medan hutan. Mau tidak mau operasi-operasi tentara Belanda sulit untuk mengalahkan Tentara Gerilya Republik Indonesia meskipun tempat-tempat penting sudah banyak yang ditaklukan.

 

Laskar Gerilya itu masih bertahan dan masih melakukan perlawanan disemua daerah perlawanan. Logikanya Belanda tak kan bisa menaklukan secara operasi militer dan harus dilakukan perundingan-perundingan untuk tidak memberatkan rakyat yang tak berdosa.

“Busyet! Kaum cecunguk-cecunguk itu telah menembak teman-teman kita. Keparat! Kita mesti balas mereka, Hans.” Omelan Guizert pada Sersan Hans.

 

“Hstststst! Tenang tetaplah waspada, kita masuk ruang jebakan musuh, Guiz.” Pesan Sersan Hans. Dengan menggunakan kode tangan dan mata, Hans memberikan sinyal kepada rekan-rekan yang lain seakan-akan telah masuk ruang jebakan musuh. Dan pasukan Kieviet itu langsung ekstra hati-hati. Setelah dirasa tidak ada tanda-tanda musuh, pasukan Kieviet itu bergegas mengevakuasi teman-temannya yang telah menjadi korban tembakan Pasukan Gerilya. Suara hening dipagi buta di desa Ngepon yang membuat Pasukan Kieviet telah berkurang sepuluh akibat konfrontasi dengan Gerilyawan Indonesia.

 

“Mereka Pasukan Gerilya telah membuat jebakan berupa sarang tikus Kapten. Tapi para gerilya itu sudah melarikan diri ke hutan, Kapten.” Lapor Hans kepada Giesberts.

“Ya, angkut mayat-mayat itu ke Truk.” Perintah Giesberts

“Siap Kapten!” Jawab Kopral Hans. Beberapa prajurit itu langsung mengangkat mayat-mayat itu ke dalam truk dan langsung mendapatkan penanganan lebih lanjut. Untuk diautopsi dan ditulis ke dalam daftar pasukan yang gugur.

 

Hari sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Koloni Kievit terlihat begitu lelah dan tegang akibat medan yang sulit dan mendapatkan gempuran gerilya yang berhasil membuat 10 pasukan marinir Belanda itu binasa. Namun, pasukan itu tetap melanjutkan perjalanan meski sangat pelan. Mereka sangat marah atas terbunuhnya 10 prajurit itu, sepanjang jalan ketika melihat perumahan penduduk langsung dibombardir tanpa ampun. Sekejap perumahan penduduk di sekitar jalan Ngepon itu pun ludes. Untung kedatangan marinir Belanda itu sudah diketahui oleh warga Tuban dan sekitarnya sehingga banyak penduduk sudah mengungsi ke hutan untuk mencari tempat seaman-amannya.

 

Perumahan yang lengang tanpa penghuni bagaikan desa mati.  Tak ada kegiatan dan tanda-tanda kehidupan sehari-hari. Semua penduduk telah pergi. Koloni Kievit itupun tanpa lelah terus bergerak mengikuti jalan yang berkelok-kelok dan menanjak. Baru beberapa meter menelusuri belokan dan tanjakan beberapa ranjau telah meledak, ledakan ranjau itu menghantam beberapa pasukan dan panser.

 

Beberapa pasukan mengalami luka dan harus segera dirawat. Sedang dijalan-jalan banyak pohon-pohon dirobohkan untuk menahan laju koloni Kievit, rintangan lagi dan sulit. Maka Kapten Giesberts memerintahkan untuk putar haluan dan kembali ke jalur Bulu Jowo. Setelah sampai di Bulu Jowo koloni Kievit itu belok ke arah kiri atau ke barat menuju jalan Daendels atau jalur Pantura jurusan Sedan.

 

Dan sebelum sampai Sedan Koloni Kievit itu harus segera beristirahat. Di lahan yang cukup lapang dan dipantai Pantura Koloni Kieviet itu melepas lelah. Tak ada penyerangan karena jauh dari hutan. Dan itu sangat dihindari dari kubu Pasukan Gerilya karena kalah persenjataan. Tepatnya di Desa Ngomben Koloni Kievit melepas penat, mereka ada yang langsung tidur di tenda-tenda, di bawah pohon Bogor atau Siwalan dan Kelapa yang buahnya telah dihabiskan oleh Koloni itu.

 

Namun ada juga beberapa prajurit yang sekedar iseng mencari pelesiran yang nakal. Prajurit itu masuk ke tempat prostitusi kampung Ngomben untuk melepas nafsu syahwat. Prostitusi Ngomben yang sudah ada sejak 1942. Prostitusi Ngomben yang berada sekitar 4 kilometer sebelum memasuki Desa Sarang, Rembang. Prostitusi ini masih tetap bertahan karena beberapa faktor yang sangat strategis, sebagai tempat transit para nelayan dari berbagai daerah yang akan mencari ikan di daerah Lasem, Rembang, Jepara. Merupakan transit kaum pedagang yang akan mengirim barang melalui jalur darat melewati Jalan Daendels sampai ke Semarang.

 

Dari pertemuan orang-orang yang hanya bertujuan membuang hajat seks timbulah penyakit-penyakit kelamin (rajasinga, sipilis) yang terus menyebar dari orang-orang yang tidak bersih bahkan ke istri-istri yang setia menunggu di rumah harus rela terjangkiti pula tanpa tahu jika suaminya senang jajan ke tempat-tempat pelacuran. Maka menyebarlah penyakit-penyakit itu ke anak-anaknya yang tak berdosa sekalipun. Inilah keegoisan kaum pria yang selalu menganggap remeh kaum ibu. Kaum ibu yang tak tahu menahu harus juga ikut menanggung beban berat berupa kekotoran kaum pria yang tak mau menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh kaum hawa.

 

Sipilis hinggap ke tubuh anggota prajurit Koloni itu, terbawa kemanapun pergi. Kerugian besar bagi prajurit yang telah mengidap penyakit menular. Sedangkan pelacur kampung tak perduli akan bahaya penyakit menular itu. Masa bodoh, yang penting dapur tetap mengepul agar anak-anak dan keluarga tidak ikut gepeng karena kelaparan. Suatu keuntungan di dalam kesempitan. Pelacur menabur bunga, prajurit Koloni menuai badai. Badai penyakit kelamin menular yang bisa membuat hidupnya sakit seumur hidup. Akibat berhubungan kelamin dengan banyak orang, nikmatnya hanya sesaat risikonya sangat berat.

 

Setelah waktu jeda berakhir. Koloni Kievit itu melanjutkan perjalanan lagi menuju terus ke barat menyusuri pantai utara untuk menuju Desa Sedan. selama perjalanan masih saja mengalami kesulitan dalam medan tempur itu, yaitu jalan yang sangat lembek akibat guyuran hujan. Namun selama memasuki desa Sedan tak banyak mendapatkan serangan dari para pasukan gerilya. Dari desa Sedan langsung menuju desa Jatirogo.

 

Pertempuran di Desa Sugihan Jatirogo

 

Setelah melakukan penghalauan terhadap pasukan Kievit di daerah Ngepon, Kolonel Ngadi pimpinan Laskar Banaspati melapor ke Letnan Kolonel Soedirman pimpinan Brigade Ronggolawe atau Divisi I Brawijaya yang beroperasi di daerah Tuban. Pertemuan itu terjadi di daerah hutan gerilya Tiwian, Bangilan. Kolonel Ngadi melaporkan bahwa telah terjadi kontak dengan pasukan Kievit pimpinan Giesberts di daerah Ngepon dan berhasil membunuh 10 pasukan Kievit.

 

Kemudian pasukan Kievit mundur kembali untuk mengambil jalur Bulu-Sarang dan kemudian ke Desa Sedan sampai akhirnya ke Jatirogo. Laporan telah disampaikan dengan baik oleh pasukan Banaspati dan langkah selanjutnya Brigadir I Ronggolawe akan menghalau langsung di daerah Jatirogo. Langkah ini bertujuan agar jangan sampai pasukan Kievit pimpinan Giesberts akan lebih cepat menguasai Cepu. Karena bidikan pasukan Kievit akan menguasai kilang-kilang minyak sebagai bahan bakar untuk mengoperasionalkan mesin-mesin berat pasukan Agresi. Jika mereka tidak menguasai kilang-kilang minyak mereka bagaikan pasukan yang tak berenergi karena mesin-mesin berat akan menjadi barang rongsokan yang tak dapat digunakan.

 

Kesempatan ini yang harus digunakan oleh pasukan gerilya. Kolonel Ngadi juga melaporkan anak buahnya yang telah gugur dimedan perang kurang lebih 25 orang akibat tembakan dan hantaman rudal tank pasukan NICA itu. Dan ada beberapa kawan untuk bertanggung jawab dalam penguburan mereka yang telah gugur itu.

 

Brigadir Ronggolawe atau Divisi I Brawijaya itupun bergerak ke arah desa Jatirogo. Mereka beriring-iringan menyusuri jalan tikus Hutan Tiwian-Bangilan menuju Hutan Dingil-Jatirogo yang rencananya nanti akan menyergap pasukan Kievit itu di Desa Sugihan Jatirogo. Karena tak punya banyak waktu segeralah Sang Komandan Soedirman memerintahkan kepada pasukan. Sambil berjalan Komandan itupun juga menugaskan beberapa personel untuk mengatur strategi sambil diskusi. Karena penyerangan ini bersifat mendadak dan taktis sehingga tak ada pertemuan atau briefing terlebih dahulu. Briefing sambil bergerak.

 

“Ayo cepat bergerak usahakan kita akan sampai di Sugihan sebelum mereka melewati jalur itu.” Perintah Soedirman sang Komandan.

 

“Untuk Kang Yarno, Tarmono, Barno, Jono, Gono, kalian punya tugas sisir jalur utama Jatirogo-Bojonegoro lalu pasang ranjau-ranjau di tempat-tempat strategis seperti Jembatan mulai dari Jembatan Ngijo, Jembatan Jatiklabang, Jembatan Cemoro,  Jembatan Pakel dan Jembatan Sugihan. Agar pasukan anjing-anjing NICA itu tak bisa melalui jalur utama. Mereka terpaksa akan melayani perang terbuka dengan kita. Mari kita sikat anjing-anjing NICA yang mau merongrong kemerdekaan kita. Merdeka!“ Sambung Pak Soedirman.

 

“Merdeka!” Serentak pasukan menyahuti.

“Apakah disiapkan juga regu penembak jitu pak Komandan?” Tanya Kang Diran pada Sang Komandan.

 

“Betul! Kita siapkan juga penembak jitu disetiap pos-pos penyergapan. Tempatkan disetiap pos tiga orang, jangan menembak duluan jika tidak terjadi peperangan. Pasukan itu hanya bersifat pengintaian. ” Jawab Komandan Soedirman. “Siap Komandan!” Jawab Kang Diran tegas.

 

Siang menjelang sore iring-iringan pasukan gerilya itu mulai masuk daerah Sugihan. Mendung masih juga tebal di awan yang gelap. Meski mendung itu belum memuntahkan literan air ke Bumi Pertiwi yang baru merdeka ini. Masa transisi dari budaya terjajah menuju budaya merdeka yang semangatnya menyala-nyala ini meninggalkan ribuan jejak kisah yang menyelingi buku-buku Sejarah Nasional, merekalah pahlawan bagi zaman, ada yang tertulis ada yang terlewat begitu saja, mereka semua tetaplah pahlawan.

 

Dalam peperangan bukan hanya saja pemimpin yang menjadi pahlawan namun semua yang telah membantu usaha-usaha untuk kemenangan dalam peperangan adalah pahlawan. Mereka yang gugur dalam perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah syuhada’, mati syahid.

 

Dan sore ini dengan keadaan mendung Laskar Ronggolawe telah menempati pos-pos penyergapan di desa Sugihan-Jatirogo. Sedang di pinggir jalan ada parit-parit itu telah penuh dengan tentara-tentara gerilya dengan posisi tiarap dan siap menembak musuh yang hendak lewat. Mereka telah siapkan seluruh jiwa dan raga untuk bumi tercinta yaitu Indonesia. Matipun tak kan segan demi negara Indonesia. Mereka rela meninggalkan keluarganya, anaknya, istrinya bahkan harta bendanya demi satu tujuan merdeka seratus persen.

 

Cita-cita mereka hanya merdeka dari penjajahan negara asing, mengenai mengisi kemerdekaan adalah para generasi yang akan datang. Jangan heran ketika pertempuran demi pertempuran telah terlewati dan kemerdekaan telah diraih masih banyak kita jumpai para pejuang-pejuang yang telah ikut bertempur itu masih saja hidup dalam serba kekurangan. Itulah perjuangan hidup yang tak kan ada habisnya.

 

Benar apa yang diperkirakan oleh Kolonel Ngadi. Tak berapa lama suara deru mesin mulai terdengar di telinga. Laskar-Laskar Gerilya telah siap dengan posisi penyergapan. Senapan-senapan itu telah siap dibidikkan ke arah musuh. Maka dengan waktu kurang lebih 15 menit pertempuran pecah.

 

Suara hiruk pikuk jeritan orang, suara senapan, suara bom, bergemuruh jadi satu, tak bisa kita hitung lagi berapa banyak korban di kedua kubu. Mayat-mayat bergelimpangan silih berganti. Bau amis darah menyebar. Potongan organ-organ tubuh berceceran. Sore menjelang malam Desa Sugihan-Jatirogo-Tuban menjadi saksi historis pertempuran antara Tentara Indonesia dan Pasukan Belanda.

 

Pertempuran berlangsung sekitar satu jam non stop. Dimulai jam 17.00 dan pertempuran mulai mereda pukul 18.00. Pasukan Gerilya mundur ke arah Hutan Sugihan. Koloni Kievit masih saja menembaki arah perginya Pasukan Gerilya. Tak berapa lama rombongan itu melanjutkan perjalanan ke arah timur untuk bergabung dengan Koloni Arend dari Laju Kidul-Singgahan-Tuban namun apa daya rombongan itu tak sanggup melanjutkan perjalanan lagi karena Jembatan Sugihan putus akibat diledakkan Pasukan Gerilya.

 

 

Kapten Giesberts pun marah-marah dengan mengumpat-ngumpat, memaki-maki dengan kalimat-kalimat kotor. “Bedebah, Pejuang sialan! Perintahkan pasukan balik ke arah barat lalu kita ambil jalur selatan menuju Kenduruan lalu kita ke arah Kali Gede Senori.” Perintah Giesberts. Dengan wajah kesal dan lelah Kapten itu pun segera mendengar kabar berita dari anak buahnya dari HT.

 

“Ada kabar apa Bong?” Teriaknya.

“Lapor Kapten! Pasukan Gerilya telah membakar dan membumi hanguskan Banyurip dan Cepu Kapten, termasuk sumur-sumur minyak juga ikut dibakar. Dan juga ada kabar dari Pasukan Arend untuk bertemu di daerah Senori.” Jawab Bong sang informan.

 

“Baik katakan pada pimpinan Arend, kita siap bertemu. Tapi mungkin agak telat karena kita lewat jalur sekunder. Jalur utama telah dihancurkan oleh cecunguk-cecunguk gerilya.” Perintah Kapten lagi.

“Siap Kapten!” Hormat Bong.

 

Giesberts merasa kesal dengan angkatan perang gerilya yang memberikan peperangan secara taktis dan cukup memusingkan gerak laju Koloni Kievit itu. Sengaja di buat begitu oleh sang Komandan Soedirman, logistik Koloni Kievit itu harus dikuras sedikit demi sedikit sehingga kekuatan tempurnya akan selalu berkurang. Dan Pasukan Gerilya akan selalu meneror dan memberikan perlawanan dengan sengit. Itulah taktik perang gerilya, perang yang digunakan oleh angkatan perang Indonesia dalam menghadapi serangan musuh NICA. Koloni itu baru menyadari bahwa mereka telah memasuki neraka pertempuran dengan pasukan-pasukan berani mati yang hanya bermodalkan semangat pantang menyerah dan senjata sederhana.

 

Koloni Kievit itu segera bergegas balik arah menuju jalur sekunder ke arah jalur selatan dari Desa Jatirogo. Benar-benar pertempuran yang melelahkan bagi Koloni itu untuk menghadapi beberapa pasukan gerilya. Bahan makanan yang mereka bawa pun mulai berangsur-angsur berkurang sehingga mereka supaya bisa bertahan adalah dengan cara meminta paksa dari penduduk yang mereka lewati. Mengambil pisang, mengambil kambing, bahkan juga mengambil ayam, telur, mereka mengambil apa yang bisa mereka ambil. Perang bisa mengubah watak manusia, membunuh atau dibunuh, menguasai atau dikuasai, menang atau kalah, hidup atau mati, dua sikap yang selalu diperebutkan dalam setiap peperangan dimanapun tempatnya.

 

Kali ini NICA di Jawa Timur siap memperebutkan wilayah jajahan lagi melalui Agresi Belanda II atas bumi Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya tertanggal 17 Agustus 1945 melalui Proklamasi itu. Peristiwa penting sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan yang tak bisa ditawar lagi meski harus bermandi darah disetiap jengkal usaha untuk mempertahankannya.

 

Pertempuran di Jembatan Kaligede Senori

 

Dengan susah payah tiba juga Koloni Kievit memasuki daerah Senori. Hari sudah gelap. Koloni Kievit itu menggunakan taktik “merayap senyap” taktik ini cukup beruntung dan berhasil dengan menggunakan beberapa orang warga penduduk desa untuk mengikuti  rombongan Koloni Kievit untuk berada di barisan depan rombongan Koloni. Warga-warga itu dikondisikan seperti orang yang akan bepergian, jalannya juga tenang, seperti tidak terjadi apa-apa, baru dibelakangnya dengan jarak 100 meter Koloni menyertai dari arah belakang. Taktik ini untuk mengelabuhi musuh, dan setelah memasuki daerah Kaligede Senori Koloni Kievit terus saja melanjutkan perjalanan.

 

Hujan mulai turun. Namun tak menjadi alasan Koloni untuk beristirahat. Karena untuk mengejar waktu agar segera sampai di Banyurip dan Cepu. Rombongan “pengelabuhan” dari warga terus berjalan dengan menyimpan resah yang mendalam. Dalam otak mereka timbul pertanyaan selamat atau mati, ditembak saudara sendiri atau dihabisi oleh Belanda, tak ada jawaban, tak berani bertanya sesama teman, mereka hanya diam dengan pelampiasannya yaitu tetap berjalan meski tubuh merintih ingin berhenti namun takut akan mati. Kurang beberapa langkah rombongan akan melewati Jembatan Kaligede. Setiap mereka melewati jembatan hatinya khawatir dan jantungnya seakan berhenti berdetak, dalam bayangan mereka peledakan.

 

Rombongan warga “pengelabuhan” itu berhasil melewati jembatan. Aman tak ada reaksi yang ditimbulkan. Baru pasukan Koloni Kievit itu memasuki jembatan, “Blar-Blar” ledakan keras terjadi lalu jembatan yang kokoh itupun ambruk seketika. Beberapa personel Kievit terpental dan tak bangun lagi. Beberapa korban yang lain menjerit histeris. Ada 1 Truk yang masih berisi pasukan ikut juga nyungsep jatuh ke dalam jembatan masuk ke sungai.

 

Bersamaan dengan peristiwa itu serangan terjadi dari arah balik semak-semak dan bambu dekat jembatan. Berondongan-berondongan senapan berlomba-lomba ditengah malam seperti kembang api yang meluncur tak teratur dari dua arah, berhadap-hadapan saling melumpuhkan. Jeritan demi jeritan terdengar dalam pekatnya malam. Sedangkan warga “pengelabuhan” itupun lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri masing-masing dan tak nongol lagi.

 

Serangan pun hanya bertahan 30 menit. Setelah itu reda. Koloni mengevakuasi para korban ledakan ranjau, dan truk yang nyungsep ke sungai. Ada beberapa korban yang harus segera di rawat oleh tim kesehatan.

Pasukan Kievit itupun kembali melongo menyaksikan jembatannya ambruk, tak ada lagi jalan sekunder, maka Giesberts memutuskan untuk membuat jembatan darurat. Dari malam sampai fajar. Setelah jembatan darurat itu berhasil dibangun perlahan-lahan rombongan mulai menyeberang. Lalu bergerak langsung ke arah Banyurip dengan medan yang benar-benar sulit, tanjakan-tanjakan yang amat tinggi harus mereka lalui.

 

Menurut intelijen NICA jembatan Kaligede berikutnya juga sudah dihancurkan oleh pasukan gerilya. Namun apa daya Giesberts harus tetap terus bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan di setiap perjalanannya. Rencana tak kan bisa berjalan mulus bahkan terkadang harus berani merngubah rencana-rencana itu untuk menuju rencana berikutnya. Dan Giesberts itu pun menggelengkan kepala serasa tak percaya bahwa kekuatan pasukan gerilya masih perlu diperhitungkan. Dan perjalanannya telah telat 72 jam untuk sampai ditujuan yaitu Banyurip. Benar-benar bagaikan ekspedisi di jalur neraka. “Busyet!” Katanya.

 

Bangilan, 8 September 2014.

 

Oleh. Rohmat S.

 

Penulis saat ini tinggal di Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Dapat dihubungi di email: rohmat.sholihin@yahoo.com

 

(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news.okezone@mncgroup.com)

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini