Share

Pengangkatan Ahok Bisa Picu Masalah Baru

Mohammad Saifulloh , Okezone · Minggu 26 Oktober 2014 12:17 WIB
https: img.okezone.com content 2014 10 26 338 1057051 pengangkatan-ahok-bisa-picu-masalah-baru-IaztmwVvaU.jpg Plt Gubernur DKI Basuki T Purnama alias Ahok
A A A

JAKARTA - Pengangkatan Jokowi Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta bisa menjadi masalah karena adanya penafsiran yang berbeda terhadap pasal-pasal dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2014.

Di satu sisi Kemendagri menganggap bahwa Ahok bisa otomatis diangkat menjadi Gubernur berdasarkan ketentuan Pasal 203 Perpu Nomor 1 Tahun 2014.

“Namun di sisi lain bisa disimpulkan berbeda jika kita mengacu pada pasal 174 ayat (2),” ujar anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad melalui siaran pers kepada Okezone di Jakarta, Minggu (26/10/2014).

Pasal 203 Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota berbunyi:

Dalam hal terjadi kekosongan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sampai dengan berakhir masa jabatannya.

Sementara Pasal 174 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2014 yang berbunyi: “Apabila sisa masa jabatan Gubernur berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan maka dilakukan Pemilihan Gubernur melalui DPRD Provinsi.”

Angket penolakan Ahok (Foto: Dok Okezone)

Menurut Sufmi, ada tiga masalah hukum yang membuat pasal 203 ini sulit diterapkan dalam kasus penggantian Jokowi. Masalah pertama, Jokowi-Ahok tidak diangkat berdasarkan atau setidak-tidaknya tidak hanya berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Mereka diangkat berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masalah kedua, Pasal 203 yang merupakan pasal peralihan sama sekali tidak menyebutkan bahwa pasal tersebut mengesampingkan ketentuan pasal 174 ayat (2).

Padahal, perkara yang diatur dalam kedua pasal tersebut adalah sama. “Bagaimana mungkin ada dua pasal berbeda yang mengatur masalah yang sama tanpa adanya penegasan bahwa dalam kasus tertentu ketentuan salah satu pasal tidak berlaku,” tanyanya.

Lazimnya, jika pasal peralihan dimaksudkan untuk membuat pengecualian, maka pembuat UU secara tegas mengatakan bahwa pasal yang berlaku umum tidak berlaku atau dikesampingkan untuk kasus-kasus tertentu. Hal ini bisa dilihat dalam pasal-pasal peralihan di UU lain seperti UU PTUN Nomor 5 Tahun 1986, UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak dan lain-lain.

Masalah ketiga, terang Sufmi, adalah frasa "gubernur berhenti" yang ada dalam Pasal 174 ayat (2) lebih mengena ke kasus penggantian Jokowi dibandingkan dengan frasa "kekosongan gubernur" sebagaimana tercantum dalam Pasal 203. Jokowi secara tegas menyatakan mundur atau berhenti sebagai Gubernur pada saat menyampaikan pidato di rapat paripurna DPRD DKI.

“Adanya dua penafsiran yang berbeda terhadap Perpu yang sama ini dapat dikategorikan sebagai konflik hukum. Saya menyarankan Kemendagri berkonsultasi lebih dahulu dengan MK dan meminta MK membuat penafsiran Perppu tersebut,” ulasnya.

Permintaan pendapat MK, sambung dia, pernah terjadi pada saat KPU bingung dalam menafsirkan Pasal 149 UU Pilpres. Pada saat itu ada dua pendapat yang berbeda soal berapa putaran Pilpres dilaksanakan mengingat pesertanya hanya dua pasangan calon.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini