Share
Asal Usul Pasar Klewer (1)

Stasiun Belanda yang Kini Pasar Beromzet Miliaran

Bramantyo , Okezone · Senin 26 Januari 2015 03:20 WIB
https: img.okezone.com content 2015 01 26 340 1097009 asal-usul-pasar-klewer-bagian-1-GVtcVoVYZA.jpg Asal Usul Pasar Klewer (Foto: Bengawan)
A A A

SOLO - Kebakaran hebat melanda pasar tekstil tradisional terbesar di Kota Solo, Pasar Klewer, Sabtu 27 Desember 2014. Amukan si jago merah tak bisa dikendalikan lagi.

Jerit serta tangisan serta kepanikan 2.300 pedagang tak bisa terbendung saat melihat kios yang selama ini menjadi tempatnya mencari nafkah, ludes terbakar.

Hampir 30 mobil pemadam kebakaran dikerahkan untuk memadamkan kobaran api. Meski telah mengerahkan mobil pemadam kebakaran yang berasal dari seluruh wilayah di Surakarta, termasuk dari Kota Semarang, selama 24 jam namun api belum bisa dipadamkan.

Pasca terbakarnya pasar tekstil beromzet miliaran rupiah ini, sejumlah Menteri hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang melihat dari dekat kondisi Pasar Klewer.

Presiden Jokowi pun langsung menginstruksikan agar pasar yang berdiri di atas tanah seluas 12.950 m2 itu segera dibangun kembali. Selain untuk kembali menggairahkan perekonomian rakyat kecil, hubungan antara Presiden Jokowi dengan Pasar Klewer tak bisa dipisahkan begitu saja.

Saat memimpin Kota Solo, Jokowi mengaku sering berbelanja baju sendiri ke Pasar Klewer. Tak hanya menyangkut Kota Solo saja, namun juga pedagang-pedagang kecil dari daerah lainnya seperti Cirebon, Pekalongan, Jepara, dan kabupaten lainnya juga menumpukkan hidupnya di pasar tersebut.

"Tapi yang jelas segera ini kita kerjakan. Karena ini adalah ekonomi-ekonomi pedagang kecil yang tidak hanya menyangkut hanya Solo, tapi juga pedagang yang berasal dari Cirebon, Pekalongan, dan Jepara. Semua kabupaten ada yang mengambil produknya dari sini," papar Presiden Jokowi.

Namun, siapa yang mengira bila pasar beromzet miliaran rupiah ini dulunya adalah tempat pemberhentian kereta api saat masa penjajahan.

Pakar sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tunjung W Sutirto, mengatakan, sebelum menempati lokasi di samping Kraton Kasunanan, para pedagang kain ini berjualan di sebelah timur Pasar Legi.

Dari sisi sejarah perkembangan, Pasar Klewer memang tidak bisa dipisahkan dengan Kraton Solo. Pakubuwono X membangun Pasar Klewer sekira abad 18-19. Dari Sejarah Babad Sala, Pasar Klewer dulu bernama Pasar Slompretan.

Pakubuwono X membangun Pasar dekat dengan Masjid Agung Surakarta yang sudah lebih dahulu ada sejak zaman Paku Buwono II. Tujuannya, agar pedagang muslim bisa lebih dekat lokasinya ketika akan beribadah.

Lokasinya berada di pinggir di sekira pakretan (tempat parkir kereta kuda yang hendak ke Keraton). Bahkan, masih berdasarkan sejarah jalan di depan Pasar Klewer adalah jalan tertua yang dibangun masa Paku Buwono II.

Jalan tersebut juga digunakan sebagai jalur yang dilewati saat pindahan kraton Mataram dari Kartasura menuju Sala (Solo) yang kemudian bernama Surakarta Hadiningrat.

"Dulunya di tempat itu banyak sekali para penjual burung serta pedagang lainnya. Karena waktu itu Kereta menggunakan trompet dan di lokasi itu bunyi trompet sering terdengar, maka untuk memudahkan dan mengingat, kala itu warga menamakan tempat tersebut sebagai Pasar Slompret," jelas Tunjung saat ditemui Okezone belum lama ini.

Seiring perjalanan waktu, lokasi di mana para pedagang kain berjualan terjadi keresahan yang berujung kepanikan para pedagang. Waktu itu beredar kabar adanya penyakit menular yang sangat berbahaya menyebar di lokasi mereka berjualan.

Karena takut tertular, para pedagang inipun akhirnya meminta kepada pemerintah Jepang untuk dipindahkan ke lokasi lainnya. Karena tak memiliki lokasi lain, para pedagang kain akhirnya dijadikan satu di Pasar Slompretan.

"Jadinya Pasar Slompetan ini komplit sebagai lokasi berjualan. Semua jenis jualan digelar Pasar Slompretan," ujar Tunjung.

Sedangkan nama Klewer itu sendiri muncul dikarenakan kebiasaan para penjual kain yang selalu membawa barang dagangannya di atas bahu. Masyarakat Jawa biasa menyebut dengan istilah "kleweran".

"Dari kebiasaan yang selalu kleweran membawa barang dagangannya, membuat lokasi itu akhirnya dikenal sebagai Pasar Klewer menggantikan nama sebelumnya Pasar Slompretan," sambung Tanjung.

Semakin banyaknya orang yang berjualan kain, membuat para pedagang lainnya akhirnya tergusur dari lokasi yang sudah dikenal dengan nama Pasar Klewer tersebut.

Pasar Klewer sempat berkembang pesat, namun pada masa pendudukan Jepang sekira tahun 1942-1945 aktivitas pasar jadi terhenti bahkan bisa dikatakan mati suri. Sejak pendudukan Jepang, kondisi perekonomian masyarakat semakin sulit.

Seiring perkembangan zaman, lambat laun pusat perdangan ini medio 1947 sampai 1967 berkembang menjadi salah satu pasar sandang terbesar yang berada di area Jawa Tengah.

"Mulai pada 1968 dibangunlah pasar yang rancangan arsitektur disesuaikan dengan Kota Solo. Sebelum akhirnya pada 1971 Presiden Soeharto meresmikan pasar ini sebagai pusat grosir sandang terbesar," paparnya.

Meski telah berubah sebagai pasar moderen, namun ciri khas "Kleweran" menaruh barang dagangannya tetap dipertahankan. Tak hanya unik dalam menaruh barang dagangannya, transaksi langsung meski berdesak-desakan antara pembeli dengan pedagang juga hingga kini tetap dipertahankan.

Tak heran bila di sepanjang koridor sempit dalam pasar antara para pembeli dan penjual melakukan kesepakatan harga, atau tawar menawar. "Di antara lalu-lalang orang transaksi harga dilakukan secara terbuka. Tak jarang saat melakukan tawar menawar, antara pengunjung satu dengan pengunjung lainnya saling bersenggolan," tuturnya. (fid)

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(kem)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini