Share

Rusun Masih Dianggap Konsep Jitu Problematika Kumuh

Koran SINDO , Jurnalis · Jum'at 12 Februari 2016 12:18 WIB
https: img.okezone.com content 2016 02 12 470 1310333 rusun-masih-dianggap-konsep-jitu-problematika-kumuh-IIC1DXLN8X.jpg Ilustrasi: Okezone
A A A

SEMARANG - Keberadaan rumah susun (rusun) di Kota Semarang merupakan sebuah keniscayaan. Perkembangan ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini membuatnya selalu dibanjiri warga. Hasilnya, perkampungan kumuh tersebar di sejumlah daerah Kota Lumpia itu.

Saat ini, Kota Semarang memiliki enam lokasi rusun yang tersebar di sejumlah daerah. Yaitu Kaligawe, Plamongansari, Karangroto, Bandarharjo 1, Bandarharjo 2 dan Pekunden. Namun, konsep pembangunan rusun tersebut belum tepat sasaran.

“Tujuan utama pembangunan rusun adalah untuk memfasilitasi masyarakat Kota Semarang khususnya masyarakat marjinal yang belum memiliki hunian. Selain itu, rusun juga berfungsi menata kawasan- kawasan kumuh di Kota Semarang,” kata pakar tata kota Universitas Diponegoro Semarang Prof Totok Rusmanto.

Kesalahan konsep pembangunan rusun di Kota Semarang itu terletak pada pemilihan lokasi. Sebab, kebanyakan rusun dibangun jauh dari masyarakat yang akan dirusunkan. “Seharusnya rusun itu dibangun di area sekitar masyarakat yang akan ditempatkan dalam rusunitu. Yakni di daerah-daerah perkampungan kumuh,” tandasnya.

Saat itu Prof Eko memberikan konsep pembangunan rusun yang intinya rusun akan lebih optimal jika dibangun di wilayah masyarakat sasaran. “Jadi kalau ingin menata kawasan kumuh, maka pembangunan rusun harusnya di wilayah itu. Sehingga masyarakat yang menempati tidak keberatan,” ujarnya.

Karena kesalahan ini, muncul hal-hal negatif, seperti lemahnya pengawasan. Sebab, rusun baru tersebut akan ditempati oleh sejumlah orang, tidak hanya satu perkampungan kumuh yang akan ditata. “Ini berpotensi adanya banyak pelanggaran karena proses seleksi calon penghuni rusun yang tidak transparan. Misalnya ada warga yang mendapat jatah rusun, tapi sebenarnya dia sudah punya tempat tinggal di lokasi lain. Hasilnya, rusun yang diterimanya itu akan dijual,” ucapnya.

Hal ini sebenarnya dapat diantisipasi jika rusun dibangun di lokasi warga. Sehingga, proses pengawasan dan pendataan akan lebih mudah. “Kalau di lokasi perkampungan kumuh yang akan ditata memungkinkan dibangun rusun, kenapa harus di daerah lain yang lokasinya jauh. Itu yang menimbulkan banyak masyarakat enggan dipindahkan ke rusun,” ucapnya. Selain kesalahan konsep, banyak warga yang mendesak untuk bisa menghuni rusun namun menolak dipindahkan karena sarana prasarananya tidak memadai.

Banyak rusun yang sulit dijangkau dan jauh dari pusat kota. “Selama ini masyarakat belum menikmati tinggal di rusun karena banyak faktor utamanya jauh dari aktivitas sehari-hari seperti bekerja, sekolah dan sebagainya. Warga yang sudah bekerja di suatu wilayah besar kemungkinan tidak mau dipindahkan ke rusun karena alasan-alasan itu, ditambah tidak adanya transportasi umum yang memadai,” tandasnya.

Jika dipaksakan membangun tempat rusun dengan lokasi jauh, pemerintah wajib menciptakan potensi lapangan pekerjaan di dekat rusun itu. Selama ini, rusun hanya dibangun untuk memindahkan masyarakat dari lokasi satu ke lokasi lain dengan alasan penataan. “Kalau terus seperti ini, tentu tujuan utama rusun memberikan tempat kepada warga kurang mampu dan menata dari perkampungan kumuh tidak akan berhasil. Mereka yang dipindahkan pasti akan kembali ke daerah asalnya,” kata Totok.

Sebenarnya pembangunan rusun di Kota Semarang memang mendesak. Bahkan dari enam rusun yang sudah dibangun, masih belum mampu mengatasi permasalahan pemukiman kumuh Kota Semarang. “Itu masih kurang, memang harus ditambah. Namun, pembangunan ke depan harus dikonsep dengan matang, berbagai pertimbangan permasalahan rusun yang sudah ada saat ini harus diperhatikan agar rusun yang dibangun benar-benar menjadi solusi,” paparnya.

Di lain sisi, aksi jual-beli rusun tersebut juga dirasakan oleh warga Karangroto Kecamatan Genuk. Menurut informasi dari Nb, 40, dia pernah mendapat cerita salah satu tetangganya yang kebingungan mencari rumah kontrakan. “Dia pernah mendaftar ke rusun Karangroto, tapi tidak bisa karena petugas mengatakan rusun penuh. Tapi, saat dia bertanya pada penghuni rusun, dia ditawari untuk membeli seharga Rp13 juta,” ungkapnya.

Tetangga Nb, yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung, mengaku keberatan. Akhirnya tetangganya itu kontrak rumah di sekitar lingkungan Bn. “Itu pun kontrakannya jelek sekali dan tidak layak, rumah dari papan dan rawan ambruk. Dia mana mungkin bisa beli rumah susun, penghasilan sehari-hari saja kurang,” pungkasnya.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(rzk)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini