Share

Pasang Surut Relasi China - Jepang

Wikanto Arungbudoyo , Okezone · Senin 02 Mei 2016 06:02 WIB
https: img.okezone.com content 2016 05 02 18 1377767 pasang-surut-relasi-china-jepang-vjqpPPajOy.jpg Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bersama Presiden China Xi Jinping (Foto: Greg Baker/AFP)
A A A

INVASI Jepang ke China pada masa Perang Dunia II berbuntut panjang. Hingga kini, hubungan kedua negara bertetangga itu mengalami pasang surut. Beberapa kali Beijing mengalami ketegangan dengan Tokyo, tetapi beberapa kali juga keduanya mesra.

Perang China-Jepang Dua. Demikian, invasi Negeri Sakura pada Perang Dunia II digambarkan. Satu yang paling terkenal dari masa itu adalah peristiwa yang disebut sebagai Pembantaian Nanjing. Peristiwa tersebut adalah serangkaian pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap penduduk Nanjing, China pada 1937.

Kala itu, tentara Kekaisaran Jepang diperkirakan membunuh 40 ribu hingga 300 ribu warga sipil Negeri Tirai Bambu. Pemerkosaan luas juga terjadi. Sayangnya, jumlah pasti korban tidak pernah diketahui karena Jepang selalu menutupi dokumen yang sesungguhnya.

Pengadilan Militer Internasional menjatuhkan hukuman mati kepada para pelaku utama, yakni tentara Kekaisaran Jepang. Namun, Negeri Sakura menganggap mereka sebagai pahlawan. Nama-nama prajurit yang tewas itu diabadikan di Kuil Yasukuni.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Sejatinya, Kuil Yasukuni dibangun untuk mengenang jasa orang yang meninggal untuk Kekaisaran Jepang semasa Restorasi Meiji. Namun, kunjungan rutin petinggi Jepang ke kuil tersebut memunculkan sentimen negatif dari China.

China menganggap kunjungan pejabat tinggi Jepang termasuk Perdana Menteri ke kuil tersebut adalah untuk menegaskan superioritas Jepang di masa Perang Dunia II. China juga menganggap Jepang selalu ingin membangkitkan memori kejayaan di masa perang.

Sentimen China terhadap Jepang ditambah dengan terbitnya undang-undang baru di bawah pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. Militer Jepang kini diizinkan untuk bertarung di luar negeri. Padahal, setelah Perang Dunia II, militer Jepang tidak pernah ikut dalam pertarungan luar negeri.

Sengketa antara negara dengan ekonomi terbesar nomor dua dan tiga di dunia itu tidak hanya sampai di sana. Keduanya terlibat perebutan sengit Kepulauan Senkaku (Jepang) atau Diaoyu (China) di Laut China Timur.

Senkaku/Diaoyu merupakan pulau tak berpenghuni. Jepang mengambil alih kepulauan itu pada 1885. Namun, China mengklaim Kepulauan Diaoyu merupakan bagian dari wilayahnya sejak Dinasti Ming (1368-1644).

Ketika Jepang menyerah kalah pada Sekutu di Perang Dunia II, mereka menyerahkan pulau tak berpenghuni itu kepada Amerika Serikat (AS) pada 1945. Namun, Negeri Paman Sam kemudian mengembalikannya kepada Jepang pada 1972 dan berada di bawah kontrol Pemerintah Kota Ishigaki, Prefektur Okinawa.

Baru-baru ini, sengketa keduanya di Kepulauan Senkaku memanas. Jepang mengklaim berhasil mengusir pesawat militer China dari wilayah tersebut. Mereka bahkan membangun stasiun radar di Yonaguni demi memonitor aktivitas China di Senkaku.

Meski hubungan keduanya kaku dan tegang, beberapa usaha dilakukan untuk mencairkan ketegangan tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden China Xi Jinping melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Pertemuan keduanya selalu dianggap sebagai langkah-langkah terbaik untuk mencairkan ketegangan dua negara yang dipisahkan Laut China Timur itu.

Langkah serupa juga dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dengan mengunjungi Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada akhir pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Wang Yi memuji inisiatif Jepang untuk menemui mereka terlebih dahulu.

Dalam pertemuan keduanya, Wang Yi mengajukan sejumlah syarat kepada Jepang untuk meningkatkan hubungan diplomatik kedua negara. Wang Yi mengajukan syarat agar Tokyo memiliki sikap yang lebih positif dan sehat terhadap pertumbuhan Beijing serta menghentikan teori ‘ancaman China’ untuk memulihkan hubungan.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini