Share

Miris, Pengidap Syndactyly Tinggal di Gubuk Bambu Sendirian

Raiza Andini , Okezone · Senin 02 Mei 2016 19:28 WIB
https: img.okezone.com content 2016 05 02 340 1378527 miris-pengidap-syndactyly-tinggal-di-gubuk-bambu-sendirian-mETMtRQmwv.jpg
A A A

BULELENG - Seorang pria yang terlahir dengan kondisi cacat fisik di tubuhnya harus menjalani kehidupan sunyi di sebuah gubuk bambu di kawasan Banjar Pinggihan, Dusun Munduk Waban, Desa Pedawa, Banjar, Buleleng.

Ketut Marsah (37), anak ke lima dari enam bersaudara itu mengalami cacat saraf, matanya membengkak besar di bagian kiri, tangan dan kakinya tidak memiliki selaput atau dalam istilah medis disebut syndactyly. Selain itu, Marsah juga tidak mampu mendengar dengan baik, hal itu disebabkan rusaknya saraf yang ada di tubuhnya sehingga menyebabkan Marsah tidak bisa mendengar dan juga berbicara dengan lancar.

Pria yang terlahir dari pasangan Wayan Pantawan (70) dan Ketut Tuduh (65) itu hanya mampu berdiam diri di sebuah gubuk bambu selama bertahun-tahun. Penglihatannya kabur, pendengaran kurang awas, serta lisannya tak bisa berkata sebagaimana mestinya sehingga Marsah tidak bisa bekerja seperti pria lain seusianya.

Orangtua Marsah, Wayan Pantawan, mengatakan setelah lahir Marsah kerap sakit-sakitan hingga akhirnya beranjak remaja kaki dan tangannya menempel dan matanya mulai bengkak setelah ia dewasa.

Ayahnya sempat membawa Marsah ke sebuah Balian (dukun) di desa Banjar namun tidak tertolong, penyakitnya justru semakin memprihatinkan. "Dari kecil sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya dewasa dia seperti ini," ungkap Wayan Pantawan ketika berbincang dengan Okezone, Senin (02/04/2016).

Meski memiliki keterbatasan, Marsah tidak pantang menyerah. Dia mengaku membangun sendiri gubuk bambu tersebut hingga menjadi tempat tinggal yang layak untuk disinggahinya.

Selain itu, Marsah juga memiliki pohon-pohon kelapa dan juga pohon coklat di depan rumahnya yang ia tanam untuk dapat dimakan buahnya jika sewaktu-waktu tidak ada makanan di dapurnya.

"Ini semua yang (saya) yang tanam, untuk dimakan kalau sudah berbuah. Saya juga yang bangun rumah ini dan membersihkan halaman rumah," ungkap Marsah ketika dijumpai Okezone di kediamannya.

Di gubuk tersebut Marsah hanya merenungi nasib buruknya. Dia harus menerima takdir hidup sebagai seorang pengidap syndactyly.

Untuk makan, Marsah hanya mengandalkan kemurahan hati tetangga dan keluarganya. Orangtua Marsah yang tinggal tidak terlalu jauh dengan gubuk bambunya tersebut jarang memberinya makan. Hal itu disebabkan kondisi ekonomi yang sangat memprihatinkan sehingga Marsah harus bertahan hidup meski tanpa makanan layak. "Ya makan seadanya. Kalau ada makanan ya makan kalau enggak ada ya enggak makan," katanya.

Marsah tidak pernah mengeluh dengan kondisinya tersebut, walaupun dia sangat berharap mendapatkan perhatian dari pemerintah agar orang-orang sepertinya menjadi prioritas utama. "Saya berharap ada bantuan dari pemerintah, dan perhatikan nasib orang-orang seperti kami ini," tandasnya.

Baca Juga: instalasi-interactivity-gaungkan-keselarasan-dalam-pameran-arch-id-2024

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(ful)

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini