BANYAK orangtua memberi banyak keringanan kepada anak ketika sedang belajar puasa. Seperti boleh tidur lebih, boleh tidak ikut les, atau boleh tidak membantu ibu di rumah.
Dengan sistem belajar puasa seperti itu, tepatkah diberikan kepada anak? Apa yang terjadi jika sistem itu diterapkan dan tidak diterapkan? Psikolog Ratih Ibrahim, MM mengatakan, tidak. Sebab yang perlu dipahami anak adalah kenapa puasa dilakukan. Jadi bukan hanya mengikuti tren saja atau menjalani ritual semata.
“Jalani kegiatan sama seperti hari-hari lainnya. Ini puasa dan ini ibadah, kalau ada pengecualian itu namanya bukan puasa, tapi memberi legitimasi pada kemalasan,” terang Ratih kepada Okezone belum lama ini di Jakarta.
Jangan biarkan anak mengambil previllage dari ibadah ini. Sebab idealnya sama, bedanya sekarag kita semua melatih mendisiplinkan diri di jam yang tidak boleh makan dan minum.
“Bahayanya makna puasa menjadi salah kaprah dipemahaman anak ketika orangtua memberi kelonggaran. Disiplinkan anak dengan cara yang benar,” lanjutnya.
Jika diperbolehkan pulang tidak belajar atau boleh banyak main nantinya anak berpikir bahwa puasa memberikan mereka hak untuk mengurangi karyanya. “Ini hitungannya udah korupsi. Mendapat perlakuan istimewa justru memberi konsep diskriminasi. Apakah itu nilai yang ingin kita didik ke anak kita? Tidak,” pungkasnya.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya
(vin)
