Share

906.000 Balita di Indonesia Alami Gizi Buruk!

Dewi Kania, Jurnalis · Kamis 25 Januari 2018 13:34 WIB
$detail['images_title']
Upaya perbaikan gizi (Foto: @KemenkesRI/Twitter)

HARI Gizi Nasional diperingati setiap tanggal 25 Januari. Pada kesempatan tersebut, pemerintah merilis hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilaksanakan di Indonesia tahun 2017.

Kegiatan PSG tersebut dilaksanakan di 514 kabupaten/kota, dengan melibatkan sekira 171.000 balita. Banyak hal menarik yang disampaikan dari hasil studi ini.

Secara umum pemantauan status gizi tersebut diukur berdasarkan berat badan balita dan gizinya. Rata-rata usia responden antara 0-59 bulan, dengan status ekonomi yang berbeda-beda.

Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat dr Anung Sugihantono MKes mengatakan, setiap daerah di Indonesia punya persoalan masing-masing, sesuai hasil pemantauannya. Sasarannya bisa kita lacak, misalnya dengan anak status gizi kurang, jangan sampai berganti menjadi gizi buruk.

"Di tingkat nasional secara proporsional, ada provinsi-provinsi yang kasus gizi buruknya tinggi, yaitu sampai 14%. Persoalan gizi ini terjadi di seluruh wilayah Indonesia pada dasarnya," ujar Anung di Kantor Kementerian Kesehatan RI, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/1/2018).

(Baca Juga: Warga DKI Jakarta Masih Banyak yang Kurang Mengerti Gizi, Apa yang Salah?)

Berdasarkan hasil PSG 2017, anak yang menderita gizi buruk sebanyak 906.000 anak atau sekira 3,8%. Sedangkan gizi kurang dialami oleh 14% anak, gizi baik sekira 80,4% dan obesitas pada balita dialami oleh 1,8% anak Indonesia.

Dengan adanya hasil PSG yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan tersebut, pemerintah daerah harus turun tangan mengatasinya. Jangan sampai anak yang mengalami gizi kurang menjadi gizi buruk, yang mengakibatkan anak mengalami gangguan tumbuh kembang.

"Sekarang ada 3,3 juta balita punya persoalan gizi yang harus ditanggulangi bersama. Hasil PSG harus bisa ditindaklanjuti pemerintah daerah," tambahnya.

Untuk angka stunting pada balita terjadi pada 9,8% anak, anak pendek 19,8%, dan anak yang tumbuh kembangnya normal sekira 70,4%.

"Baduta yang alami stunting 6,9%, pendek 13,2% dan normal 79,9%," ujarnya.

(Baca Juga: Jangan Malas Makan Sayur, Konsumsi Rutin Kacang Polong dan Brokoli Cegah Obesitas)

Hasil PSG ini, menurut Anung, tidak bisa disamakan dengan riset kesehatan dasar. Karena metodeloginya beda, dengan cara pemeriksaan sesaat.

Anak-anak dipantau rutin status gizinya lewat nama dan alamat tinggalnya. Para peneliti di daerah terjun langsung mendekati mereka untuk pemantauan status gizi ini.

Sayangnya, penyebab dari masalah itu yang paling sering yakni karena kurangnya pengetahuan akan gizi, tidak bisa mengelola masakan dengan baik, sanitasi buruk, hingga lingkungan tempat tinggal yang jorok.

Anung menambahkan, kejadian gizi kurang, gizi buruk, hingga terjadi stunting tersebut bisa dicegah dalam pelaksanaan 1000 hari pertama kehidupan. Calon ibu saat mengandung janin harus berupaya menjaga asupan gizi hariannya.

"Kita terus berupaya edukasi masyarakat, terutama yang tinggal di daerah terpencil dengan akses apapun yang sulit. Tenaga kesehatan harus ikut berperan membantu menuntaskan masalah gizi di Indonesia," pungkasnya.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

(hel)