Share

Menanti Gerhana Bulan Total, Terulangnya Fenomena Langka 152 Tahun Lalu

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis · Rabu 31 Januari 2018 10:45 WIB
https: img.okezone.com content 2018 01 31 406 1852530 menanti-gerhana-bulan-total-terulangnya-fenomena-langka-152-tahun-lalu-QsTZLHvALT.jpg Ilustrasi

JAKARTA - Malam nanti (Rabu 31 Januari 2018), jika cuaca cerah, Anda akan melihat bulan yang berbeda dari biasanya. Penampakan tersebut adalah bagian dari fenomena alam yang disebut "super blue blood moon". BBC mencoba menjawab sejumlah pertanyaan yang mungkin ada di benak Anda tentang peristiwa langka ini:

 

Kenapa namanya begitu rumit?

Dinamakan 'super blue blood moon' karena peristiwa tersebut merupakan gabungan dari tiga fenomena bulan sekaligus.

'Supermoon' karena bulan akan berada pada jarak terdekatnya dengan bumi (perigee), sehingga tampak 14% lebih besar dan 30% lebih terang dari biasanya. Adapun 'blue moon' adalah julukan bagi purnama yang muncul kedua kalinya dalam satu bulan kalender.

Pada tanggal 31 Januari juga akan terjadi gerhana bulan, yaitu peristiwa ketika matahari, bumi, dan bulan berada pada garis sejajar.

Bulan akan ditutupi bayangan bumi, membuatnya tampak kemerahan seperti darah, sehingga disebut 'blood moon'. Hal ini karena sinar matahari menembus atmosfer Bumi sebelum sampai ke Bulan. Gas-gas di atmosfer menyebarkan cahaya biru, dan meloloskan cahaya merah.

Terjadinya tiga fenomena ini secara bersamaan adalah kejadian langka, terakhir kali terjadi 152 tahun lalu.

 

Kapan dan di mana fenomena ini bisa diamati?

Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), gerhana bulan akan dimulai pada pukul 18:48 WIB dan mencapai puncaknya pada 20:30 WIB. Gerhana diperkirakan berlangsung sekitar empat jam.

Fenomena ini bisa diamati di seluruh wilayah Indonesia, dan sebagian besar permukaan bumi. Masyarakat di Pulau Jawa bagian timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua dan sekitarnya bisa menyaksikan seluruh tahapan gerhana; sementara sisanya hanya melihat fase total dan parsial saja. Sedangkan mereka yang berada di Amerika Selatan dan Afrika tidak bisa melihatnya sama sekali.

 

Bagaimana cara melihatnya?

Fenomena 'super blue blood moon' dapat diamati dengan mata telanjang. Bulan purnama akan terlihat berwarna merah dan lebih besar dari biasanya.

Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menerangkan, mula-mula hanya sisi timur dari bulan purnama akan kelihatan; kemudian Bulan tampak penuh pada fase total sekitar pukul 19:52 WIB sampai 21:08 WIB. Proses gerhana berakhir dengan lepasnya purnama dari bayangan Bumi pada pukul 22:11 WIB.

Apa dampaknya terhadap Bumi?

Menurut kepala Lapan Thomas Djamaluddin, pada 31 Januari efek Bulan purnama terhadap Bumi akan jauh lebih kuat dari biasanya. Gravitasi bulan dan matahari memengaruhi pasang air laut. Ketika terjadi gerhana bulan - yang mana posisi Bumi berada di tengah matahari dan bulan - ditambah jarak bulan yang sangat dekat dengan bumi, pasang air laut akan mencapai maksimum.

Dampak ini dapat dirasakan di daerah pantai yang landai, seperti di beberapa daerah di pantai utara Jawa. "Jika terjadi cuaca buruk di laut yang menimbulkan gelombang tinggi, banjir rob akan melimpas semakin jauh ke daratan," kata Thomas.

Ia menambahkan, dampak lainnya yaitu jika terjadi banjir akibat hujan lebat di daratan, banjir akan lama surutnya karena dampak pasang maksimum.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Apa yang dilakukan para ilmuwan untuk memanfaatkan fenomena langka ini?

Bagi para ilmuwan di badan antariksa Amerika Serikat NASA, gerhana pada 31 Januari menjadi kesempatan untuk mengamati apa yang terjadi ketika permukaan Bulan mendingin dengan cepat.

Ketika gerhana bulan, penurunan temperaturnya begitu drastis seakan-akan permukaan Bulan berubah dari sepanas oven menjadi sedingin freezer hanya dalam beberapa jam.

Hasil pengamatan dalam kondisi ini akan membantu mereka memahami karakteristik regolit — yaitu campuran tanah dan batuan di permukaan Bulan — dan perubahannya dari waktu ke waktu.

 

Selama gerhana, para ilmuwan juga akan mengamati Bulan dengan menggunakan kamera termal, mempelajari wilayah yang biasanya tak terlihat.

Sementara di Indonesia, gerhana bulan lebih dijadikan sarana edukasi. Lapan membuka fasilitasnya bagi masyarakat yang ingin melihat gerhana lewat teleskop di beberapa daerah antara lain Bandung, Sumedang, Garut, Pasuruan, Biak, Pontianak, dan Bukittinggi.

Di Jakarta, Planetarium Taman Ismail Marzuki dan Taman Mini Indonesia Indah juga akan khusus dibuka di malam gerhana.

Thomas mengatakan, dahulu gerhana bulan sering dimanfaatkan untuk penelitian kualitas udara; contohnya ketika gunung Tambora meletus pada 1815. Tapi sekarang para ilmuwan menggunakan metode lain yang lebih mangkus untuk mengukur kualitas udara global.

1
2

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini