Share

7 Fase Bagaimana Usia Pengaruhi Selera Makan Anda

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis · Kamis 12 Juli 2018 17:16 WIB
https: img.okezone.com content 2018 07 12 298 1921518 7-fase-bagaimana-usia-pengaruhi-selera-makanan-anda-vpjXYIFDzV.jpg Foto Diambil dari BBC, sumber: Getty Images
A A A

APAKAH Anda makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Kita punya hubungan yang rumit dengan makanan, dipengaruhi oleh harga, ketersediaan, dan bahkan tekanan dari kawan sebaya. Tapi satu hal yang dimiliki semua orang ialah selera makan—hasrat kita untuk makan.

Meski rasa lapar – cara tubuh kita untuk membuat kita menginginkan makanan ketika dibutuhkan – adalah bagian dari selera makan, ia bukan satu-satunya faktor.

Bagaimanapun, kita sering makan saat sedang tidak lapar, atau melewatkan kesempatan untuk makan meskipun perut keroncongan.

Penelitian terbaru menyoroti bahwa isyarat makanan – bau, suara, iklan – yang berlimpah di lingkungan sekitar ialah salah satu penyebab utama konsumsi berlebihan.

Selera makan kita juga tidak tetap, tapi berubah seiring kita bertambah tua.

Terdapat tujuh fase selera makan menurut usia, dan pemahaman yang lebih baik akan fase-fase ini dapat membantu kita mengembangkan cara baru untuk mengatasi kebiasaan kurang-makan dan makan berlebihan, serta dampak kesehatan yang diakibatkannya.

Dekade pertama, usia 0–10 tahun

Foto: Getty Images

Di awal masa kanak-kanak, tubuh kita tumbuh dengan cepat dan pola makan yang terbentuk di usia dini dapat berlanjut sampai dewasa—anak yang gemuk menjadi orang dewasa yang gemuk.

Kerewelan atau ketakutan terhadap makanan tertentu juga turut membuat waktu makan sulit bagi orang tua, tapi strategi membuat anak terus merasakan makanan yang tidak disukai di lingkungan yang positif dapat membuat si kecil terbiasa dengan makanan yang tidak akrab tapi penting, misalnya sayuran.

Anak-anak juga harus merasakan sedikit kendali, khususnya terkait ukuran porsi. Memaksa anak untuk "membersihkan piring" dapat mengakibatkan mereka kehilangan kemampuan untuk mengikuti selera makan dan rasa lapar mereka sendiri, mendorong makan berlebihan di usia lanjut.

Belakangan ini, semakin banyak seruan agar pemerintah melindungi anak-anak dari iklan 'makanan sampah' atau junk food – tidak cuma di televisi tapi juga dalam aplikasi, media sosial, dan blog video – karena iklan makanan meningkatkan konsumsi makanan, yang bisa menjadi salah satu penyebab kelebihan berat badan pada anak.

Dekade kedua, usia 10–20 tahun

Foto: Getty Images

Di masa remaja, pertambahan selera makan dan tinggi badan yang didorong oleh hormon, menandai fase pubertas. Bagaimana seorang remaja menyikapi makanan dalam periode kritis ini akan membentuk pilihan gaya hidup mereka di tahun-tahun berikutnya.

Ini berarti keputusan tentang pola makan yang dibuat anak remaja secara intrinsik terkait dengan kesehatan anak-anak mereka kelak. Sayangnya, tanpa pedoman, remaja bisa mengadopsi perilaku makan dan preferensi makanan yang dikaitkan dengan masalah kesehatan.

Perempuan muda secara umum lebih cenderung mengalami kekurangan nutrisi dibandingkan laki-laki karena biologi reproduktif mereka.

Perempuan yang hamil di usia muda juga menghadapi risiko lebih besar karena tubuh mereka harus bersaing dengan janin dalam mendukung pertumbuhannya sendiri.

Dekade ketiga, usia 20–30 tahun

Foto: Getty Images

Sebagai orang dewasa muda, perubahan gaya hidup seperti kuliah, menikah, dan menjadi orang tua dapat mendorong kenaikan berat badan.

Sekali terakumulasi, lemak tubuh seringkali sulit dikurangi. Tubuh kita mengirimkan sinyal selera makan yang kuat ketika kita mengonsumsi kurang dari kebutuhan energi kita, tapi sinyal yang mencegah kita makan terlalu banyak lebih lemah.

Ada banyak faktor fisiologi dan psikologi yang membuat kebiasaan makan lebih sedikit sulit untuk dipertahankan seiring waktu.

Salah satu area riset baru yang ditekuni para peneliti ialah cara mengembangkan rasa kenyang, perasaan bahwa kita telah cukup makan. Ini sangat membantu ketika berusaha mengurangi berat badan, karena rasa lapar adalah salah satu hambatan dalam mengurangi makan.

Makanan berbeda mengirimkan sinyal yang berbeda pula ke otak. Sangat gampang bagi kita untuk makan seember es krim, misalnya, karena lemak tidak memicu sinyal ke otak yang memberi tahu kita untuk berhenti makan.

Lain halnya dengan makanan kaya protein, air, atau serat, yang membuat kita merasa kenyang lebih lama.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Dekade keempat, usia 30–40 tahun

Kehidupan kerja di usia dewasa memunculkan banyak tantangan selain perut keroncongan.

Dampak dari stres, yang telah terbukti mendorong perubahan selera dan kebiasaan makan pada 80% populasi, membagi rata antara mereka yang makan dengan rakus dan mereka yang kehilangan selera makan.

Dua strategi yang berbeda dalam menanggulangi stres ini menarik: fenomena "ketagihan makanan" – dorongan tak tertahankan untuk mengonsumsi makanan tertentu, seringkali berkalori tinggi – tidak cukup dipahami. Banyak peneliti bahkan mempertanyakan apakah itu benar-benar ada.

Ciri kepribadian lain, misalnya perfeksionisme dan ketelitian (conscientiousness), juga bisa memainkan peran dalam memediasi stres dan perilaku makan.

Membangun struktur lingkungan kerja untuk mengurangi pola makan bermasalah, misalnya ngemil, juga suatu tantangan. Perusahaan atau majikan perlu berusaha mempromosikan pola makan sehat demi tenaga kerja yang sehat dan produktif, dibarengi dengan cara menangani stres.

Dekade kelima, usia 40–50 tahun

Foto: Shutterstock

Kata "diet" berasal dari kata dalam bahasa Yunani diaita, yang berarti"cara hidup", tapi kita adalah makhluk yang dibentuk oleh kebiasaan, seringkali enggan untuk mengubah preferensi kita meski tahu bahwa itu baik untuk kita.

Kita ingin bisa makan apapun yang kita mau tanpa mengubah gaya hidup kita, dan masih memiliki tubuh dan pikiran yang sehat.

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa pola makan adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan kesehatan buruk.

Badan Kesehatan Dunia menyoroti merokok, pola makan tidak sehat, kurang aktivitas fisik, dan minum alkohol berlebihan sebagai gaya hidup yang paling berdampak pada kesehatan dan mortalitas.

Di usia empat puluh sampai lima puluhanlah orang dewasa perlu mengubah perilaku mereka sesuai tuntutan kesehatan, tapi gejala suatu penyakit kadang tak terlihat – contohnya tekanan darah tinggi atau kolesterol – dan banyak yang gagal mengambil tindakan.

Dekade keenam, usia 50–60 tahun

Setelah usia 50 tahun, kita mulai mengalami kehilangan massa otot secara gradual, antara 0,5–1% per tahun. Ini disebut sarkopenia, dan kurangnya aktivitas fisik, konsumsi protein yang terlalu sedikit, dan menopause pada perempuan akan mempercepat penurunan massa otot.

Pola makan yang sehat dan bervariasi serta aktivitas fisik sangatlah penting untuk mengurangi dampak penuaan, dan kebutuhan populasi yang menua akan makanan kaya protein yang enak dan murah belum terpenuhi.

Kudapan kaya-protein bisa menjadi kesempatan ideal untuk meningkatkan asupan protein total pada orang dewasa, tapi saat ini hanya sedikit produk yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan preferensi orang dewasa yang lebih tua.

Dekade ketujuh, usia 60–70 tahun dan seterusnya

Foto: Getty Images

Tantangan terbesar saat ini dalam menghadapi peningkatan harapan hidup ialah mempertahankan kualitas hidup. Kalau tidak, kita akan menjadi masyarakat yang dipenuhi orang-orang tua yang lemah atau lumpuh.

Nutrisi yang cukup sangatlah penting, karena usia tua mengakibatkan kurangnya selera makan dan rasa lapar, berujung pada penurunan berat badan yang tidak diinginkan dan kerapuhan. Selera makan yang berkurang juga dapat diakibatkan oleh penyakit, misalnya Alzheimer.

Makanan adalah pengalaman sosial, sehingga kehilangan pasangan atau keluarga dan makan sendirian dapat memengaruhi rasa senang yang didapat dari makan. Dampak lainnya dari penuaan, misalnya kesulitan menelan, masalah gigi, melemahnya indera perasa dan penciuman juga mengganggu selera makan.

Kita harus ingat bahwa sepanjang hidup kita, makanan tidak sekadar 'bahan bakar', tapi juga pengalaman sosial dan kultural untuk dinikmati.

Jadi kita perlu berusaha untuk memperlakukan setiap kesempatan untuk makan sebagai kesempatan untuk menikmati makanan kita, seraya menikmati dampak positif makanan yang baik pada kesehatan kita.

1
2

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini