Setiap orang pasti memiliki kegelisahan atau perasaan tidak aman dalam kehidupan mereka. Tak terkecuali bagi Ray Shabir. Model sekaligus penulis buku ini berhasil mengekpresikan hal tersebut melalui buku perdananya yang bertajuk “Public Feelings & Other Acts”.
Ditemui Okezone pada acara pembukaan Gallery of Anxiety di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Sabtu (16/5/2019), pria yang akrab disapa Ray Shabir itu menceritakan secara singkat awal mula ketertarikannya menulis buku berkonsep semi autobiography.
Buku ini dihiasi layout visual bernuansa urban, lalu disisipi pula puisi, hingga tulisan-tulisan singkat yang diadaptasi dari pengalaman pribadi.
“Konsep dan ide awalnya merupakan akumulasi perasaan dan pemikiran gue saat memasuki tahap post-graduate blues. Gue bingung, sehabis lulus mau kerja dimana, mau jadi apa. Tapi kebetulan gue berkesempatan melakukan perjalanan ke New York karena kebetulan ada keluarga juga di sana,” terang Ray Shabir.
Pada halaman awal, pembaca akan disuguhkan kisah-kisah Ray dalam melawan rasa sepi yang menyelimuti kehidupannya. Seperti pada chapter berjudul ‘Private War’. Ray menggambarkan perjuangannya dalam menemukan jati diri yang dibalut dengan kisah-kisah sendu saat memutuskan traveling ke New York.
Latar belakang tempat divisualisasikan di sebuah cabin pesawat, Di tempat inilah Ray Shabir sukses mengintepretasikan rasa sepi menjadi sebuah tulisan singkat nan cantik. Ia juga menyinggung beberapa isu yang masih relevan hingga saat ini, seperti masalah pernikahan, eksistensi, hingga transisi dari masa remaja menuju masa dewasa.
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya
Kondisi ini ternyata juga dirasakan oleh para milenial ibu kota. Mereka seolah memiliki permasalahan dan kekhawatiran yang tidak jauh berbeda dengan Ray. Tak heran sejak diluncurkan pada 3 September 2018, “Public Feelings & Other Acts” menjadi salah satu buku terlaris di sejumlah toko buku di kawasan Jakarta Selatan.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Ray dalam merampungkan buku perdananya. Ia menulis seluruh teks pada buku tersebut hanya dalam kurun waktu 2 bulan. Sementara foto-foto yang menghiasai setiap halaman dikurasi dari kumpulan foto yang ia abadikan selama di New York.
“Kalau boleh jujur, gue bikin buku ini seperti bikin skripsi. Yang pertama kali gue kerjakan itu membuat daftar isi. Layout dan foto-foto direvisi oleh editor,” terangnya.
Meski banyak pembaca yang mengaku sangat relateable dengan tulisan-tulisanya, Ray mengatakan enggam mengklaim bahwa "Public Feelings & Other Acts" melambangkan kondisi generasi milenial saat ini.
“Semua orang punya journeynya masing-masing. Inti dari buku ini, gue ingin menyampaikan, 'tidak apa-apa loh kalau kalian merasa bingung dan gelisah dengan kehidupan'. Oleh karena itu, di setiap chapter gue kayak ngasih ruang bagi pembaca untuk menempatkan posisi mereka sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, pameran Gallery of Anxiety yang digelar di Kopi Manyar, Bintaro, Jakarta Selatan, merupakan rangkaian acara peluncuran “Public Feelings & Other Acts”. Seluruh instalasi dan film yang diputar pada pameran ini juga diadaptasi dari tulisan-tulisan pada buku tersebut.
“Kenapa baru bikin book launch sekarang? Karena buku ini adalah karya pertama gue. Kalau gue bikin bertepatan dengan rilisnya buku, gue takut gak ada yang datang dan peduli. Gue juga gak mau bikin book launch yang hanya diisi talk show. Kalau kayak gini kan insyaallah lumayan seru untuk didatangi,” tutupnya.