Share

Cerita Hidupnya Industri Penerbangan di Tangan BJ Habibie

Fakhri Rezy , Okezone · Rabu 11 September 2019 22:05 WIB
https: img.okezone.com content 2019 09 11 320 2103704 cerita-hidupnya-industri-penerbangan-di-tangan-bj-habibie-eJQ593W8SK.jpg BJ Habibie (Foto: Okezone)
A A A

JAKARTA - Presiden ke-3 RI BJ Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019). Salah satu prestasi terbesarnya adalah menghidupkan industri pesawat terbang Indonesia.

Walaupun industri penerbangan sudah dimulai dari jauh sebelum Habibie memulai, namun dirinya tetap menjadi pelopor bagi penerbangan Indonesia. Bahkan hingga saat ini perusahaan PT Dirgantara Indonesia masih berdiri untuk meneruskan impian presiden ke-3 RI tersebut.

 Baca juga: BJ Habibie Buat Rupiah Perkasa ke Rp6.500/USD di Tengah Krisis Moneter

Mengutip website PT DI, Jakarta, Rabu (11/9/2019), integrasi yang selaras dari beberapa faktor telah menjadikan IPTN sebagai industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.

 Habibie

Semuanya dimulai oleh Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang pria yang lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia lulus dari Aachen Technical High Learning, Departemen Konstruksi Pesawat, dan kemudian bekerja di MBB (Masserschmitt Bolkow Blohm), sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.

 Baca juga: Mengenang Sosok Habibie, Mendag: Demokrasi Lahir pada Era Kepemimpinannya

Ketika ia akan mendapatkan gelar doktornya pada tahun 1964, ia memiliki keinginan kuat untuk kembali ke negaranya untuk berpartisipasi dalam program pembangunan Indonesia di bidang industri penerbangan. Namun, manajemen KOPELAPIP menyarankannya untuk terus mencari pengalaman lebih banyak sambil menunggu kemungkinan membangun industri pesawat terbang.

Pada tahun 1966, ketika Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu mengunjungi Jerman, ia meminta Habibie untuk menyumbangkan pemikirannya untuk realisasi Pembangunan Indonesia. Menyadari bahwa upaya membangun industri pesawat terbang tidak akan mungkin dilakukan olehnya sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai merintis untuk menyiapkan tenaga kerja terampil tinggi yang pada waktu yang ditentukan dapat kapan saja digunakan oleh industri pesawat terbang masa depan di Indonesia.

 Baca juga: BJ Habibie Meninggal Dunia, Ini 5 Kebijakan Ekonomi yang Ditinggalkan

Segera Habibie membentuk tim sukarela dan pada awal 1970 tim dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penerbangan di HFB / MBB, tempat Habibie bekerja, untuk melaksanakan perencanaan awal mereka.

Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga dipelopori oleh Pertamina (Perusahaan Minyak Indonesia) dalam kapasitasnya sebagai agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitas seperti itu, Pertamina berhasil membangun Industri Baja Krakatau.

Ibnu Sutowo, Presiden Pertamina saat itu, menyumbangkan pemikirannya bahwa proses alih teknologi dari negara maju harus dilakukan dengan konsep yang jelas dan berorientasi nasional.

Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan Habibie di Dusseldorf, Jerman, dimana ia memberikan penjelasan terperinci kepada Habibie tentang Pembangunan Indonesia, Pertamina dengan impian mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil pertemuan itu adalah pengangkatan Habibie sebagai Penasihat Presiden Pertamina dan ia diminta untuk segera kembali ke Indonesia.

 Baca juga: Kenang BJ Habibie, Mendag: Beliau Buat Pesawat Sebelum Indonesia Berpikir ke Situ

Pada awal Januari 1974, langkah tegas menuju pendirian industri pesawat terbang telah diambil. Realisasi pertama adalah pembentukan divisi baru yang berspesialisasi dalam teknologi maju dan urusan teknologi penerbangan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, pada 26 Januari 1974 Habibie dipanggil oleh Presiden Soeharto.

Pada pertemuan itu Habibie diangkat sebagai Penasihat Presiden di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama bagi Habibie untuk memulai misi resminya.

Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan kelahiran Divisi ATTP (Teknologi Lanjutan & Teknologi Penerbangan Pertamina) yang menjadi tonggak bagi pendirian BPPT dan bagian dari IPTN.

Pada bulan September 1974, ATTP menandatangani perjanjian dasar untuk kerjasama lisensi dengan MBB, Jerman dan CASA, Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap NC-212.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Si Penemu

Ketika upaya pembentukannya mulai terlihat bentuknya, ada masalah yang dihadapi oleh Pertamina yang kemudian memengaruhi keberadaan ATTP, proyek dan programnya, yaitu tentang industri pesawat terbang. Tetapi menyadari bahwa Divisi ATTP dan proyeknya adalah kendaraan untuk mempersiapkan orang Indonesia 'lepas landas' untuk Pelita VI, maka Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pendirian industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

Mengenai hal ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, 5 April 1976, persiapan industri pesawat terbang dilakukan. Melalui peraturan ini semua aset, fasilitas, dan potensi yang tersedia diakumulasikan meliputi aset Pertamina, Divisi ATTP yang telah dipersiapkan untuk pendirian industri pesawat terbang dengan aset LIPNUR, Angkatan Udara Indonesia, sebagai modal dasar untuk industri pesawat terbang. Modal dasar ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri pesawat terbang yang mampu menjawab semua tantangan.

 Habibie

Pada tanggal 26 April 1976, berdasarkan Akta Notaris No. 15, di Jakarta, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr. BJ. Habibie sebagai Direktur Utama. Ketika fasilitas fisik industri ini selesai, pada Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini.

Pada 11 Oktober 1985, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio dipindahkan ke PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.

Dari titik inilah cakrawala baru pertumbuhan industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia baru saja dimulai. Pada periode inilah semua aspek infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum dan peraturan, dan yang terkait dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang diselenggarakan secara terpadu.

Sebelumnya, pada 1960an dan 1970an ini tidak pernah dipikirkan secara serius. Selain itu, industri ini juga mengembangkan teknologi yang progresif dan konsep transformasi industri yang ternyata memberikan hasil optimal dalam upaya penguasaan teknologi penerbangan dalam waktu yang relatif singkat yaitu 20 tahun.

IPTN memiliki pandangan bahwa transfer teknologi harus diimplementasikan secara integral, lengkap dan mencakup perangkat keras, perangkat lunak, dan perangkat otak di mana manusia adalah sebagai inti.

habibie

Itulah manusia yang memiliki kemauan keras, kemampuan dan sudut pandang dalam sains, teori dan keahlian untuk mengimplementasikannya dalam karya nyata. Berdasarkan hal ini, IPTN telah menerapkan filosofi transfer teknologi yang disebut "Mulai di Akhir dan Akhir di Awal".

Ini adalah filosofi untuk menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam proses yang tidak terpisahkan dan berdasarkan pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui filosofi ini kemudian dikuasai secara menyeluruh, tidak hanya material tetapi juga kemampuan dan keahlian. Filosofi ini juga dapat disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh negara lain.

Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membangun pesawat tidak selalu dimulai dari komponen, tetapi secara langsung mempelajari akhir dari proses (pesawat yang sudah dibangun), kemudian membalikkan melalui fase pembuatan komponen. Fase transfer teknologi dibagi menjadi:

- Fase pemanfaatan teknologi / Program Lisensi yang ada

- Fase Integrasi Teknologi

- Pengembangan Teknologi Fase, dan

- Fase Penelitian Dasar.

Sasaran fase pertama adalah penguasaan kemampuan manufaktur, dan pada saat yang sama memilah dan menentukan jenis pesawat yang memenuhi kebutuhan domestik; hasil penjualan digunakan untuk mendukung kemampuan bisnis perusahaan. Ini dikenal sebagai metode pembuatan progresif.

Fase kedua ditujukan untuk menguasai desain serta kemampuan manufaktur. Fase ketiga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan desain diri. Fase keempat ditujukan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.

IPTN kini menjual kemampuan tingginya di bidang teknik – dengan menawarkan desain untuk menguji layanan aktivitas, manufaktur, komponen pesawat dan non-pesawat serta layanan purna jual.

Dalam hubungan inilah nama IPTN telah diubah menjadi PT DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) atau Indonesian Aerospace disingkat IAe yang secara resmi diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, di Bandung pada 24 Agustus 2000.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini