Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyampaikan rekomendasi kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi menyeluruh terhadap Undang-undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
PBNU menilai regulasi terkait jaminan produk halal bertentangan dengan kaidah hukum, aspek sosiologis, dan aspek yuridis.
PBNU melayangkan surat rekomendasinya kepada Ketua DPR RI yang juga ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua Komisi VIII DPR RI, Badan Legislasi DPR RI, dan arsip.
Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siroj mengatakan, PBNU menilai bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang JPH bermasalah secara filosofis.
"Undang-undang ini bertentangan dengan kaidah dasar hukum, yakni al-ashlu fil asyya’i al-ibahah illa an yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan)," ujarnya dalam keterangan pers kemarin.
PBNU, terang Kiai Said Aqil, juga menyoroti UU Tentang JPH secara sosiologis. Masyarakat Indonesia mayoritas muslim, kondisi ini berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu produk dari regulasi ini salah satunya adalah jaminan halal atau sertifikat halal.
"Dalam konteks sosiologis di Indonesia, yang seharusnya disertifikasi adalah produk-produk yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Dalam kaitan itu PBNU merekomendasikan agar lembaga yang ada seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan RI dan Standar Nasional Indonesia diperkuat," katanya.
Adapun secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan Undang-undang Tentang JPH ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu distribusi kewenangan dalam konteks JPH tidak dapat dilakukan hanya oleh negara. Selain itu, norma dalam Undang-undang JPH ini memberikan monopoli terhadap Komisi Fatwa MUI untuk menerbitkan fatwa.
Padahal dalam sistem hukum yang berlaku berdasarkan UUD 1945, kewenangan untuk menerbitkan fatwa hanya berada di cabang kekuasan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung RI.
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya