Share

Bayi di Brasil Meninggal Dunia Akibat Covid-19 Kian Melonjak, Kok Bisa?

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis · Jum'at 16 April 2021 05:38 WIB
https: img.okezone.com content 2021 04 16 18 2395533 bayi-di-brasil-meninggal-dunia-akibat-covid-19-kian-melonjak-apa-sebabnya-XoNZ5OU5Es.jpg Jessika Ricarte (Foto: BBC)
A A A

LEBIH dari setahun sejak pandemi terjadi, angka kematian di Brasil kini mencapai puncaknya. Namun, meskipun ada banyak bukti bahwa Covid-19 jarang menyebabkan anak-anak meninggal, di Brasil 1.300 bayi telah meninggal karena virus corona. 

Seorang dokter menolak untuk melakukan tes Covid-19 pada putra Jessika Ricarte yang baru berusia satu tahun. Dokter itu mengatakan bahwa gejalanya tidak cocok dengan profil virus. Dua bulan kemudian, sang putra meninggal karena komplikasi dari penyakit itu.

Jessika sulit mendapat anak, dan pernah berusaha selama dua tahun. Jessica Ricarte sudah menyerah bisa punya anak namun kemudian dia hamil dan memberi nama bayinya Lucas.

"Namanya berarti cahaya. Dan dia cahaya dalam hidup kami. Dia menunjukkan bahwa kebahagiaan itu jauh lebih besar dari yang kita bayangkan," ungkapnya.

Jessika pertama kali menyadari ada yang salah ketika Lucas, yang makannya selalu banyak, kehilangan selera makan.

Awalnya dia menduga Lucas sedang tumbuh gigi. Ibu baptis Lucas, seorang perawat, mengatakan dia mungkin hanya sakit tenggorokan. Namun, setelah dia menderita demam, kemudian kelelahan, dan kesulitan bernapas, Jessika membawanya ke rumah sakit, dan meminta supaya dia dites untuk Covid-19. 

"Dokter memasang oximeter. Level oksigen Lucas 86%. Saya tahu itu tidak normal," kata Jessika.

Tetapi dia tidak demam, jadi dokter berkata: "Ibu, jangan khawatir. Tidak perlu tes Covid. Ini mungkin cuma sakit tenggorokan ringan."

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Dia menjelaskan kepada Jessika bahwa anak-anak jarang terkena Covid-19, memberinya antibiotik, dan mengirimnya pulang. Meskipun Jessika masih khawatir, tidak ada opsi untuk tes mandiri waktu itu.

Jessika mengatakan sebagian gejala Lucas mereda setelah 10 hari diberi antibiotik, namun dia masih kelelahan - dan sang ibu masih khawatir dia terinfeksi coronavirus.

"Saya mengirim beberapa video ke ibu baptisnya, orangtua saya, ibu mertua saya, dan semuanya bilang saya berlebihan, saya harus berhenti menonton berita, dan [virus corona] membuat saya paranoid. Tetapi saya tahu ada yang tidak beres dengan anak saya, dia tidak bernapas dengan normal."

Itu terjadi Mei 2020, dan pandemi virus corona semakin liar. Dua orang telah meninggal di kota Jessika, Tamboril di Ceara, Brasil timur laut. "Semua orang saling mengenal di sini. Seluruh kota syok."

Suami Jessika Israel khawatir bahwa kunjungan ke rumah sakit akan meningkatkan risiko istri dan anaknya terinfeksi virus. Namun minggu-minggu berlalu, dan Lucas menjadi semakin sering mengantuk. Akhirnya, pada 3 Juni, Lucas muntah berkali-kali setelah makan siang, dan Jessika tahu dia harus bertindak.

Mereka kembali ke rumah sakit, dan dokter melakukan tes Covid-19 kepada Lucas, untuk memastikan dia tidak terinfeksi. Ibu baptis Lucas, yang bekerja di sana, memberi tahu Jessika dan suaminya bahwa hasil tes Lucas positif.

"Waktu itu, rumah sakit bahkan tidak punya resusisator," kata Jessika.

Lucas dipindahkan ke unit perawatan intensif pediatri di Sobral, lebih dari dua jam perjalanan jauhnya, tempat dia didiagnosis dengan kondisi yang disebut multi-system inflammatory syndrome (MIS).

Sindrom tersebut disebabkan respons imun ekstrem terhadap virus, yang dapat mengakibatkan inflamasi pada organ vital.

Para pakar mengatakan MIS, yang dapat diderita anak-anak hingga enam pekan setelah mereka terinfeksi virus corona, jarang terjadi, namun epidemiolog Dr. Fatima Marinho dari Universitas Sao Paolo berkata bahwa, selama pandemi, dia menemukan lebih banyak kasus MIS daripada sebelumnya. Meski MIS bukan penyebab semua kematian.

Ketika Lucas diintubasi, Jessika tidak diizinkan berada di ruangan yang sama. Dia menelepon kakak mertuanya untuk mengalihkan perhatiannya.

"Kami masih bisa mendengar suara mesin, bip-bip-bip, sampai mesin berhenti dan hanya terdengar satu bunyi bip yang konstan. Dan kami tahu itu terjadi ketika seseorang meninggal. Setelah beberapa menit, mesin mulai bekerja kembali dan saya mulai menangis."

Dokter berkata Lucas mengalami serangan jantung, namun mereka berhasil menyelamatkannya.

Dr. Manuela Monte, dokter pediatri yang merawat Lucas selama lebih dari sebulan di ICU di Sobral, mengaku terkejut ketika mengetahui kondisi bayi itu begitu serius, mengingat dia tidak memiliki faktor risiko.

Kebanyakan anak-anak yang terkena Covid memiliki penyakit bawaan seperti diabetes atau penyakit kardiovaskular, atau kegemukan, menurut Lohanna Tavares, infektolog petiatri di Rumah Sakit Anak Albert Sabin di Fortaleza, ibu kota negara bagian.

Tetapi Lucas berbeda.

Selama 33 hari Lucas dirawat di ICU, Jessika hanya diizinkan untuk menjenguknya tiga kali. Lucas butuh immunoglobulin - obat yang sangat mahal - untuk menurunkan detak jantungnya, tapi untungnya seorang pasien dewasa yang telah membeli obat itu dengan duit pribadi mendonasikan satu ampul sisa ke rumah sakit.

Sakit Lucas begitu parah hingga dia menerima dosis kedua immunoglobulin. Muncul ruam di tubuhnya dan demamnya tak turun-turun. Dia butuh bantuan untuk bernapas.

Kemudian kondisi Lucas mulai membaik dan dokter memutuskan untuk melepas tabung oksigen. Mereka mengabari Jessika dan Israel lewat video-call supaya Lucas tidak merasa sendirian ketika dia sadar.

"Ketika dia mendengar suara kami, dia mulai menangis," kata Jessika.

Itu terakhirnya mereka melihat reaksi putra mereka. Dalam video-call berikutnya "dia tampak lumpuh". Rumah sakit meminta agar dilakukan CT scan dan menemukan bahwa Lucas telah mengalami stroke.

Tetap saja, Jessika dan Israel diberi tahu bahwa Lucas akan sembuh dengan perawatan yang tepat dan tak lama lagi akan dipindahkan dari ICU ke bangsal umum.

Ketika Jessika dan Israel pergi mengunjunginya, dokter sama berharapnya dengan mereka, katanya.

"Malam itu, saya menyetel ponsel saya dalam mode silent. Saya bermimpi Lucas mendatangi saya dan mencium hidung saya. Dan dalam mimpi itu saya merasakan cinta yang luar biasa, serta rasa syukur, dan saya bangun dengan perasaan bahagia. Kemudian saya mengecek ponsel saya dan melihat 10 panggilan dari dokter."

Dokter memberi tahu Jessika bahwa detak jantung dan kadar oksigen Lucas tiba-tiba turun, dan dia meninggal pagi itu.

Jessika merasa yakin bahwa jika Lucas diberi tes Covid-19 ketika dia memintanya pada awal Mei, dia akan selamat.

"Penting bagi dokter, meskipun mereka yakin itu bukan Covid, melakukan tes untuk mengeliminasi kemungkinan," katanya.

"Seorang bayi tidak mengatakan apa yang dia rasakan, jadi kami bergantung pada tes."

Jessika percaya, keterlambatan penanganan yang tepat membuat kondisi Lucas semakin serius. "Lucas mengalami beberapa peradangan, 70% paru-parunya rusak, detak jantungnya meningkat 40%. Itu situasi yang bisa dihindari."

Dr. Monte, yang merawat Lucas, setuju. Dia mengatakan bahwa meskipun MIS tidak dapat dicegah, pengobatan akan jauh lebih sukses jika kondisi tersebut didiagnosis dan diobati lebih awal.

"Semakin awal dia menerima perawatan khusus, semakin baik," katanya. "Dia tiba di rumah sakit dalam keadaan kritis. Saya yakin hasilnya akan berbeda jika kita bisa merawatnya lebih awal."

Jessika sekarang ingin berbagi cerita Lucas untuk membantu orang lain yang mungkin melewatkan gejala kritis.

"Setiap anak yang saya kenal diselamatkan oleh suatu peringatan dan ibunya berkata: 'Saya melihat tulisan Anda, saya membawa putra saya ke rumah sakit dan sekarang dia sudah rumah.' Seolah-olah itu adalah Lucas," katanya.

"Saya telah melakukan untuk orang-orang ini apa yang saya harap mereka lakukan untuk saya. Jika saya memiliki informasi [ketika Lucas masih hidup], saya akan lebih berhati-hati."

Ada kesalahpahaman bahwa anak-anak tidak berisiko terkena Covid-19, kata Dr Fatima Marinho, yang juga penasihat senior di LSM kesehatan internasional Vital Strategies. Penelitian Marinho menemukan bahwa sangat banyak anak dan bayi yang terkena virus tersebut.

Antara Februari 2020 dan 15 Maret 2021, Covid-19 menewaskan sedikitnya 852 anak-anak Brasil hingga usia sembilan tahun, termasuk 518 bayi di bawah usia satu tahun, menurut angka dari Kementerian Kesehatan Brasil. Namun Dr. Marinho memperkirakan bahwa jumlah sebenarnya lebih dari dua kali lipat, mengingat ada banyak kasus yang tidak terlaporkan karena kurangnya jumlah tes.

Dr Marinho menghitung ekses kematian akibat sindrom pernapasan akut yang tidak dipastikan selama pandemi, dan mendapati bahwa ada 10 kali lebih banyak kematian akibat sindrom pernapasan yang tidak dapat dijelaskan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dengan menjumlahkan angka-angka tersebut, dia memperkirakan virus corona sebenarnya menewaskan 2.060 anak di bawah sembilan tahun, termasuk 1.302 bayi.

Mengapa ini terjadi?

Para pakar mengatakan banyaknya kasus Covid-19 di Brasil - terbanyak kedua di dunia - meningkatkan kemungkinan bayi dan anak kecil di negara itu terkena.

"Tentu saja, semakin banyak kasus yang muncul dan, akibatnya, semakin banyak yang dirawat di rumah sakit, semakin besar jumlah kematian di semua kelompok umur, termasuk anak-anak.

"Akan tetapi jika pandemi terkendali, skenario ini jelas bisa diminimalkan," kata Renato Kfouri, presiden Departemen Saintifik Imunisasi di Perhimpunan Dokter Anak Brasil.

Tingkat infeksi yang begitu tinggi telah membuat sistem kesehatan Brasil kewalahan. Di seluruh negeri, suplai oksigen menipis, terjadi kekurangan obat-obatan dasar, dan di banyak ICU di seluruh negeri sudah tidak ada lagi tempat tidur yang kosong.

Presiden Brasil Jair Bolsonaro terus menentang lockdown, dan tingkat infeksi didorong oleh varian P.1 yang muncul di Manaus, di Brasil utara, tahun lalu, dan diduga jauh lebih menular. Jumlah orang meninggal bulan lalu dua kali lipat dari bulan lainnya selama pandemi, dan trennya terus meningkat.

Masalah lain yang mendorong tingkat Covid-19 pada anak-anak adalah kurangnya tes.

Marinho mengatakan bahwa untuk anak-anak seringkali diagnosis Covid datang terlambat, padahal mereka sudah sakit parah.

"Kami punya masalah serius dalam deteksi kasus. Kami tidak punya cukup tes untuk masyarakat umum, apalagi untuk anak-anak. Karena ada keterlambatan dalam diagnosis, ada keterlambatan dalam perawatan anak," katanya.

Ini bukan hanya karena kapasitas pengujian yang tidak memadai, tetapi juga karena lebih mudah untuk melewatkan, atau salah mendiagnosis, gejala pada anak-anak yang menderita Covid-19 karena penyakit ini cenderung menimbulkan gejala berbeda pada anak muda.

"Seorang anak lebih banyak mengalami diare, sakit perut, dan nyeri dada, daripada gambaran klasik Covid-19. Karena ada keterlambatan diagnosis, ketika anak tiba di rumah sakit mereka sudah dalam kondisi serius dan akhirnya bisa mengalami komplikasi - dan meninggal," ujarnya.

Tetapi persoalan ini juga tentang kemiskinan dan akses ke perawatan kesehatan.

Sebuah studi observasi terhadap 5.857 pasien Covid-19 di bawah usia 20 tahun, yang dilakukan oleh tim dokter anak di Brasil dan dipimpin Braian Sousa dari sekolah kedokteran São Paolo, mengidentifikasi komorbiditas dan kerentanan sosial ekonomi sebagai faktor risiko untuk kondisi terparah Covid-19 pada anak-anak.

Marinho setuju dua hal tersebut adalah faktor penting. "Yang paling rentan adalah anak-anak kulit hitam, dan mereka dari keluarga yang sangat miskin, karena mereka paling sulit mendapatkan bantuan. Mereka adalah anak-anak yang paling berisiko meninggal."

Dia mengatakan itu karena kondisi perumahan yang padat tidak memungkinkan untuk menjaga jarak saat terinfeksi, dan karena komunitas miskin tidak memiliki akses ke ICU setempat.

Anak-anak ini juga berisiko mengalami malnutrisi, yang "buruk bagi respons kekebalan", kata Marinho. Ketika subsidi Covid-19 dihentikan, jutaan orang kembali jatuh ke dalam kemiskinan. "Jumlah orang di bawah garis kemiskinan dari 7 juta meningkat jadi 20 juta dalam satu tahun. Jadi banyak orang juga kelaparan. Semua ini berdampak pada kematian."

Sousa mengatakan studinya mengidentifikasi kelompok risiko tertentu di antara anak-anak yang harus diprioritaskan untuk vaksinasi. Saat ini, belum ada vaksin yang tersedia untuk anak di bawah usia 16 tahun.

Kunjungan kerabat ke anak-anak di ICU telah dibatasi sejak awal pandemi, karena kekhawatiran akan infeksi.

Dr Cinara Carneiro, seorang dokter ICU di Rumah Sakit Anak Albert Sabin, mengatakan hal ini sangat menantang, tidak hanya karena orang tua adalah penghibur bagi anak-anak mereka, tetapi juga karena mereka dapat membantu secara klinis - mereka dapat mengetahui kapan anak mereka merasakan sakit atau tekanan psikologis dan saat mereka lebih membutuhkan ketenangan daripada pengobatan.

Dan dia mengatakan ketika orang tua mendengar kondisi anak mereka memburuk, dan mereka tidak hadir untuk menyaksikannya, itu akan memperburuk trauma mereka.

"Sungguh menyakitkan ketika melihat seorang anak meninggal tanpa melihat orang tuanya," kata Dr Carneiro.

Dalam upaya meningkatkan komunikasi antara orang tua dan anak-anak mereka, para staf di rumah sakit Albert Sabin urunan untuk membeli ponsel dan tablet guna memfasilitasi video call.

Dr Carneiro mengatakan ini sangat membantu. "Kami telah melakukan lebih dari 100 video call antara anggota keluarga dan pasien. Kontak ini telah sangat mengurangi stres."

Para ilmuwan menekankan bahwa risiko kematian pada kelompok usia ini masih "sangat rendah" - angka saat ini menunjukkan hanya 0,58% dari 345.287 kematian akibat Covid di Brasil sejauh ini terjadi pada anak usia 0-9 tahun - tetapi itu saja jumlahnya lebih dari 2000 anak.

"Jumlahnya sangat mengerikan," kata Dr Carneiro.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini