Share

Kisah KH Noer Ali, Pendakwah dari Bekasi sekaligus Pahlawan Nasional Pengusir Penjajah

Tim Okezone, Jurnalis · Selasa 14 Desember 2021 09:24 WIB
https: img.okezone.com content 2021 12 14 614 2516605 kisah-kh-noer-ali-pendakwah-dari-bekasi-sekaligus-pahlawan-nasional-pengusir-penjajah-gRpsuF806d.jpg KH Noer Ali pahlawan nasional asal Bekasi. (Foto: Wordpress)
A A A

INILAH kisah Kiai Haji Noer Ali, pendakwah ajaran agama Islam asal Bekasi sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia. Berkat pengorbanannya, nama KH Noer Ali kini diabadikan sebagai nama sebuah jalan di Bekasi.

KH Noer Ali sejak tahun 2006 silam resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional pejuang kemerdekaan. Ia lahir di Bekasi, Jawa Barat, pada 15 Juli 1914. KH Noer Ali adalah putra dari pasangan Anwar bin Haji Layu dan Maimunah binti Tarbin.

Baca juga: Viral Kakek Sholat di Pojok Tangga Rumah Sakit, Alasannya Bikin Terharu Banget 

KH Noer Ali. (Foto: Wordpress)

Dirinya mendapat pendidikan agama Islam dari sejumlah guru di sekitar Bekasi. Pada 1934, dia menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama Islam kemudian enam tahun bermukim di Kota Makkah.

Dikutip dari buku 'Biografi KH Noer Ali, Singa Karawang-Bekasi' karya AM Fatwa, perjuangan KH Noer Ali melawan serdadu penjajah terekam jelas melalui kisah heroik yang terjadi di tanah Bekasi, tepatnya di wilayah Pondok Ungu. Peristiwa itu bermula dari Pesawat Dakota Sekutu yang mendarat darurat di Cakung pada 23 November 1945.

Baca juga: Cerita Mualaf Maria, Ajak Anak-Anak Masuk Islam dan Pakai Hijab malah Dituduh Pemaksaan 

Terhitung tentara Inggris berjumlah 25 orang kala itu akhirnya pulang tinggal nama dihabisi pejuang Bekasi. Sepekan berselang yakni pada 29 November, pasukan penjajah masuk ke Bekasi dari Jakarta dengan kekuatan Pasukan Punjab ke-1/16, Pasukan Perintis ke-13, Resimen Medan ke-37, Detasemen Medan ke-69, serta Kavaleri FAVO ke-11 dibersamai dengan 50 truk, beberapa Tank Stuart, dan 5 artileri medan.

Berangkat dari Jakarta, mereka menyusuri Beraksiweg (kini Jalan Raya Bekasi). Namun, sesampainya di Rawa Pasung (Kranji), mereka sempat lebih dulu dikejutkan serangan man-to-man kelompok pesilat asal Subang.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Kalah telak karena banyaknya serdadu mereka yang telah dilumpuhkan, Inggris memutuskan balik ke arah Jakarta. Namun, baru saja sampai di Pertigaan Pondok Ungu (kini Jalan Sultan Agung), mereka kembali disergap dengan penyerangan dari para pendekar Bekasi.

Tidak disangka, skalanya lebih besar hingga sekutu pun kewalahan melawan serangan yang dipimpin oleh Kiai Noer Ali dan TKR Laut di bawah komando Kapten Madmuin Hasibuan. Sergapan besar dari arah Kampung Sasak Kapuk itu membuat sekutu mati kutu dan harus mengatur ulang pertahanan mereka.

Baca juga: Jadwal Sholat Hari Ini, Selasa 14 Desember 2021M/9 Jumadil Awal 1443H 

Setelah mampu bangkit menyusun strategi pertahanannya, barulah Inggris melakukan serangan balik dengan membanjiri pasukan Kiai Noer Ali dengan peluru-peluru mortar dan meriam. Di sinilah banyak rakyat dan murid-murid dari Kiai Noer Ali berguguran.

Keberhasilan akan serangan balik dari Inggris ini yang akhirnya membuat mereka mampu bergerak mundur kembali ke Jakarta. Sejak tragedi itu, Kiai Noer Ali tak pernah lagi melibatkan pasukannya dalam pertempuran frontal dan memilih mengandalkan perang gerilya.

Baca juga: Bacaan Zikir Pagi Hari Ini, Selasa 14 Desember 2021M/9 Jumadil Awal 1443H 

"Iya, sejak pertempuran Sasak Kapuk atau Pertempuran Pondok Ungu ini, Kiai Noer Ali belajar dari pengalaman. Enggak mau lagi bertempur secara frontal dan pilih metode perang gerilya," ungkap sejarawan Bekasi Beny Rusmawan kepada Okezone beberapa waktu lalu.

Peristiwa berdarah yang tidak kalah sengit ialah pembantaian Rawagede yang memakan korban lebih dari 40 orang. Tragedi ini berawal dari perang urat saraf antara KH Noer Ali yang memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawagede, untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil terbuat dari kertas.

Ribuan bendera tersebut ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat di tengah-tengah kekuasaan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Akibat aksi sang kiai, Belanda murka dan mengira pemasangan bendera merah-putih diinisiasi oleh TNI. Pasukan Belanda lantas mencari Mayor Lukas Kustaryo, namun hasilnya nihil. Belanda yang kadung naik pitam langsung membantai sekira 400 orang warga sekitar Rawagede yang dikenal dalam laporan De Exceseen Nota.

Baca juga: Humor Gus Baha: Abu Nawas Bikin Raja Tidur Pakai Cerita Amburadul 

Nota Ekses itu baru dikeluarkan 20 tahun setelah peristiwa Rawagede. Kendati pada Januari 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah berkesimpulan aksi militer di Rawagede disengaja dan tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Pembantaian keji ini baru diakui dunia pada Rabu 14 September 2011 melalui putusan Pengadilan Den Haag yang mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian bagi sekira 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah tersebut.

Baca juga: Cerita Tukang Sihir Firaun Takut dengan Ular Nabi Musa, Langsung Sujud dan Beriman kepada Allah Ta'ala 

Pada 19 April 1950, KH Noer Ali juga sempat menjabat Ketua Masyumi Cabang Jatinegara, nama Kota Bekasi saat itu. Ia mengalami puncak karier politiknya pada tahun 1958, di mana saat itu dirinya terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante menggantikan Sjafruddin Prawiranegara yang mengudurkan diri.

Selain di kancah politik, KH Noer Ali juga aktif di bidang sosial dan pendidikan. Dia menggagas pembentukan Lembaga Pendidikan Islam (LPI) yang salah satu programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) di Jakarta dan Jawa Barat.

Dalam empat tahun, SRI sudah terbentuk di tujuh desa yaitu di Pulo Asem, Wates, Buni Bhakti, Pondok Soga, Penggarutan, Gabus Pabrik, dan Kali Abang Bungur dengan proses belajar mengajar yang sangat sederhana yakni memanfaatkan rumah, langgar, sampai bekas kandang kerbau yang sudah tidak terpakai.

Berlanjut pada tahun 1953, KH Noer Alie membentuk organisasi pendidikan dengan nama Pembangunan Pemeliharaan Pertolongan Islam (P3) yang dijadikan induk bagi SRI, pesantren dan kegiatan sosial.

Baca juga: Istri Jangan Marahi Suami yang Banyak Kekurangan, Ini Dosa yang Diterima Menurut Syekh Ali Jaber 

Berkat jasanya yang begitu besar terhadap bangsa dan negara, akhirnya pada 9 November 2006 KH Noer Ali dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden: Keppres Nomor 085/TK/2006, tertanggal 3 November 2006.

Pemerintah Republik Indonesia juga menganugerahi KH Noer Ali Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. Nama KH Noer Ali kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat.

Wallahu a'lam bishawab.

Baca juga: Kisah Wali Songo, Mengembangkan Ajaran Islam Melalui Kerajaan hingga Pesantren 

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini