Share

2 Hak Bersama Suami-Istri dalam Perkawinan

Tim Okezone, Jurnalis · Jum'at 24 Desember 2021 13:58 WIB
https: img.okezone.com content 2021 12 24 330 2522035 2-hak-bersama-suami-istri-dalam-perkawinan-zafjGebKQK.jpg Ilustrasi hak bersama suami-istri dalam perkawinan. (Foto: Shutterstock)
A A A

HAK bersama suami-istri dalam perkawinan hendaknya diketahui setiap Muslim. Tujuannya supaya tidak ada hak atau kewajiban yang terabaikan. Ditakutkan, hal tersebut justru berujung pada timbulnya dosa.

Pasangan suami-istri memang hendaknya mengetahui hak serta kewajiban masing-masing. Pasalnya, hal tersebut berbeda antara suami dan istri. Keduanya bersifat saling melengkapi.

Nah, apa saja hak bersama suami-istri dalam perkawinan yang patut diketahui kaum Muslimin? Berikut ini penjelasan Ustadz Muhammad Tatam Wijaya, petugas pembantu pencatat pernikahan (P4) KUA Sukanagara, Cianjur, seperti dikutip dari NU Online, Jumat (24/12/2021).

Baca juga: 4 Kriteria Memilih Pasangan Hidup Menurut Rasulullah 

1. Hak pergaulan suami-istri yang halal dan makruf menurut syariat

Secara spesifik, hak pergaulan suami-istri adalah terpenuhinya kebutuhan biologis dan terjaganya kehormatan diri dari perbuatan haram. Sebab walau bukan satu-satunya faktor, terpenuhinya kebutuhan ini melahirkan ketenangan batin dan kebahagian rumah tangga sehingga suami maupun istri harus berusaha memenuhi kewajiban masing-masing karena kewajiban itu merupakan hak bagi pasangannya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kewajiban ini. Ulama Maliki berpendapat suami diwajibkan mengajak istrinya berhubungan badan selama tidak ada halangan dan kapan pun membutuhkannya.

Ulama Syafi’i menyebut kewajiban berhubungan badan ini hanya satu kali, sedangkan selebihnya adalah sunah dan mubah. Pasalnya yang mendorong hubungan badan adalah syahwat atau hasrat seksual sehingga bagaimana mungkin diwajibkan. Kendati hukumnya sunah, ulama Syafi’i setuju bahwa hubungan badan dilakukan selain untuk kemaslahatan suami-istri juga demi menolak mafsadat bagi keduanya. Sedangkan menolak kerusakan hukumnya wajib.

Sementara menurut ulama Hanbali, suami berkewajiban mengajak istrinya berhubungan badan setidaknya 4 bulan sekali jika tidak ada halangan. Sebab, menyalurkan kebutuhan biologis adalah hak suami dan istri. Jika selama 4 bulan, suami menolak memberikan nafkah batin ini tanpa alasan, maka keduanya boleh dipisahkan melalui talak sebagaimana dipisahkan karena alasan ila' atau menolak nafkah zahir.

Baca juga: Sempat Jadi TKI, Pria Asal Kalimantan Ini Sekarang Sukses Bisnis Properti Vila di Arab Saudi 

Pendapat yang lain mengatakan bahwa kewajiban suami mengajak berhubungan badan sedikitnya adalah setiap masa suci, berdasarkan ayat:

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

Artinya: "Janganlah kamu mendekati mereka (wanita haidh), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (QS Al Baqarah: 222)

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Selain itu, baik suami maupun istri juga berhak mendapat pergaulan atau perlakuan yang makruf. Dengan kata lain, memberi perlakuan yang baik menjadi kewajiban masing-masing. Keseimbangan hak dan kewajiban itu juga sudah ditegaskan dalam Al-Quran, "Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf." (QS Al Baqarah: 228).

Namun, lanjutan ayat tersebut menyatakan bahwa para suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari istri karena tanggung jawabnya terhadap keluarga.

Baca juga: 10 Kesalahan ketika Wudhu yang Bisa Batalkan Sholat, Wajib Dihindari 

Selanjutnya, kewajiban suami memperlakukan istri secara makruf juga ditetapkan dalam surah Al-Quran berikut ini:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya: "Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS An-Nisa: 19)

Termasuk perlakuan makruf suami adalah tidak melakukan ‘azal atau mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri kecuali atas seizinnya. Ini artinya, jika tidak diinginkan istri, ‘azal tidak diperbolehkan, apalagi menggaulinya di saat haid atau melalui anus karena jelas-jelas melanggar hukum syariat. (Lihat: Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 153).

Baca juga: Kisah Haru Putri Raja Bali Jadi Mualaf, ketika Wafat Mengeluarkan Asap Harum 

Adapun kewajiban istri memperlakukan suaminya secara makruf salah satunya didasari hadis riwayat Imam Ahmad dari sahabat Mu‘adz ibn Jabal. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam bersabda:

لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ؛ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Artinya: "Tidaklah seorang perempuan menyakiti suaminya di dunia kecuali istrinya dari kalangan bidadari akan berkata: 'Janganlah kau menyakitinya. Semoga Allah membalasmu. Dia adalah tamumu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan menjumpai kami'." (HR Ahmad) (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6844-6847)

2. Hak mahram

Ketika seorang laki-laki melangsungkan akad nikah, maka ibu mertuanya langsung menjadi mahramnya tanpa menunggu hubungan badan. Demikian pula ketika seorang laki-laki yang anak laki-lakinya melangsungkan akad nikah, maka menantu perempuannya langsung menjadi mahram. Atau ketika seorang laki-laki yang ayahnya melangsungkan akad nikah, maka ibu tirinya langsung menjadi mahram.

Baca juga: Uji Coba Pelaksanaan Umrah, Amphuri Berangkatkan Tim Pendahulu ke Arab Saudi 

Alhasil, ketiga baris mahram ini yakni mertua, menantu, dan ibu tiri menjadi mahram tanpa menunggu hubungan badan. Sementara anak tiri perempuan akan menjadi mahram setelah ada hubungan badan dengan ibu anak tiri tersebut.

فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ وَفُرُوعُهَا وَإِنْ نَزَلَتْ فَإِنَّهُنَّ لاَ يَحْرُمْنَ إِلاَّ بِالدُّخُول بِالزَّوْجَةِ

Artinya: "Para ulama fikih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri atau anak tiri serta anak-cucunya, meski terus ke bawah. Mereka tidak menjadi mahram kecuali setelah ada hubungan badan dengan istrinya (maksud istri di sini ibu dari anak tiri)." (Lihat Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXVII, halaman 368)

Pertanyaannya, mengapa ibu mertua, misalnya, langsung menjadi marham menantu laki-lakinya walaupun baru sekadar akad, sedangkan seorang anak perempuan tidak langsung menjadi mahram sampai ayah tirinya berhubungan badan dengan ibunya?

Baca juga: Ribuan Mata Uang Islam Dipamerkan di Arab Saudi, Berasal dari Dinasti Umayyah hingga Ottoman 

Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al Hishni menjawab, karena seorang laki-laki yang sudah menikah biasanya dituntut untuk berinteraksi dengan ibu mertuanya walaupun baru selesai akad. Maka itu, seorang ibu mertua langsung dijadikan mahram dengan menantu laki-lakinya agar keduanya memungkinkan berkomunikasi lebih longgar. (Lihat Kifayatul Akhyar, jilid I, halaman 364)

Demikian dua hak bersama suami-istri dalam perkawinan. Wallahu a'lam bishawab.

1
3

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini