Share

Kisah Milkul Yamin, Hubungan Intim Tanpa Perkawinan dalam Kajian Fiqih

Tim Okezone, Jurnalis · Kamis 13 Januari 2022 13:09 WIB
https: img.okezone.com content 2022 01 13 614 2531602 kisah-milkul-yamin-hubungan-intim-tanpa-perkawinan-dalam-kajian-fiqih-YkmjyQNx7w.jpg Ilustrasi kisah milkul yamin atau hubungan intim tanpa perkawinan dalam kajian fiqih. (Foto: Shutterstock)
A A A

HUBUNGAN intim tanpa perkawinan dalam kajian fiqih berdasarkan ikatan milkul yamin kini ingin diketahui banyak orang. Pasalnya, mayoritas masyarakat belum mengetahui definisi lengkapnya. Benarkah ikatan itu memperbolehkan hubungan intim laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan?

Dikutip dari nu.or.id, Kamis (13/1/2022), Ustadz M Tatam Wijaya, alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi sekaligus pembina Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat, menerangkan sesungguhnya milkul yamin adalah akad atau hubungan kepemilikan seorang tuan terhadap budak atau hamba sahaya, baik budak yang diperoleh dari peperangan, dari hasil pembelian, maupun sebab kepemilikan lainnya yang dibenarkan syariat. Sehingga dengan akad atau hubungan ini, seorang pemilik budak perempuan diperbolehkan berhubungan intim dengan budak perempuannya dengan beberapa ketentuan.

Baca juga: Cerita Mualaf Sukses Miliki 50 Toko Berkat Bacaan Bismillah Ibunya 

Demikian sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama fiqih. Antara lain yang dapat lihat dalam petikan berikut ini.

فَلاَ يَحِل لِرَجُلٍ أَنْ يَطَأَ امْرَأَةً فِي غَيْرِ زَوَاجٍ إِلاَّ بِأَنْ يَكُونَ مَالِكًا لَهَا؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

Artinya: "Tidak halal bagi seorang laki-laki berhubungan intim dengan seorang perempuan tanpa nikah kecuali laki-laki itu adalah pemilik bagi perempuan tersebut (milk al-yamin), berdasarkan ayat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas, (QS Al-Mukminun: 5–7)" (Lihat: Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid 11, halaman 298)

Baca juga: Jadwal Sholat Hari Ini, Kamis 13 Januari 2022M/10 Jumadil Akhir 1443H 

Dengan milk al-yamin, seorang tuan boleh berhubungan intim dengan budak perempuannya —yang kemudian disebut dengan sariyah— tanpa mengadakan akad nikah. Bahkan, sekiranya ia melakukan akad nikah, maka akad nikahnya tidak sah. Ini bukan berarti si tuan berhubungan intim tanpa akad atau ikatan longgar suka sama suka. Justru yang membolehkan hubungan itu sendiri adalah akad milik, yang disebutkan oleh para ulama fiqih statusnya lebih kuat daripada akad pernikahan. Sebab akad milkul yamin, selain melahirkan hak manfaat, juga melahirkan hak untuk hubungan intim.

مِلْكُ السَّيِّدِ لأِمَتِهِ يُبِيحُ لَهُ وَطْأَهَا دُونَ عَقْدٍ: لاَ يَحْتَاجُ وَطْءُ السَّيِّدِ لأِمَتِهِ إِلَى إِنْشَاءِ عَقْدِ زَوَاجٍ، وَلَوْ عَقَدَ النِّكَاحَ لِنَفْسِهِ عَلَى مَمْلُوكَتِهِ لَمْ يَصِحَّ النِّكَاحُ، وَلَمْ تَكُنْ بِذَلِكَ زَوْجَةً. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: لأِنَّ مِلْكَ الرَّقَبَةِ يُفِيدُ مِلْكَ الْمَنْفَعَةِ وَإِبَاحَةَ الْبُضْعِ، فَلاَ يَجْتَمِعُ مَعَهُ عَقْدٌ أَضْعَفُ مِنْهُ. وَلَوْ كَانَ الْحُرُّ مُتَزَوِّجًا بِأَمَةٍ، ثُمَّ مَلَكَ زَوْجَتَهُ الأْمَةَ انْفَسَخَ نِكَاحُهَا مِنْهُ.

Artinya: "Kepemilikan seorang tuan terhadap budak perempuannya membolehkan hubungan badan dengan budak tersebut tanpa akad. Artinya, hubungan intim si tuan dengan budak tersebut tidak membutuhkan akad nikah. Sekiranya, ia mengadakan akad nikah untuk dirinya dengan budak tersebut, maka akad nikahnya tidak sah. Dan dengan akad nikah itu, si budak tak berubah statusnya menjadi istri. Menurut Ibnu Qudamah, pasalnya kepemilikan budak melahirkan kepemilikan manfaat sekaligus kebolehan bergaul (hubungan intim). Maka tidak boleh berkumpul dengan akad nikah, suatu akad yang lebih lemah darinya. Sehingga bila seorang laki-laki merdeka menikah dengan seorang budak perempuan (yang bukan miliknya), kemudian budak yang dinikah itu dijadikan budak miliknya, maka batallah pernikahannya (karena tergeser akad milik)." (Lihat: Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid 11, halaman 297)

Namun, milkul yamin tidak serta merta membolehkan hubungan intim. Masih ada sejumlah ketentuan lain. Oleh karena itu, para ulama menguraikannya, mulai dari asal-usul kepemilikan (milkul yamin) budak tersebut hingga di saat si budak tersebut melahirkan anak dari tuannya.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Pertama: Kebolehan seorang tuan berhubungan intim dengan budak perempuannya, disyaratkan budak tersebut adalah milik penuh, bukan milik bersama dengan orang lain (kongsi), baik dimiliki langsung dari hasil peperangan, pembelian, pemberian, dan sebab-sebab kepemilikan lain yang dibenarkan oleh syariat, bukan hasil curian atau rampasan.

Namun, menurut ‘Ali al-Shabuni kepemilikan budak dari hasil peperangan melawan orang-orang kafir diutamakan, berdasarkan seruan Allah kepada Nabi-Nya, Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki (milk al-yamin) dari apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, (QS al-Ahzab [33]: 50)

Baca juga: Bacaan Zikir Pagi Hari Ini, Kamis 13 Januari 2022M/10 Jumadil Akhir 1443H 

Adapun alasan mengapa budak yang diperoleh dari peperangan (ghanimah) lebih utama dari budak-budak perempuan yang diperoleh dengan cara lain, karena peperangan membutuhkan perjuangan besar dan mengalami kesulitan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan cara membeli, diberi, diwarisi, dan seterusnya (lihat: Syekh Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, [Kairo: Daru al-Shabuni], 1997, jilid 2, halaman 488)

Berdasarkan syarat tersebut juga dapat disimpulkan bahwa seorang laki-laki tidak boleh berhubungan intim dengan budak perempuannya yang dimiliki bersama-sama dengan orang lain, berapa pun kecilnya kepemilikan orang lain tersebut. Demikian pula budak yang statusnya setengah merdeka. Sebab dengan begitu, kepemilikannya tidak penuh. Hanya saja, jika terjadi hubungan intim antara si tuan dengan budak perempuan yang dimiliki bersama tidak dikenai hukuman zina, karena syubhat. Cukup dengan dijatuhi hukuman ta‘zir. Kemudian jika si budak hamil maka anaknya dinasabkan kepada tuannya tadi.

Selain itu, milkul yamin ini tidak berlaku sebaliknya. Artinya, seorang perempuan yang memiliki budak laki-laki, tidak boleh berhubungan intim dengannya hanya karena memilikinya. Tidak ada perdebatan tentang ini di kalangan ulama ahli fiqih.

Baca juga: Abu Nawas Divonis Mati Gara-Gara Buang Air Besar di Sungai, Kok Bisa? 

Kedua: Keberadaan budak perempuan beragama Islam atau kitabiyyah (Yahudi dan Nasrani) jika tuan yang memilikinya adalah Muslim. Sehingga jika budak itu beragama Majusi atau penganut paganisme tidak diperbolehkan bagi tuannya yang muslim walaupun terikat milkul yamin.

Ketiga: Di antara rahasia di balik kebolehan berhubungan intim dengan budak perempuan —pada zaman itu— adalah untuk menjaga kehormatan si pemilik budak; menjaga kehormatan si budak perempuan agar tidak cenderung kepada perbuatan nista (zina); dinasabkannya anak-anak dari budak perempuan kepada tuannya; dimerdekakannya anak-anak yang lahir dari pergaulan budak perempuan dengan tuannya; disandangkannya julukan “ummu walad” kepada budak perempuan tersebut setelah melahirkan anak; dan merdekanya budak perempuan tersebut setelah kematian tuannya.

Keempat: Berbeda dengan pernikahan, milkul yamin diperbolehkan menggabungkan antara seorang budak perempuan dengan saudara perempuannya, atau dengan anaknya, atau dengan ibunya, atau dengan bibinya. Begitu pula jika pernikahan dibatasi oleh jumlah, maka milkul yamin boleh memiliki budak perempuan yang dicampuri lebih dari empat selama tidak ada penghalang. Namun, itu sebatas dalam akad milkul yamin. Adapun jika si pemilik berlanjut pada hubungan intim, maka ada ketentuan lain. Di antaranya jika seorang tuan bergaul dengan salah seorang budak perempuan, maka tidak boleh menggauli anak atau ibu budak tersebut.

Baca juga: Alquran Surat Al Furqan Ayat 1-77 Lengkap Terjemahan, Arti, serta Keutamaannya 

Kelima: Budak perempuan yang digauli tidak ada hubungan mahram dengan tuannya, baik mahram muabbad maupun mahram muaqqat. Ini artinya, dengan milkul yamin, seorang laki-laki tidak boleh menggauli mahramnya, baik karena nasab, persusuan, maupun perkawinan, seperti ibu, anak perempuan, dan menantu. Bahkan, budak perempuan yang berstatus mahram tuannya, langsung merdeka walaupun baru sekadar dibeli.

Keenam: Setelah seorang laki-laki bergaul dengan seorang budak perempuan, maka baginya diharamkan menikahi ibu atau anak dari budak perempuan tersebut, layaknya yang diharamkan dalam pernikahan dengan perempuan merdeka.

Ketujuh: Budak perempuan itu bukan pula istri dari orang lain, tidak sedang menjalani masa iddah, tidak sedang masa istibra dari kehamilan (membuktikan kosongnya rahim).

Baca juga: Ini Biaya Termurah hingga Termahal Perjalanan Umrah Selama Pandemi Covid-19 

Kedelapan: Jika memiliki dua budak perempuan melalui akad milkul yamin, maka si tuan mereka boleh memilih salah satunya. Tidak boleh kedua-duanya, kecuali setelah dikeluarkan dari kepemilikannya seperti dijual atau dinikahkan dengan yang lain.

يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الأْخْتَيْنِ أَوْ نَحْوِهِمَا - كَالْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا - فِي مِلْكِ الْيَمِينِ، لَكِنْ إِنْ وَطِئَ إِحْدَاهُمَا حَرُمَتْ عَلَيْهِ الأْخْرَى تَحْرِيمًا مُؤَقَّتًا، فَلَوْ وَطِئَ الثَّانِيَةَ أَثِمَ، وَهَذَا قَوْل الْجُمْهُورِ، وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ تَحْرِيمَ الأْخْتَيْنِ الْمَنْصُوصَ عَلَيْهِ فِي قَوْله تَعَالَى: ]وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأْخْتَيْنِ [مُطْلَقٌ، فَيَدْخُل فِيهِ التَّحْرِيمُ بِالزَّوَاجِ وَبِمِلْكِ الْيَمِينِ.

Artinya: "Diperbolehkan menyatukan dua budak perempuan bersaudara, atau sejenisnya —seperti ia dengan bibinya— dalam milkul yamin. Namun, jika si tuan mencampuri salah satunya, maka yang lainnya haram sementara. Jika menggauli yang kedua, maka ia berdoa. Ini adalah pendapat jumhur. Mereka ber-istidlal dengan haramnya dua perempuan bersaudara sebagaimana telah ditetapkan dalam nash Alquran, sebagaimana firman Allah, Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara. (QS An-Nisa [4]: 23). Ini berlaku mutlak. Sehingga keharamannya masuk ke dalam pernikahan maupun milkul yamin” (Tim Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman, Al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Darus Salasil], 1427 H, jilid 11, halaman 299)

Masih ada beberapa ketentuan tentang sistem perbudakan dan pernikahan yang berkaitan dengan milkul yamin. Namun, inilah sekilas gambaran milkul yamin yang membolehkan hubungan intim tanpa ikatan pernikahan (akad nikah), tapi ikatan milik (akad milik) yang statusnya lebih kuat.

Terkait dengan milkul yamin ini, kita pun tak bisa melupakan sejarah bahwa praktik perbudakan itu memang pernah ada di muka bumi, bahkan diakui dalam syariat kita. Islam sendiri tak mungkin menghapus sistem itu secara sekaligus. Namun, kita yakin bahwa Alquran datang secara bertahap dengan semangat menghapus sistem itu.

Baca juga: Hukum Puasa pada Hari Jumat Saja, Ini Kata Ustadz Dr Firanda Andirja 

Baca juga: Terkait Kasus Ardhito Pramono, Ini 5 Dalil yang Jelaskan Haramnya Ganja 

Banyak ayat yang menunjukkan spirit Islam dalam memberantas sistem perbudakan, di antaranya ayat tentang pendistribusian zakat, yang salah satunya diperuntukkan untuk memerdekakan budak. Belum lagi dalam dimensi hukum lain. Kafarat akibat salah membunuh atau bersenggama siang hari di bulan Ramadhan, misalnya, di antara dendanya adalah memerdekakan budak.

Bahkan, hubungan intim sendiri antara seorang tuan dan budaknya, jika kemudian si budak melahirkan anak, anak itu harus dimerdekakan, serta si budak sendiri dimerdekakan setelah kematian tuannya. Islam juga memberi hak seseorang memperoleh warisan dari budak yang telah ia merdekakan.

Demikian semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishawab.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini