Share

Hukum Transplantasi Organ Babi pada Manusia, Ini Menurut Pandangan Islam

Tim Okezone, Jurnalis · Selasa 18 Januari 2022 08:13 WIB
https: img.okezone.com content 2022 01 18 330 2533737 hukum-transplantasi-organ-babi-pada-manusia-ini-menurut-pandangan-islam-0jT1W2W3Rw.jpg Ilustrasi hukum transplantasi organ babi pada manusia. (Foto: Shutterstock)
A A A

HUKUM transplantasi organ babi pada manusia sangat ingin diketahui banyak orang. Bagaimana menurut ajaran agama Islam? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

Dikutip dari nu.or.id, Selasa (18/1/2022), masalah ini ramai diperdebatkan setelah ahli bedah di New York memanfaatkan ginjal babi untuk ditransplantasi ke tubuh manusia pada awal Oktober 2021. Praktik ini ditempuh dengan pertimbangan keterbatasan ketersediaan organ manusia.

Baca juga: Abu Nawas Ungkap Jumlah Ikan di Laut dan Bintang di Langit, Gimana Cara Hitungnya? 

Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, merespons praktik transplantasi ginjal babi ke tubuh manusia dengan fatwa pada akhir Oktober 2021 yang mengharamkan pengobatan dengan benda najis kecuali dalam situasi darurat atau hajat setara darurat.

Jauh sebelum itu, masalah ini juga sudah dibahas oleh para kiai pada Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 4 Desember 1994 Masehi. Masalah ini diangkat untuk merespons penelitian ilmiah sebuah disertasi doktoral di Universitas Airlangga yang menyimpulkan bahwa tulang rawan babi dinilai efektif untuk mengganti gigi manusia.

Adapun hasil pengujian tim klinis RS Dr Sardjito Yogyakarta ketika itu membuktikan bahwa katup jantung babi paling sesuai sebagai pengganti katup jantung manusia. Pertanyaannya kemudian, bagaimana hukum transplantasi organ babi (khinzir) untuk menggantikan organ sejenis/lainnya pada manusia?

Baca juga: Tren Boneka Arwah, Ustadz Adi Hidayat Ungkap Hisab Berat untuk Pembuatnya 

Forum Muktamar Ke-29 NU memahami praktik transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu. Yang dimaksud organ ialah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.

Forum Muktamar Ke-29 NU itu memutuskan bahwa hukum transplantasi gigi dengan organ babi dan sejenisnya tidak boleh sebab masih banyak benda lain yang dapat digunakan sebagai pengganti dan karena belum sampai pada tingkat kebutuhan yang mendesak. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam NU, [Jakarta-Surabaya, LTN PBNU-Kalista: 2011], halaman 483)

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Adapun hukum transplantasi dengan organ babi untuk menggantikan organ sejenisnya pada manusia tidak boleh kecuali jika sangat diperlukan dan tidak ada organ lain yang seefektif organ babi tersebut. Dalam kondisi ini, menurut hasil Muktamar Ke-29 NU, hukumnya boleh menurut pendapat Imam Ramli, Imam Isnawi, dan Imam Subki. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar, orang yang menerima transplantasi tersebut harus ma’shum.

Baca juga: Jadwal Sholat Hari Ini, Selasa 18 Januari 2022M/15 Jumadil Akhir 1443H 

Baca juga: Bacaan Zikir Pagi Hari Ini, Selasa 18 Januari 2022M/15 Jumadil Akhir 1443H 

قوله (وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ) لِانْكِسَارِهِ مَثَلاً وَاحْتِيَاجِهِ إِلَى الْوَصْلِ (بِنَجْسٍ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ) الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ أَوْ وَجَدَهُ وَقَالَ أَهْلُ الْخُبْرَةِ أَنَّهُ لاَ يَنْفَعُ وَوَصَلَهُ بِالنَّجِسِ (فَمَعْذُوْرٌ) فِيْ ذَلِكَ فَتَصِحُّ صَلاَتُهُ مَعَهُ لِلضَّرُوْرَةِ ... وَلَوْ قَالَ أَهْلُ الْخِبْرَةِ أَنَّ لَحْمَ اْلأَدَمِيِّ لاَ يَنْجَبِرُ سَرِيْعًا إِلاَّ بِعَظْمِ نَحْوِ كَلْبٍ فَيُتَّجَهُ كَمَا قَالَ اْلأَسْنَوِيُّ أَنَّهُ عُذْرٌ ... (وَإِلاَّ) أَيْ وَإِنْ وَصَلَ بِهِ مَعَ وُجُوْدِ الطَّاهِرِ الصَّالِحِ أَوْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْوَصْلِ حَرُمَ عَلَيْهِ لِتَعَدِّ بِهِ وَ (وَجَبَ) عَلَيْهِ (نَزْعُهُ) وَأُجْبِرَ عَلَى ذَلِكَ (إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا

Artinya: "Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah misalnya, dan butuh disambung, (dengan najis karena tidak ada tulang suci) yang layak) dijadikan penyambung, atau ada namun seorang pakar berkata: “Sungguh tulang suci tersebut tidak berguna.”, dan ia menyambungnya dengan tulang najis, (maka ia dianggap udzur) dalam hal tersebut, oleh sebab itu shalatnya tetap sah besertaan tulang najis tersebut –di tubuhnya-, karena kondisi darurat. … Dan bila seorang pakar berkata: “Sungguh daging manusia itu tidak bisa tertambal kecuali dengan tulang semacam anjing.”, maka kondisi itu dinilai kuat sebagai udzur -boleh menambal dengannya- seperti hemat al-Isnawi, … (dan bila tidak begitu), maksudnya bila ia menyambungnya dengan tulang najis dalam kondisi terdapat tulang suci, atau tidak butuh menyabungnya, maka penyambungan itu haram karena keteledorannya, dan (wajib) baginya (mencopot tulang najis itu), dan ia dipaksa mencopotnya (bila tidak khawatir bahaya yang nyata),” (Muhammad Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Mesir, At-Tijariyatul Kubra: t. th], jilid I, halaman 190-191)

Wallahu a'lam bishawab.

1
2

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini