Share

Biografi Imam Asy-Syafi'i: Pendiri Mazhab Syafi'i yang Gigih Membela Sunah dan Hadis Nabi

Tim Okezone, Jurnalis · Rabu 19 Januari 2022 10:23 WIB
https: img.okezone.com content 2022 01 19 614 2534362 biografi-imam-asy-syafi-i-pendiri-mazhab-syafi-i-yang-gigih-membela-sunah-dan-hadis-nabi-MutjuEpmw6.jpg Ilustrasi biografi Imam Asy-Syafi'i. (Foto: Shutterstock)
A A A

BIOGRAFI Imam Asy-Syafi'i ternyata sangat ingin diketahui kaum Muslimin Tanah Air. Beliau merupakan salah satu imam mazhab rujukan umat Islam dunia. Diketahui bahwa imam mazhab ada empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semuanya berusaha mengikuti petunjuk Alquran dan As-Sunnah.

Dikutip dari Muslim.or.id, Rabu (19/1/2022), Ustadz Arif Syarifuddin menjelaskan Imam As-Syafi'i bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay.

Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman jauh beliau yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

Baca juga: Biografi Imam Abu Hanifah: Ulama Fikih Asal Irak Pendiri Mazhab Hanafi 

Imam Syafi'i dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh Al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah Kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan Kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Makkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

Baca juga: Biografi Imam Malik: Berasal dari Keluarga Periwayat Hadis hingga Mendirikan Mazhab Maliki 

Perjalanan Mencari Ilmu

Di Makkah, Imam Syafi'i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal.

Imam Syafi'i bercerita, "Di Al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia dikatakan, dia berkata kepadaku, 'Tidak halal bagiku mengambil upah sedikit pun darimu'."

Ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

Setelah rampung menghafal Alquran di Al-Kuttab, Imam Syafi'i kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu.

Baca juga: Mengenal Imam Mazhab: Abu Hanifah sang Ulama Besar yang Berasal dari Pasar 

Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadis-hadis Nabi. Itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh.

Sampai dikatakan bahwa Imam Syafi'i telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.

Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasihat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid Az-Zanji (mufti Kota Makkah), dan Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fikih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Makkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ (masih terhitung paman jauhnya), Sufyan bin ‘Uyainah (ahli hadis Makkah), Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain.

Di Makkah ini, Imam Syafi'i mempelajari ilmu fikih, hadis, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu, beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 Surat Al Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Baca juga: Sejarah Makkah Jadi Kota Paling Suci di Dunia, 2 Hal Ini yang Mendasarinya 

Setelah mendapat izin dari para syekh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam Malik.

Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Makkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179.

Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Makkah, Imam Syafi'i kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain.

Baca juga: Lezatnya Ukha, Sup Halal Khas Rusia Favorit Masyarakat Muslim untuk Buka Puasa 

Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan (satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau). Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Makkah.

Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid. Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.

Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus.

Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fikih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikit pun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka.

Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Alquran maupun hadis-hadis shahih. Kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fikih mazhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid.

Baca juga: Alquran Surat Al Qasas Ayat 1-88 Lengkap Tulisan Arab, Latin, hingga Artinya 

Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah.

Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fikih Irak), beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun Ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain.

Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar.

Baca juga: Hebat! Abu Nawas Bisa Memenjarakan Angin, tapi Malah Bikin Raja Kebauan 

Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke Kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Makkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya.

Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba yang tersisa hanya 2 atau 3 halakah saja.

Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 balik ke Makkah. Di sana Imam Syafi'i mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Makkah.

Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, Imam Syafi'i hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam.

Baca juga: Bacaan Zikir Pagi Hari Ini, Rabu 19 Januari 2022M/16 Jumadil Akhir 1443H 

Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh (yang selama ini dipegangnya) di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak mazhab mereka.

Begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Baca juga: Jadwal Sholat Hari Ini, Rabu 19 Januari 2022M/16 Jumadil Akhir 1443H 

Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah Subhanahu wa ta'ala. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya Ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

Wallahu a'lam bishawab.

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini