HALAL bihalal tidak bisa dilepaskan dari tradisi masyarakat Indonesia ketika momen hari raya Idul Fitri atau Lebaran. Ternyata ada hal sangat menarik di balik sejarah munculnya istilah halal bihalal. Terutama karena terkait ulama besar dan pemimpin bangsa Indonesia yakni KH Wahab Chasbullah dan Ir Soekarno.
Berikut ini fakta-fakta mengenai munculnya istilah halal bihalal yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia di momen Lebaran, sebagaimana dihimpun dari nu.or.id.
Baca juga: Masya Allah! Suami Istri Ini Daftar Haji Pakai Uang Receh Hasil Jualan Siomai
1. Peran ulama pesantren
Ustadz Fathoni Ahmad, pengajar di Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, menerangkan sejarah halal bihalal bermula ketika para ulama pesantren berijtihad dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang patut diacungi jempol. Terutama ketika bangsa Indonesia terancam perpecahan dan disintegrasi antar-anak bangsa sendiri.
Perhatian para kiai memang begitu besar terhadap kerharmonisan kehidupan bangsa selama ini. Dasar negara Pancasila salah satu buah pikir para ulama yang menautkan nilai-nilai kental religiusitas sebagai fondasi persatuan dalam keberagaman bangsa Indonesia.
Pun setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, namun justru ancaman pemberontakan dan disintegrasi bangsa muncul di mana-mana, antara lain pemberontakan yang dilakukan DI/TII dan PKI di Madiun pada tahun 1948.
2. Gagasan KH Wahab Chasbullah
Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi mengungkapkan gagasan salah seorang Pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888–1971), menggelar halal bihalal untuk seluruh tokoh bangsa atas permintaan Bung Karno.
Dari riwayat yang diceritakan Kiai Masdar itu, pada tahun 1948 yaitu di pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi hari raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim. Lalu Bung Karno menjawab, "Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain".
"Itu gampang," kata Kiai Wahab.
"Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahim nanti kita pakai istilah halal bihalal," jelas Kiai Wahab.
Baca juga: Viral Pengendara Buka Baju untuk Dijadikan Kain Kafan Kucing yang Tertabrak Mobil
3. Bung Karno menyatukan tokoh politik melalui halal bihalal
Dari saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada hari raya Idul Fitri mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahim yang diberi judul halal bihalal dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah istilah halal bihalal gagasan Kiai Wahab lekat dengan tradisi bangsa Indonesia pasca-lebaran hingga kini.
Begitu mendalam perhatian seorang Kiai Wahab Chasbullah untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang saat itu sedang dalam konfik politik yang berpotensi memecah belah bangsa. Hingga secara filosofis pun, Kiai Wahab sampai memikirkan istilah yang tepat untuk menggantikan istilah silaturrahim yang menurut Bung Karno terdengar biasa sehingga kemungkinan akan ditanggapi biasa juga oleh para tokoh yang sedang berkonflik tersebut.
Kini halal bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturrahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.
Begitupun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.
Dengan demikian, ditegaskan bahwa bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.
Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.
Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya