Share

Mengulik Sejarah Permusuhan Iran dengan Israel

Redaksi , Okezone · Kamis 18 April 2024 12:15 WIB
https: img.okezone.com content 2024 04 18 18 2997387 mengulik-sejarah-permusuhan-iran-dengan-israel-pWh1BAIwWh.jpg Ilustrasi.
A A A

DOHA - Selama berlangsungnya serangan bom oleh Israel di Gaza, Iran merupakan salah satu negara yang paling vokal dalam menentang pengeboman brutal tersebut. Perilaku Iran yang yang menentang Israel sejalan dengan kebijakan luar negerinya yang anti-Israel. Hal inilah mengapa kedua negara Timur Tengah ini kerap kali digambarkan sebagai musuh bebuyutan hingga sekarang. Walaupun begitu pada kenyataannya, Iran dan Israel pernah memiliki hubungan yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. 

Hubungan harmonis Israel-Iran berlangsung selama masa Dinasti Shah Mohammed Reza Pahlavi yang berlangsung dari 1925 hingga tahun 1979, tahun dimana terjadinya revolusi yang menggulingkan dinasti Pahlavi. Sejak terjadinya revolusi tersebut pada tahun 1979 dan melahirkan Republik Islam Iran yang baru, hubungan bilateral antara Iran dan Israel tidak berjalan semulus seperti sebelumnya. Berikut pembahasan lebih lanjut terkait sejarah permusuhan Iran dengan Israel.

Hubungan Iran-Israel pada 1925 hingga 1979 

Melansir dari Al Jazeera, pada masa Dinasti Pahlavi, antara Israel dan Iran memiliki hubungan yang dekat dan harmonis. Mengapa demikian? Iran adalah negara mayoritas Muslim kedua yang mengakui negara Israel saat negara itu baru didirikan pada tahun 1948. Palestina yang awalnya dikendalikan oleh Inggris menjadi topik pembahasan bagi anggota komite khusus PBB, termasuk Iran, yang dibentuk pada tahun 1947. Iran bersama India dan Yugoslavia menentang rencana pembagian Palestina oleh PBB dengan pertimbangan rencana tersebut dapat meningkatkan kekerasan di wilayah Palestina. Ketiga negara ini kemudian mengusulkan untuk tetap mempertahankan Palestina sebagai satu negara dengan satu parlemen serta pembagian wilayah yang adil antara Arab dan Yahudi.

“Itu adalah kompromi Iran untuk mencoba menjaga hubungan positif dengan negara-negara Barat yang pro-Zionis dan gerakan Zionis itu sendiri, dan juga dengan negara-negara tetangga Arab dan Muslim,” ujar Eirik Kvindesland, seorang sejarawan Universitas Oxford, dikutip Al Jazeera.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Israel kemudian melanggar apa yang telah disetujui PBB perihal wilayah Palestina. Dengan wilayah yang telah berhasil direbut Israel pada saat awal berdirinya negara Israel menyebabkan sebanyak lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari rumah mereka. Sebanyak 2.000 warga Iran di Palestina yang disita propertinya oleh tentara Israel menyebabkan terlibatnya Iran dalam pembagian wilayah Palestina. 

Hadirnya doktrin pinggiran atau periphery doctrine mendorong Israel untuk mulai menjalin hubungan dengan negara-negara non-Arab di pinggiran Timur Tengah, seperti Iran dan Turki. “Untuk mengakhiri isolasinya di Timur Tengah, Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion menjalin hubungan dengan negara-negara non-Arab di ‘pinggiran’ Timur Tengah, yang kemudian dikenal sebagai doktrin pinggiran,” ujar Kvindesland, dikutip Al Jazeera.

Pada 1951, hubungan Iran-Israel mengalami perubahan ketika perdana menteri Iran berganti menjadi Mohammad Mosaddegh. Beberapa aksi yang dilakukan Mosaddegh seperti upaya nasionalisasi industri minyak, memutuskan hubungan dengan Israel, serta mengusir kekuasaan kolonial Inggris mendapat reaksi yang negatif dari negara Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat (AS). Akibatnya pemerintahan Mosaddegh digulingkan dalam kudeta yang diorganisir oleh badan intelijen Inggris dan AS pada 1953.

Kedekatan antara Iran dan Israel selama masa kepemimpinan Shah didorong oleh kebutuhan Israel untuk terlepas dari isolasi di Timur Tengah dan keinginan Shah untuk meningkatkan hubungan yang baik dengan AS melalui perantara Israel. Motif Shah untuk mendapatkan aliansi, keamanan dan perdagangan mencerminkan minimnya kepedulian Iran terhadap Palestina dalam hubungannya dengan Israel.

Melansir Al Jazeera, Israel mendirikan kedutaan de facto di Teheran dan kemudian pada tahun 1970, Iran dan Israel saling bertukar duta besar. Hubungan harmonis Iran-Israel membuahkan hasil yang baik seperti bertumbuhnya perdagangan kedua negara dan Iran menjadi pemasok minyak utama bagi Israel.

 

Hubungan Iran-Israel pasca revolusi 1979

Gerakan revolusi pada tahun 1979 yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini membawa Dinasti Shah pada kejatuhannya. Mulai dari sini, lahirlah Republik Islam Iran dengan pandangan dunia baru yang memperjuangkan Islam dan melawan kekuatan dunia yang arogan serta sekutu regional mereka, yang dapat menindas negara lain seperti warga Palestina demi kepentingan mereka sendiri. Perubahan yang signifikan ini menyebabkan munculnya sebutan “Setan Kecil” untuk Israel dan “Setan Besar” untuk AS.

Kedutaan Israel yang ada di Teheran kemudian diganti menjadi Kedutaan Palestina. Teheran juga memutuskan semua hubungan dengan Israel sehingga warga tidak bisa melakukan perjalanan ke Israel serta rute penerbangan dibatalkan. Khomeini juga mendeklarasikan Jumat terakhir bulan Ramadhan sebagai Hari Quds, dan sejak saat itu, demonstrasi besar-besaran diadakan di seluruh Iran untuk mendukung warga Palestina. Dalam bahasa Arab, Yerusalem disebut al-Quds

Keinginan Khomeini dalam membela Palestina bukan semata-mata karena pembingkaian masalah Palestina sebagai tujuan nasionalis Arab, melainkan sebagai tujuan Islam untuk memberikan Iran kemampuan memperjuangkan serta memimpin Palestina.

“Untuk mengatasi perpecahan Arab-Persia dan perpecahan Sunni-Syiah, Iran mengambil posisi yang jauh lebih agresif dalam masalah Palestina dengan menunjukkan kredibilitas kepemimpinannya di dunia Islam dan menempatkan rezim-rezim Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat dalam posisi defensif,” kata Trita Parsi, wakil presiden eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, dikutip Al Jazeera.

Selama beberapa dekade, permusuhan ini meningkat karena kedua belah pihak berusaha untuk meningkatkan kekuatan dan kekuasaan mereka di wilayah Palestina. Selain itu, jaringan “poros perlawanan” mendapat dukungan dari Iran yang dimana jaringan ini terdiri dari kelompok-kelompok politik dan bersenjata di beberapa negara, termasuk Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman. Negara-negara tersebut juga mendukung perjuangan Palestina dan menganggap Israel sebagai musuh besar.

(Rachel Eirene Nugroho)

1
4

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini