Share

Perjuangan Seorang Ibu Jadi Tulang Punggung demi Anak dan Suami yang Sakit

Devi Pattricia, Jurnalis · Jum'at 26 April 2024 20:00 WIB
$detail['images_title']
Perjuangan Ibu Sulastri jadi tulang punggung keluarga. (Foto: Freepik.com)

MENJADI seorang ibu merupakan sebuah tugas yang amat mulia. Bukan hanya sehari ataupun dua hari, melainkan tugas tersebut terus melekat dan diemban hingga akhir hayat.

Tentu tugas seorang ibu tidaklah mudah, terlebih jika menjadi tulang punggung demi menghidupi keluarga. Seperti halnya kisah Sulastri, wanita 42 tahun yang harus menghadapi kerasnya kehidupan.

Hidup Sulastri tidaklah mudah, amat berat. Pasalnya dia harus berperan ganda sebagai ibu dan juga ayah untuk anak-anaknya yang masih kecil. Keluarganya begitu mengandalkannya demi bertahan hidup.

Sulastri hidup di sebuah rumah sepetak bersama dengan ketiga anaknya yang bernama Anugerah (13), Rahmadani (9), dan Rani (6), dan juga sang suami, Widodo (55).

Widodo tak bisa membantu sang istri untuk mencari nafkah dan menghidupkan keluarga. Pasalnya ia mengalami sakit komplikasi sejak tahun 2022 lalu. Hal ini yang membuatnya terbaring lemah di kasur dengan tumpuk-tumpukan barang. Penyakit yang diderita Widodo yaitu sakit lambung akut, gula, rematik serta katarak.

Kisah Ibu Sulastri

Kondisi tersebut yang membuatnya hanya bisa menunggu di rumah dan sudah tidak bisa kemana-mana. Bahkan jika ingin bergerak atau berpindah tempat pun harus dibantu oleh Sulastri. Selain mencari nafkah dan mengurus ketiga anaknya, Sulastri juga harus siap menghadapi sakit Widodo yang kerap kali kambuh.

Sakit lambung yang diderita Widodo sangat sering kambuh lantaran sering telat makan dan kelaparan. Tak jarang Widodo hanya menahannya dengan minum air tepung tapioka. Setiap harinya Sulastri mengais rezeki dengan cara menjual sayuran. Ia pun harus mencari sayuran liar di kebun milik orang lain.

Keringat tampak bercucuran ketika dirinya harus mencari sayuran liar di tengah teriknya matahari. Sayuran tersebut akan ia ikat dan dijual kepada pedagang sayur yang ada di pasar. Apabila ada sisa sayuran yang belum laku, dirinya akan menjualnya sendiri dan menjajakan ke orang-orang di sekitarnya.

Namun tak jarang, sayuran tersebut tidak semuanya laku terjual. Alhasil Sulastri harus rela membawa keuntungan Rp 5 ribu sampai Rp 12 ribu seharinya. Uang tersebut harus dipakai untuk memberi makan keluarganya yang kelaparan.

“Kalau sayuran tidak laku, terpaksa saya buang, karena gak bisa dijual dan dikonsumsi lagi,” tulis Sulastri.

Sayur-sayuran yang tidak laku terpaksa harus ia buang, lantaran lama kelamaan sayuran tersebut menjadi layu bahkan busuk. Sehingga tidak bisa dijual dan dikonsumsi lagi. Namun, jika masih ada sayuran yang cukup layak dikonsumsi, Sulastri akan memanfaatkannya untuk diolah untuk dimakan bersama dengan keluarganya.

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

“Paling hanya sedikit yang bisa dimakan buat kami teman nasi,” sahutnya.

Sungguh memprihatinkan kehidupan Sulastri, tetapi dirinya harus terus berjuang demi keluarganya. Ketiga anaknya yang masih kecil itu juga sering membantu sang ibu mencari nafkah dengan menemaninya berjualan. Dua anak Sulastri pun seringkali tidak hadir ke sekolah lantaran merasa malu dengan pihak sekolah.

Sebab mereka setiap hari ditanyakan mengenai tunggakan biaya sekolah oleh pihak sekolahnya. Selain itu, mereka pun hanya memiliki seragam sekolah yang sudah usang dan sepatu yang rusak serta tidak layak untuk dipakai sekolah. Sulastri berharap adanya bantuan biaya hidup agar bisa membantu dirinya memenuhi kebutuhan sehari-hari.

1
2