Share

Apa Hukum Memakan Daging Kuda?

Kamis 02 Juli 2020 19:42 WIB
https: img.okezone.com content 2020 07 02 614 2240272 apa-hukum-memakan-daging-kuda-oeTYlPCdas.jpg Ilustrasi kuda. (Foto: Unsplash)
A A A

PADA dasarnya daging kuda halal. Termasuk kategori Al-Baha’im, atau Bahimatul-An’am, kelompok binatang ternak. Dagingnya termasuk “Ma’kulul-lahm”. Dagingnya boleh dimakan.

Walaupun dalam satu riwayat disebutkan, pada masa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam pernah dilarang memakannya, secara temporer, bersifat sementara. Alasannya ada kebutuhan kondisional saat itu, yakni kuda bagian dari alat perang.

Baca juga: Zulkaidah, Bulan Rasulullah Umrah 

Mengutip dari laman MUI, Kamis (2/7/2020), dalam kaidah Ushul-Fiqh disebutkan, “Al-Hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi, wujudan wa ‘adaman”. Ketetapan hukum itu tergantung pada ‘illat-nya, adanya atau tiadanya ‘illat itu.

Sama dengan kondisi sekarang, misalnya di mana pemerintah membuat peraturan yang melarang menyembelih sapi betina yang masih produktif. Alasannya bakal mengganggu bahkan menghambat perkembangbiakan ternak sapi domestik yang sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan protein hewani masyarakat. Kalau ada yang melanggarnya, maka dapat dihukum denda, atau malah dihukum penjara.

Dalam bahasa atau kaidah Fiqhiyyah hal itu termasuk kategori Makruh Tahrim. Ketentuan hukumnya secara Fiqhiyyah bersifat Makruh, tetapi dalam praktiknya terlarang dilakukan.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan, "Pada penaklukan Khaibar, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang makan daging keledai jinak, dan Beliau membolehkan daging kuda." (HR Bukhari 3982 dan Muslim 1941)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia menceritakan, "Kami pernah bersafar bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan kami makan daging kuda dan minum susunya." (HR Ad-Daruquthni, al-Baihaqi, An-Nawawi mengatakan sanadnya sahih)

Meski demikian, menurut pendapat Abu Hanifah dan dua murid dekatnya yakni Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, daging kuda hukumnya makruh untuk dimakan. Kalangan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makan daging kuda adalah makruh.

Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan, "Dan halal dari hewan adalah makan kuda dan zirafah (jerapah). Ulama Hanafiyah berkata, 'Makan kuda adalah Makruh (dengan kategori Makruh) Tanzih'."

Baca juga: MUI Imbau Kaum Muslimin Lebih Berinisiatif dan Kreatif 

Makruh Tanzih adalah segala sesuatu yang (dipahami) bersifat terlarang oleh Syara’ namun secara tidak tegas. Hanya dipaham dengan melalui dalil yang masih bersifat Zhanni. Dalam penjelasan lain, Makruh Tanzih itu didefinisikan dengan meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya, meskipun tidak ada hukuman dalam melakukannya. (Al-Mustashfa, 1/215-216)

Pendapat mereka yang memakruhkan memakan daging kuda, berdasarkan dalil di Surah An-Nahl Ayat 5–7, Allah Subhanahu wa ta'ala menyebutkan tentang Bahimatul An’am (unta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Kemudian di ayat 8 Surah An-Nahl, Allah Subhanahu wa ta'ala menyebutkan jenis hewan yang lain: "Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui." (QS An-Nahl: 8)

Di ayat 8 ini Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menyebutkan fungsi mereka (hewan-hewan itu) untuk dimakan. Padahal, Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang disebutkan di ayat sebelumnya.

Baca juga: Arab Saudi Tegaskan Miliki Kapasitas Jaga Kesehatan Jamaah Haji 

Namun pendalilan ini disanggah. Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya (untuk dimakan). Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.

Selain itu, kehalalan daging kuda juga karena tak ada dalil atau nash yang melarangnya dengan Sharih (jelas dan tegas). Para ulama menjelaskan, kuda tidak termasuk ke kategori hewan yang haram, dilarang untuk dikonsumsi. Seperti buas, Khabaits (menjijikkan), Jallalah (memakan najis), binatang bertaring yang dengan taringnya ia memangsa dan menyerang musuh/mangsanya.

Ditegaskan di dalam ayat Alquran yang artinya: "Dan menghalalkan bagi mereka Ath-Thoyyibaat (segala yang baik) dan mengharamkan bagi mereka Al-Khobaits (segala yang buruk, menjijikkan)." (QS Al-A’raaf, 7: 157)

Ilustrasi kuda. (Foto: Istimewa)

Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang dari mengonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya." (HR Abu Dawud Nomor 3785 dan At-Tirmidzi Nomor 1824)

Dalam hadis lain, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Semua binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram." (HR Muslim)

Juga diriwayatkan oleh Idris Al Khalulani, dia mendengar Abu Tsa'labah al-Khutsani berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring." (HR Bukhari Nomor 5530 dan Muslim Nomor 1932)

Baca juga: MUI: Pandemi Jangan Menghambat Jihad Melawan Narkoba 

Selanjutnya dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram." (HR Muslim Nomor 1934)

Walau demikian, kehalalan daging kuda menurut para ulama yang menghalalkannya, tetap harus berdasarkan syarat-syarat yang Mu’tabar seperti harus disembelih secara syari, dan ketentuan lain yang telah ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI dalam hal penyembelihan hewan sesuai dengan kaidah syariah.

Wallahu a'lam.

1
2

Bagikan Artikel Ini

Cari Berita Lain Di Sini